JAYAPURA - (Jumat 08/03/13) Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan
Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman menilai bahwa
pemerintah dan aparat keamanan Indonesia di Papua merupakan bagian dari
aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Papua.â€Negara yang
ciptakan, negara yang pelihara dan negara yang biarkan aksi kekerasan
itu terus terjadi untuk melegitimasi kekerasan-kekerasan selanjutnya di
Tanah Papua yang dimanfaatkan untuk memperkuat institusi
keamanan,â€ungkap Pdt. Socrates Sofyan Yoman kepada wartawan dalam
keterangan persnya di Toko Buku YoÂman Ninom, di FuÂria Kotaraja, Kota
JaÂyapura, Rabu (6/3) kemarin.
Menurut Socrates, aksi yang sedang berkembang ini juga dinilai sebagai pencerminan dari the generatif politic, sebagaimana yang ditulis Nugroho pada tahun lalu di Jakarta Pos, (10/06/2012). Di mana dalam the generatif politic ini adalah pandangan-pandangan politik dan anggapan-anggapan yang melumpuhkan dan memperburuk kondisi masyarakat di Papua.
“Bukti-bukti kekerasan tersebut dapat kita lihat dari beberapa kasus kejahatan negara yang secara sistematis dan terstruktur yang tercermin dalam kebijakan degeneratif seperti penganiayaan dan penyiksaan Pdt. Yunus Gobai, penembakan di Sinak dan Tingginambut, yang menewaskan sejumlah TNI dan warga sipil, dan kasus-kasus lainnya, termasuk pembiaran beredarnya senjata ilegal di Papua,†paparnya.
Terkait dengan itu pihaknya meminta kepada pemerintah dan aparat keamanan segera kembali ke cita-cita awal pendirian negara ini dengan mengungkapkan dan menghentikan penjualan senjata dan amunsi secara ilegal di Papua. “Pemerintah juga harus membuka diri terhadap pesan-pesan gereja, 11 rekomendasi MPR pada 9-10 Juni 2010 lalu dan seruan anggota PBB dalam sidang HAM 23 Mei 2012,†ujar Socrates.
Pihaknya juga menilai bahwa pemerintah Indonesia sangat diskriminatif dalam menyikapi aspirasi rakyat Papua dalam hal dialog damai. “Kami mendesak pemerintah agar melaksanakan dialog damai yang setara antara Indonesia dan Papua tanpa syarat dan dimediasi pihak ketiga yang netral seperti yang telah dilakukan di Aceh,†ucapnya.
Di tempat yang sama, Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Dr. Benny Giyai juga meminta pemerintah segera melakukan pembebasan terhadap seluruh tahanan politik di Papua tanpa syarat dan membuka akses untuk kunjungan utusan khusus PBB, wartawan asing, pekerja kemanusiaa ke Papua dan menghentikan dengan segera upaya pengkriminalisasi perjuaÂngan politik dan penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua.
“Peristiwa penembakan dan pembunuhan anggota TNI dan warga sipil yang terjadi di Distrik Sinak Kabupaten Puncak dan Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya pada (21/2) lalu juga harus dilihat secara utuh, sebab tidak hanya berhubungan dengan pemilihan bupati kabupaten Puncak, tetapi ini bagian dari kebijakan negara untuk membangun insfraktutur TNI dan Polri di daerah pegunungan,†ujarnya.
Pihaknya juga menyampaikan secara khusus kepada Kapolda Papua, Irjen Polisi, Drs. M. Tito Karnavian, MA untuk menindakÂlanjuti pernyataan Kapolda Irjen Polisi Bekto Suprapto, pada DeÂsember 2010 silam untuk mengungkap pemasok senjata ilegal di Tanah Papua. Kepada masyarakat, Pdt. Benny Giyai meminta untuk mempelajari undang-undang TNI dan Polri agar bisa mengawasi perilaku kejahatan dan kebijakan pemerintah dan aparat keamanan di Tanah Papua.(ren/fud)
Menurut Socrates, aksi yang sedang berkembang ini juga dinilai sebagai pencerminan dari the generatif politic, sebagaimana yang ditulis Nugroho pada tahun lalu di Jakarta Pos, (10/06/2012). Di mana dalam the generatif politic ini adalah pandangan-pandangan politik dan anggapan-anggapan yang melumpuhkan dan memperburuk kondisi masyarakat di Papua.
“Bukti-bukti kekerasan tersebut dapat kita lihat dari beberapa kasus kejahatan negara yang secara sistematis dan terstruktur yang tercermin dalam kebijakan degeneratif seperti penganiayaan dan penyiksaan Pdt. Yunus Gobai, penembakan di Sinak dan Tingginambut, yang menewaskan sejumlah TNI dan warga sipil, dan kasus-kasus lainnya, termasuk pembiaran beredarnya senjata ilegal di Papua,†paparnya.
Terkait dengan itu pihaknya meminta kepada pemerintah dan aparat keamanan segera kembali ke cita-cita awal pendirian negara ini dengan mengungkapkan dan menghentikan penjualan senjata dan amunsi secara ilegal di Papua. “Pemerintah juga harus membuka diri terhadap pesan-pesan gereja, 11 rekomendasi MPR pada 9-10 Juni 2010 lalu dan seruan anggota PBB dalam sidang HAM 23 Mei 2012,†ujar Socrates.
Pihaknya juga menilai bahwa pemerintah Indonesia sangat diskriminatif dalam menyikapi aspirasi rakyat Papua dalam hal dialog damai. “Kami mendesak pemerintah agar melaksanakan dialog damai yang setara antara Indonesia dan Papua tanpa syarat dan dimediasi pihak ketiga yang netral seperti yang telah dilakukan di Aceh,†ucapnya.
Di tempat yang sama, Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Dr. Benny Giyai juga meminta pemerintah segera melakukan pembebasan terhadap seluruh tahanan politik di Papua tanpa syarat dan membuka akses untuk kunjungan utusan khusus PBB, wartawan asing, pekerja kemanusiaa ke Papua dan menghentikan dengan segera upaya pengkriminalisasi perjuaÂngan politik dan penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua.
“Peristiwa penembakan dan pembunuhan anggota TNI dan warga sipil yang terjadi di Distrik Sinak Kabupaten Puncak dan Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya pada (21/2) lalu juga harus dilihat secara utuh, sebab tidak hanya berhubungan dengan pemilihan bupati kabupaten Puncak, tetapi ini bagian dari kebijakan negara untuk membangun insfraktutur TNI dan Polri di daerah pegunungan,†ujarnya.
Pihaknya juga menyampaikan secara khusus kepada Kapolda Papua, Irjen Polisi, Drs. M. Tito Karnavian, MA untuk menindakÂlanjuti pernyataan Kapolda Irjen Polisi Bekto Suprapto, pada DeÂsember 2010 silam untuk mengungkap pemasok senjata ilegal di Tanah Papua. Kepada masyarakat, Pdt. Benny Giyai meminta untuk mempelajari undang-undang TNI dan Polri agar bisa mengawasi perilaku kejahatan dan kebijakan pemerintah dan aparat keamanan di Tanah Papua.(ren/fud)
Sumber: Radartimika.com
0 komentar:
Post a Comment