Home » , , » WPFD 2017 tidak soroti Papua secara khusus, aktivis gelar acara terpisah

WPFD 2017 tidak soroti Papua secara khusus, aktivis gelar acara terpisah

"Karena acara utamanya (peringatan WPFD 2017) tidak mengangkat isu kebebasan pers di West Papua (secara khusus), maka kami gelar acara ini. Padahal keadaan kebebasan pers di Indonesia bisa dibilang paling parah ya di West Papua," kata Koman 

Poster undangan side event mengampanyekan kebebasan pers dan akses jurnalis di West Papua - IST

Jayapura, Jubi - Seiring peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia (WPFD) oleh UNESCO di Jakarta, 1-4 Mei 2017, tujuh kelompok pemerhati isu-isu hak azasi manusia di Papua menggelar Papua Side Event Papua di Century Park Hotel, Jakarta 30 April dan 2 Mei 2017.

Peringatan WPFD 2017 yang diselenggarakan oleh UNESCO bersama Pemerintah Indonesia dan Dewan Pers di Balai Sidang Jakarta, 1-4 Mei dengan tema "Pikiran Kritis Dimasa Kritis: Peran Media Memajukan masyarakat yang majemuk, berkeadilan, dan damai", itu dinilai tidak secara spesifik mengangkat isu kebebasan pers di Papua.

Veronika Koman, pengacara publik dari komunitas Papua Itu Kita dan salah seorang organisator Papua Side Event, memandang acara terpisah yang disebut ‘Papua Side Event’ tersebut dibutuhkan karena indikator kebebasan pers di Indonesia seharusnya diukur dari Papua.

"Karena acara utamanya (peringatan WPFD 2017) tidak mengangkat isu kebebasan pers di West Papua (secara khusus), maka kami gelar acara ini. Padahal keadaan kebebasan pers di Indonesia bisa dibilang paling parah ya di West Papua," kata Koman kepada Jubi di Jakarta, Kamis (26/4/2017).

Dari serangkaian acara inti maupun sandingan yang dicantumkan pada website resmi UNESCO terkait WPFD, memang tidak secara khusus menyoroti isu-isu terkait pers dan kebebasan pers di Papua yang selama ini terus menjadi sorotan internasional.

Papua Side Event diselenggarakan untuk mengampanyekan pembukaan akses bagi jurnalis dan kebebasan pers di West Papua.

Menurut penyelenggara para jurnalis masih kesulitan dalam melakukan tugas pemberitaan di Papua antara lain kurangnya akses untuk masuk ke Papua, adanya “information black hole” atau  “ketidakjelasan informasi”, dan kerentanan keamanan yang dialami jurnalis antara lain lewat penangkapan sewenang-wenang serta adanya kecenderungan pemberian suap pada jurnalis yang meliput isu˙isu tentang Papua dari “angle” yang positif belaka (positive coverage).

Selain itu salah satu akar permasalahan adalah aturan mengenai visa yang dipandang mendiskriminasikan jurnalis asing mempersulit mereka untuk dapat mengak-ses ke wilayah Papua.

Hal senada juga diungkap oleh Human Right Watch dalam rilis mereka tertanggal 26 April 2017. Menurut HRW kedua Provinsi Papua tetap menjadi wilayah yang secara khusus sulit diakses baik bagi jurnalis Indonesia maupun asing.

“Jurnalis Papua secara khusus berhadapan dengan intimidasi, pelecehan, dan kerap juga kekerasan saat mereka melaporkan kasus-kasus terkait korupsi, pelanggaran hak, perampasan tanah, dan topik-topik sensitif lainnya,” tulis HRW dalam pernyataannya.

Tidak ada perubahan pendekatan

Belum lama ini empat kelompok pemerhati Papua juga mengecam dugaan pemblokiran situs-situs terkait situasi HAM sipil politik di Papua oleh pemerintah Indonesia.

Situs yang diduga diputus akses adalah infopapua.org, tabloid-wani.com, papuapost.com, dan freepapua.com. Pemutusan akses tersebut bukan hanya terhadap situs yang dikelola di dalam Papua, namun juga situs yang dikelola di luar Papua seperti bennywenda.org, freewestpapua.org dan ulmwp.org.

Asep Komarudin, Kepala Divisi Jaringan LBH Pers kepada Jubi Kamis (27/4) di Jakarta memandang tidak adanya perubahan pendekatan dari pemerintah Indonesia terkait kebebasan pers di Papua, “peluang sebenarnya ada tapi tidak ada political will (niat politik) yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ada perubahan signifikan dari dulu sampai sekarang,” kata dia.

Dia memandang kekerasan, perbedaan perlakuan jurnalis asli Papua dengan yang non Papua, termasuk dugaan pemblokiran situs tersebut akan terus berulang. “Itu karena pemerintah masih menggunakan gaya lama, gaya represif,” ujar Asep.

Papua Side Event diselenggarakan oleh LBH Pers, Papua Itu Kita, Yayasan Satu Keadilan, suarapapua.com, Perkumpulan Jubi, Gema Demokrasi dan YLBHI dengan kegiatan seperti diskusi, pameran instalasi, aksi jalanan kreatif dan pertunjukan seni.

Veronika Koman menjelaskan kedua acara Papua Side Event yang diselenggarakan oleh ketujuh kelompok tersebut bertujuan untuk mengenalkan budaya West Papua kepada para jurnalis sekaligus meningkatkan kesadaran publik atas ketiadaan kebebasan pers di wilayah itu.

Acara tersebut juga menjadi bagian dari gerakan kampanye mengajak masyarakat international, khususnya awak media untuk melakukan sesuatu terhadap pemerintah Indonesia yang saat ini masih melakukan pembatasan terhadap kebebasan dan akses terha-dap kebebasan pers di Papua.

Dalam kesempatan tersebut juga akan dilucurkan Program kampanye global Open access for Jurnalist – Free Press In West Papua.

Setiap tahun, 3 Mei diperingati sebagai hari fundamental bagi kebebasan pers guna mengevaluasi situasi kebebasan pers di seluruh dunia, mempertahankan media dari serangan atas independensinya sekaligus untuk member penghormatan pada para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam mengerjakan profesi jurnalismenya.(*)

 Sumber: tabloidjubi.com


Share this video :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger