Kantor Jaksa Agung RI |
Malah proses penyidikan berjalan di tempat. "Dalam 10 tahun terakhir ini, praktis tidak ada perkembangan. Tidak ada kemajuan-kemajuan berarti dalam pengusutan HAM masa lalu. Semua mandeg dan dibiarkan," kata Ifdhal di Jakarta, Selasa (6/3).
Ia menjelaskan, persoalan-persoalan HAM itu mulai dari masa Orde Baru sampai awal masa reformasi. Sejumlah kasus yang menjadi sorotan adalah pelanggaran HAM di Papua, Aceh, Talang Sari (Lampung), kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus penculikan aktivis, dan sebagainya. Semua kasus-kasus itu tidak jelas pengusutannya, bahkan dibiarkan tidak diproses.
Menurutnya, dari segi proses formal, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap kasus-kasus tersebut. Hasil penyelidikan Komnas HAM diserahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk ditindaklanjuti.
Namun, Kejagung tidak mau tindaklanjuti. Alasannya tidak ada pengadilan Ad Hoc terhadap kasus-kasus tersebut.
Dia mengakui, perintah UU memang mengharuskan dibentuk pengadilan Ad Hoc untuk tiap-tiap kasus tersebut. Pengadilan Ad Hoc tidak bisa menyidangkan untuk semua kasus, tetapi dibentuk secara berbeda-beda berdasarkan jenis kasusnya.
Pengadilan Ad Hoc atas tentu rekomendasi DPR. Presiden tinggal menggeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Persoalannya adalah sampai kini belum ada rekomendasi DPR atas kasus-kasus itu, termasuk rekomendasi pembentukan pengadilan Ad Hoc.
Yang hanya mendapatkan rekomendasi DPR adalah untuk kasus orang hilang dan penculikan aktivis. Namun hingga kini, Presiden belum mengeluarkan Kepres atas rekomendasi DPR tersebut.
"Kami tidak mengapa tidak ke luar Kepresnya. Padahal sudah ada rekomendasi DPR. Tetapi hanya itu rekomendasi yang pernah dikeluarkan," ujarnya.
Ia yakin semua masyarakat Indonesia tidak mau tersandera dengan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Karena itu, pihaknya mendorong adanya penyelesaian.
Menurutnya, Komnas HAM telah mengusulkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) seperti pada kasus Timor-Timur lalu. Dalam komisi itu, pelaku bisa mengakui perbuatannya.
Tetapi di sisi lain, korban juga bisa memaafkan pelaku. Dengan model itu tidak ada lagi beban dan persoalan yang terus dibawa-bawa yang tidak tahu kapan penyelesaiannya. [R-14]
0 komentar:
Post a Comment