PERSIPURA REDAM GRESIK UNITED 4-1

Persipura rayakan gol kedua Boas saat
mengalahkan Gresik United 4-1 di Stadion Mandala
Jayapura (Jubi/Roberth Wanggai)
Jayapura, 28/4 Laga Persipura vs Gresik United (GU) Minggu, (28/4) di Stadion Mandala Jayapura, Papua berlangsung menarik. Pada menit awal yakni di menit ke 7,  tim tamu GU membobol gawang Persipura melalui striker Aldo Bareto dengan hading manisnya.

Beruntung empat menit kemudian, di menit 11, striker haus gol Persipura, Boas Solosa menyamakan kedudukan berkat hasil kerja sama bersama Gerald Pangkali dari umpan dari sektor kiri gawang GU. Dengan mudah, kaki kiri Bochi menggetarkan jala gawang dan merubah kedudukan 1-1. Pundi-pundi gol Persipura kembali terjadi di menit ke 21. Kali ini melalui kaki Boas Solosa yang berhasil mendapat umpan manja dari sektor kanan gawang GU, yang dilesekan Gerald Pangkali.

Kedudukan 2-1 bertahan hingga wasit Maulana menyudahi pertandingan kedua tim. Kendati demikian, kedua tim memiliki peluang emas dibabak kedua, di menit ke 12 misalnya, melalui kaki Zah Rahan Karangar, nyaris membuahkan gol. Peluang emas tim tamu, juga kala itu melalui Matsunaga yang memanfaatkan free kick di menit ke 24. Sayangnya tendangannya mampu dimentalkan oleh penjaga gawang persipura, Yoo Jae Hoon.

Di babak kedua, Persipura menambah dua gol. Kali ini Gerald Pangkali dan Lukas Mandowen masing-masing di menit 59 dan 79. Gol Pangkali terjadi saat pemain asal Sentani itu memanfaatkan bola mental. Dengan mudah, mantan pemain Persija itu menggetarkan jala gawang GU yang dikawal Sandi M.

Sementara Lukas Mandowen berada bebas dengan penjaga gawang GU dan dengan mudah tendangan dari sudut diagonal membobol jala GU. Gol Mandowen itu didapat setelah mendapat umpan manis Boas Solosa dari sektor tengah dan diarahkan ke arah kiri gawang GU dan berhasil disambar oleh Lukas Mandowen.

Persipura sebenarnya memiliki peluang banyak untuk menambah gol-golnya. Tercatat 4 peluang emas yang terbuang percuma, masing-masing dimiliki oleh Gerald Pangkali, Ian Kabes, Boas Solosa dan Zah Rahan. (Jubi/Roberth Wanggai)



Larang Demo Damai, Gubernur dan Kapolda Papua Dinilai Langgar HAM

Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Kapolda Papua, Tito Karnavia (Foto: Ist)
PAPUAN, Jayapura — Elias Petege, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Independen menilai Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, dan Kapolda Papua, Tito Karnavian, telah melanggar HAM warga Papua, karena mengeluarkan perintah larangan demo damai pada tanggal 1 Mei 2013 mendatang.
“Kebebasan untuk berkumpul, menyampaikan pendapat dan kemerdekaan berekspresi telah dijamin oleh konstitusi negara Indonesia,yakni dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, dan secara khusus diatur juga dalam  UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2,” ujar Petege, melalui rilis yang dikirim ke redaksi suaraapua.com, Sabtu (27/4/2013) siang.
Menurut Petege, kebebasan menyampaikan pendapat juga telah diatur dalam konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang mana di Indonesia telah diratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005 tentang hak-hak sipil dan politik, terutama pasal 18 dan 19, termasuk deklarasi umum HAM, pasal 18 dan 20.
“Dalam UU kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, adalah kewajiban Polri, yakni, setelah warga menyampaikan surat pemberitahuan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, maka selanjutnya Polri wajib mengeluarkan surat tanda terima pemberitahuan. Dan berkordinasi dengan koordinator aksi dan juga Polri wajib memberikan perlindungan kepada warga yang menyampaikan pendapat, bukan melarang aksi damai tersebut,” ujar Petege.
Lanjut Petege, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menegakan dan memajukan HAM, namun ia melihat selama ini pemerintah justru telah menjadi aktor yang melakukan pelanggran HAM di tanah Papua.
Dikatakan, larangan yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan aksi memperingati 50 tahun pendudukan Negara Indonesia di Papua merupakan tindakan penyabaian, pengingkaran atas kewajiban Negara Indonesia dalam melaksanaan hak azasi manusia.
Petege juga secara tegas meminta pemerintah Provinsi Papua, termasuk TNI dan Polri agar dapat membuka ruang demokrasi yang seluas-luasnya bagi warga Papua.
“Untuk rakyat Papua yang akan memperingati hari aneksasi Papua ke dalam Negara Indonesia, dimohon untuk melakukan aksi secara damai dan bermartabat, hargailah hak asasi orang lain yang tidak demo nanti,” tutup Petege.
Sebelumnya, seperti diberitakan beberapa media lokal di Papua, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe telah mengeluarkan “perintah” agar masyarakat Papua tidak melakukan aksi demo pada tanggal 1 Mei 2013 mendatang.
“1 Mei jangan dinodai dengan demo-demo, karena itu bukan solusinya. Saya meminta kepada Kepolisian untuk tidak memberikan ijin kepada siapa saja untuk melakukan aksi demo tersebut,” ujar Lukas Enemeb, seperti ditulis Koran Bintang Papua.
Senada dengan Gubernur Provinsi Papua, Kapolda Papua, melalui Kabid Humas Polda Papua juga telah mengeluarkan himbauan agar masyarakat Papua tidak melakukan aksi demo pada tanggal 1 Mei 2013 mendatang, sebab Polisi tidak akan memberikan ijin digelarnya aksi tersebut.
“Polda Papua tidak akan memeberikan ijin untuk demo memperingati hari intergrasi Papua ke NKRI, dan kami akan membubarkan paksa jika aksi tetap digelar,” ujar Kabid Humas, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, seperti diberitakan media ini, (baca: KNPB Serukan Aksi Peringati Hari Aneksasi Bangsa Papua Barat) Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor F Yeimo telah mengeluarkan seruan, agar pada tanggal 1 Mei 2013 diperingati sebagai hari “berkabung” nasional, sebab pada tanggal tersebut Papua telah dipaksa berintegrasi dengan Indonesia.
Rencananya, KNPB akan memobilisasi massa rakyat Papua untuk melakukan aksi demo damai dengan menggelar acara panggung terbuka di lapangan Taman Makam Pahlawan, Theys Hiyo Elluay, Sentani, Papua.

OKTOVIANUS POGAU

Sumber: http://suarapapua.com/2013/04/larang-demo-damai-gubernur-dan-kapolda-papua-dinilai-langgar-ham/


 

Tundukan WANAGON FC, PANA FC Juarai Group C Liga Cenderawasih Ke VI Malang

MALANG -- Dalam Laga lanjutan Group C Liga Cenderawasih Ke VI , Wanagon FC  terpaksa harus menerima kekalahan di depan pendukungnya sendiri di Stadion Utama Liga Cenderawasih Dinoyo,Malang, senin (26/3). Pada pertandingan tersebut WANAGON harus menerima kekalahan dengan skor 3-2 ,kemenangan atas PANA FC.

Berbekal kepercayaan yang tinggi setelah di pertandingan sebelumnya PANA FC mengalahkan Rusa Muda Merauke,PANA FC  langusung menggebrak pertahanan WANAGON FC dari awal laga.Namun sayang  pemain PANA FC kurang memaksimalkan Peluang  bola yang ada untuk mengkonversikan menjadi Goll.

Alih-alih bisa mencetak gol,PANA FC berhasil mencetak Gol pada menit ke-15. Gol PANA FC tersebut dicetak oleh Aris salah satu Pemain tengah PANA FC  dari dalam kotak penalti  yang tidak mampu dibendung oleh Kiper Wanagon FC.
 
Pada menit ke-20 WANAGON FC  berhasil menyamakan kedudukannya menjadi 1-1 melalui gol dari Pemain depan WANAGON FC.Pertandingan terus berlanjut, kedua Tim saling menyerang hingga WANAGON FC berhasil menamabah pundi-pundi Golnya menjadi 2-1,namun sayang skor ini tak bertahan lama karena pemain PANA FC terus mengguyur Jantung Pertahan WANAGON FC dan tercipta gol melalui tendangan Bola mati di luar Kotak Finalty oleh kaki sang Kapten PANA FC Martinus Pigome yang tak mampu di dibendung oleh Penjaga Gawang WANAGON FC,skor menjadi 2-2  dan bertahan hingga Wasit meniupkan peluit panjang Babak Pertama.
 
Gol ketiga PANA FC  dicetak oleh Steven Adii salah satu pemain PANA FC yang dimasukkan oleh wasit pada babak ke 2 menggantikan Marco,proses tercipta gol ke 3 oleh pemain depan PANA FC itu adalah berkat dari umpan silang yang di berikan Oleh Nion Agapa dari sayap kiri menuju sayap kanan dan peluang ini di manfaatkan secara maksimal dan menghasilkan Gol sehingga Skor menjadi 3-2 dan skor tersebut bertahan sampai Wasit meniupkan Peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan,Kemenangan atas PANA FC.
 
Dengan kemenangan ini, PANA FC  yang sebelumnya mengalahkan Merauke FC menjadi Juara Group C Liga Cenderawasih  Ke VI dengan raihan 6 poin,dan kedudukan sebagai juara Runer up di rebut oleh Rusa Muda Merauke FC karena Berhasil mengalahkan Wanagon FC.Sesuai Jadwal PANA FC akan berhadapan dengan Bintuni FC A dalam pertandingan 8 besar Liga Cenderawasih Cup pada hari Rabu(28/3/12) untuk memperebutkan tiket berikutnya Agar dapat Menuju ke Kursi Panas Perempat Final.(YOHANES GIYAI/UMAGI) )*

Kabupaten Nabire Jadi Penyuplai Sembako ke Pegunungan

Nabire - Kabupaten Nabire menjadi penyuplai bahan makanan pokok serta kebutuhan-kebutuhan lain untuk beberapa kabupaten di pegunungan seperti Dogiay, Degiay, Paniai, Puncak Jaya, Puncak dan Intan. Dengan demikian, fasilitas penunjang seperti bandara maupun dermaga, harus diberikan perhatian secara khusus untuk diperluas lagi.

Permintaan itu disampaikan Bupati Nabire, Isaias Douw ketika ditemui Papua Pos disela-sela mengikuti Rakerda para bupati/walikota yang berlangsung di Swisbelt Hotel-Merauke beberapa waktu lalu.  Menurutnya, dalam Rakerda ini, terdapat beberapa point yang dibawa sekaligus diusulkan kepada pemerintah provinsi diantaranya, perpanjangan lapangan terbang Nabire serta dermaga yang merupakan pintu masuk untuk penyuplaian makanan pokok serta bahan bangunan ke kabupaten di daerah pegunungan. 

Masalah perekonomian, lanjut Douw, menjadi prioritas. Jika peruntukan kebutuhan-kebutuhan dimaksud hanya untuk masyarakat di Kabupaten Nabire, sudah sangat mencukupi. Hanya saja, kabupaten lainnya di daerah pegunungan yang harus mendapatkan perhatian juga. “Saya ingin katakan bahwa 80 persen bahan makanan serta kebutuhan lain  untuk kabupaten di pegunungan, didroping dari Nabire. Olehnya, berbagai fasilitas pendukung, harus diberikan perhatian secara khusus,” pintanya. 

Lebih lanjut Douw mengungkapkan, khusus menyangkut kapasitas kelembagaan, sudah dibenahi termasuk juga stabilitas keamanan di daerah tersebut yang sudah berjalan kurang lebih tiga tahun terakhir.  Semua orang, dapat melakukan berbagai aktivitas sebagaimana biasa. Kabupaten Nabire adalah Indonesia kecil. Dimana, disana hidup masyarakat dari berbagai suku untuk melaksanakan aktivitas sebagaimana biasa. 

“Kami selalu hidup bergandengan tangan secara bersama-sama untuk membangun Nabire kedepan lebih baik. Pemerintah juga selalu merangkul berbagai komponen untuk saling tukar pikiran sekaligus mendapatkan masukan guna pembangunan dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Itu yang kami lakukan dalam tiga tahun terakhir,” tuturnya. [frans/Papos]





Khawatir Bawa Penyakit, Karantina Nabire Musnahkan 62 Unggas

Ayam hasil sitaan Karantina Nabire. Foto: Karantina Wilayah Kerja Nabire
Nabire - Guna mengantisipasi ancaman penyakit, Karantina Pertanian Kelas I  Biak, Nabire, Papua, menyita dan memusnahkan 62 unggas selama Januari-April 2013. Unggas masuk Nabire, melalui pelabuhan laut di Samabusa, 30 kilometer (km) sebelah Timur Kabupaten Nabire.

Pemusnahan hewan oleh Karantina Nabire, sudah 20 kali dan 13 ayam buras. Ayam buras banyak didatangkan dari Sulawesi Selatan, Ternate dan Jawa Timur. Data  Karantina Nabire, menyebutkan, walaupun baru empat bulan  jumlah ini meningkat dari 2012 sebanyak 51 satwa dan 500 Kg produk hewan berupa daging babi. Lalu, 2011, Agustus dan Desember, ada 14 unggas.

Penanggung Jawab Karantina,  Era Puspitasari mengatakan, jumlah ini meningkat dan sulit diatasi karena di wilayah Nabire marak perjudian ayam. “Di sini, ada empat tempat sabung ayam. Oknum aparat ikut  terlibat  jadi sulit untuk atasi. Kami juga sering berbenturan dengan para pihak di lapangan,”katanya.

Sampai saat ini, Papua bebas flu burung dan rabies. Untuk itu, pemerintah Papua tidak mau ambil risiko dan membuat Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Larangan Pemasukan Hewan Penular Rabies ke Wilayah Provinsi Papua (27 April 2006); Keputusan Gubernur Papua Nomor 130 Tahun 2003  tentang Larangan Pemasukan Anjing, Kucing, Kera, dan hewan lain ke Papua.

Dia mencontohkan, penyakit rabies bisa terkena hewan liar maupun yang sudah dipelihara. Mereka dapat bertindak sebagai pembawa dan atau penular penyakit rabies kepada sesama hewan maupun kepada manusia, seperti anjing, kucing, kera dan hewan lain. “Kami melakukan pemusnahan selama ini berdasarkan dasar hukum itu. Aturan ini yang kami tegakkan. Penyakit berbahaya dari hewan itu banyak.”

Untuk unggas, flu burung berbahaya karena bisa bermutasi. “Genetiknya bisa berubah bentuk  dan menyebar paling cepat.  Kemarin  H5N1 sekarang H7N9. Jangankan konsumsi, kita dekat dan lewat angin saja bisa tertular. Takutnya, menular ke manusia,”kata Era.

Dia mengatakan, tugas Karantina, tidak hanya mengawasi hewan hidup juga yang sudah mati, .seperti ayam, daging babi, telur, buah-buahan. Caranya, ambil sampel dan dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Saat ini Karantina Nabire hanya mampu sampai pemeriksaan kebusukan.

Aan Riyanto, Pengawas dan Tindakan Karantina menambahkan, ada dua faktor ayam, daging babi, telur, buah-buahan itu membusuk. “Ada yang memang dibawa dalam keadaan busuk dan ada yang faktor teknis perjalanan.”

Aktivis HAM luncurkan situs untuk mengadvokasi tahanan politik Papua

Tiga tahanan politik dari Wamena yang sedang berada di penjara Pulau Biak (papuansbehindbars.org)
Sebuah koalisi kelompok HAM meluncurkan situs untuk mendukung advokasi hak-hak para tahanan politik yang saat ini mendekam di sejumlah penjara di Papua.

Situs www.papuansbehindbars.org dibentuk oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua, bekerja sama dengan sejumlah LSM di Jakarta dan internasional, termasuk Asian Human Rights Commission (AHRC), East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan West Papua Network (WPN).

”Situs ini merupakan media untuk menyampaikan keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, mereka yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya”, kata Septer Manufandu, koordinator koalisi pada konferensi pers di kantor Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Abepura, Jayapura.

Menurut catatan mereka, sampai akhir Maret tahun ini setidaknya ada 40 tahanan politik di Papua, dimana 2 orang sudah divonis seumur hidup, yang lainnya divonis antara 3-20 tahun penjara, serta sebagian sedang dalam proses persidangan. Mereka umumnya ditangkap dengan tuduhan, antara lain, makar,  mengibarkan Bendera Bintang Kejora yang sudah dilarang pemerintah dan terlibat dalam gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Aktivis di Papua kerap ditangkap dan ditahan, meskipun mereka sebenarnya terlibat dalam aksi damai. Banyak keluhan yang mencuat karena sebagian dari mereka mengalami penyiksaan dan perlakuan buruk serta tidak bisa mengakses pelayanan medis yang memadai.

Keberadaan para tahanan politik, kata Manufandu, tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan.

Manufandu mengatakan, adalah juga penting untuk mengupayakan dihormatinya hak asasi para tahanan yang ditahan di berbagai tahanan polisi saat mereka menjalani penahanan, pemeriksaan atas dugaan pelanggaran makar, maupun mereka yang menjalani masa tahanan sebagai akibat dari putusan proses pengadilan kasus makar.

“Hal ini tak lain karena berbagai kisah pelanggaran HAM seperti penyiksaan, dan lain sebagainya, yang terjadi mulai dari masa penangkapan, pemeriksaan, hingga ketika mereka menjalani masa tahanan sebagai akibat putusan pengadilan atas kasus mereka”.

Pastor Timoteus Sefire OFM dari Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Fransiskan Papua menyambut baik peluncuran situs ini dan mengatakan, ini akan membawa masa depan yang lebih baik bagi tahanan politik.

“Ini merupakan sebuah terobosan baru untuk bisa membongkar ketidakadilan yang dialami oleh para tahanan di balik jeruji besi”, katanya.

Ia menambahakn, “Situs ini juga akan membuat msalah tahanan poltik di Papua bisa menjadi konsumsi masyarakat luas, baik nasional maupun internasional”.

Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and Political Rights) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, termasuk pula  pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment)  melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Namun, yang terjadi adalah seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, sejak disahkannya kedua Kovenan tersebut di atas, tetap menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang jelas bernuansa pidana.

Karolus Kundal, Jayapura/indonesia.ucanews.com



KONI Papua Diduga Korupsi Dana PON Rp108 Miliar

ilustrasi@
JAYAPURA - Papua Corruption Watch (PCW) menduga ada indikasi korupsi senilai Rp108 miliar yang dilakukan oleh KONI Papua pada dana Pra PON dan PON 2009 lalu.

Koordinator PCW, Hans Paiki, mengatakan, hingga saat ini dana tersebut belum bisa dipertanggungjawabkan oleh KONI. Pihaknya akan mengadukan kasus tersebut ke Kepolisian setempat, jika KONI tak dapat mempertanggungjawabkan dana hibah dari Pemda tersebut.

“Artinya kalau kita lihat dari pra-PON, dana Rp40 miliar itu tidak terserap habis, tetapi masih ada sisa dana sekira Rp15 miliar. Kemudian ditambah lagi waktu PON kemarin, itu dari dana yang diberikan oleh Pemda Papua sebesar Rp158 miliar. Jika dana itu  ditambah dengan sisa-sisa dana pra PON, totalnya hampir Rp108 miliar," ujar Hans di Jayapura, Rabu (24/4/2013),

Indikasi lain, sambungnya, jumlah peserta sewaktu pelaksanaan pra-PON dengan PON berbeda jauh. Padahal jumlahnya semakin sedikit, namun dananya semakin besar. "Di sini kami temukan banyak sekali indikasi,” sambungnya.

PCW berharap sebelum dilaksanakan musyawarah provinsi untuk pergantian pengurus,  KONI harus melakukan audit keuangan terlebih dahulu. (ris)


 Nurlina Umasugi - Okezone


 

Indonesian military ‘development’ program spreads fear in West Papua

The military presence in West Papua is almost always accompanied by human rights violations such as killings, arbitrary arrests, rape and torture.
© Survival International
Papuan leaders have voiced their concern at plans for more than a thousand Indonesian soldiers to build 1,500 km of new roads in the next two years to accelerate ‘development’ inWest Papua.
The government claims that unrest in the region is caused by a lack of ‘development’, while Papuans blame their problems on the violation of their political and human rights. Survival International and many Papuans fear that the influx of soldiers will bring neither development nor peace to the region.
One Papuan leader, Rev Socratez Yoman, told Survival, ‘The West Papuans do not need big roads, but a better life on their own land, without intimidation, terror, abuses and killings’.
Another leader, Markus Haluk, warned that the roads would open up the forests to illegal logging, much of it likely to be at the hands of the military.
The military presence in West Papua is almost always accompanied by human rights violations such as killings, arbitrary arrests, rape and torture.
So-called ‘development’ has already inflicted enormous damage to the Papuan people. Despite the presence of the world’s biggest gold mine, West Papua remains the poorest region in Indonesia with an HIV/AIDS rate thought to be 20 times higher than the rest of the country. Many of the cases of HIV/AIDS can be traced back to the commercial sex industry, which has accompanied the arrival of migrant workers in the fishing, logging and mining industries.
Many Papuans believe that the military have a vested interest in introducing HIV/AIDS in West Papua and see it as an attempt at ethnic cleansing. In some areas the military have supplied alcohol and prostitutes to bribe tribal leaders in order to gain access to their land and its resources. The disease is devastating some tribes. Rates are especially high in areas where so-called ‘development’ has already taken place, such as close to the US- and British-owned Grasberg mine.
Survival International is calling on the government of Indonesia to end human rights violations in West Papua and to enter into meaningful talks with the Papuan people so they are able to decide their own way of life, their own development priorities and their own future.
For more information about the impact of imposing ‘development’ on tribal people see Survival’s campaign Progress Can Kill.

http://www.survivalinternational.org/news/9173

 


Posted at 20:58 on 22 April, 2013 UTC
Six members of the pro-independence West Papua National Committee, or KNPB, from Timika in the Indonesian region, have been jailed for one year.
They were sentenced on charges of carrying dangerous weapons and for treason, but their lawyers asserted the six were non violent activists and that no case had been proven against them.
They say they will lodge appeals against the sentence.
West Papuan media reporting on the trial have described the court decisions as farcical.
The six were arrested in October last year amid a crack down on KNPB activists by Indonesia’s counter-terror unit Detachment 88.
 

 

 
 

Jiwa Yang Patah: Ingatan Kekerasan dan Penderitaan di Tanah Papua

oleh: I Ngurah Suryawan*
Karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat (Papua―pen.) selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu. (March Bloch, Frech Rural History dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, 2000)

Heteroginitas etnik yang tinggi, kebudayaan dan kompleksitas adat serta gerakan sosial di tanah Papua memiliki sejarah yang komplek dan penuh dengan ketegangan dan konflik. Terdapat lebih dari 253 etnik dengan bahasa, struktur sosial, tradisi, sistem kepercayaan/agama, dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Kompleksitas persoalan di Tanah Papua terjadi seiring dengan peralihan kekuasaan-kekuasaan (politik) terhadap tanah Papua. Salah satu momen penting pentas kekuasaan terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu terjadi Perang Dunia II yang berimpikasi kepada proses penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli―Agustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan.

Sepanjang pemerintahan Orde Baru sejak tahun 1969, Papua menjadi salah satu objek pembangunan tanpa rekognisi yang memadai pada kompleksitas sejarah dan budaya Papua. Salah satu diantaranya dalam bentuk penyeragaman desa berdasar Undang-Undang Desa nomor 5 Tahun 1979 dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan komersial. Pemaksaan-pemaksaan nilai terjadi melalui pendidikan, birokrasi bahkan melalui lembaga-lembaga keagamaan. Catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dikenal secara internasional dalam intesitas yang tinggi. Berita mengenai Papua sarat dengan kisah-kisah mengenai gerakan-gerakan perlawanan untuk merdeka dan protes pelanggaran hak asasi manusia. Pasca reformasi, pemberlakuan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua serta Inpres nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua.

Kompleksitas permasalahan yang terjadi di Tanah Papua mengendap bagai api dalam sekam. Percikan-percikan ekspresi rakyat Papua terus-menerus muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan, kekerasan dan pengingkaran akan kemanusiaan. Negara (baca: kekuasaan Pemerintah Indonesia) menyumbang peran yang paling besar dalam melaksanakan kekuasaannya di Bumi Cenderawasih ini. Rangkaian kebijakan pembangunan dan intervensi politik dan kekerasan menunjukkan bagaimana Tanah Papua seperti daerah lainnya di Indonesia telah dijadikan “objek penderitaan” tanpa henti. Pertanyaannya sederhana, mengetahui tanahnya kaya, mengapa rakyat Papua hingga kini masih ada yang miskin? Bagaimana hak-hak dasar rakyat Papua dan identitas politik budaya mereka dihargai oleh negara?

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), institusi penelitian milik negara, telah mengindentifikasi setidaknya ada 4 kompleksitas persoalan yang hingga saat ini masih terjadi di Tanah Papua. Pertama, marginalisasi orang asli Papua, terutama dalam hak ekonomi sebagai efek migrasi penduduk. Kedua, kegagalan program pembangunan di Papua untuk mengatasi marginalisasi ekonomi. Ketiga, perbedaan pemahaman mendasar terhadap sejarah antara Jakarta dan Papua. Keempat, kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat Papua. Kekerasan ini diakibatkan dari lamanya pendekatan militer-keamanan dalam mengatur. Papua yang dimotivasi oleh ketakutan akan usaha “kaum separatis” untuk memecah belah. Pendekatan ini didukung oleh kaum nasionalis (membabi buta―pen.) di Jakarta yang mendominasi baik kaum sipil maupun birokrat militer, dan berlanjut hingga transisi Indonesia ke demokrasi. Ada tuduhan yang terus menerus terhadap kekerasan para “pemimpin separatis” seperti pembunuhan Kelly Kwalik tahun 2009 oleh Densus 88 yang menimbulkan dan menguatkan kebencian terhadap Jakarta terutama oleh kaum muda Papua di pegunungan (dataran tinggi). (Widjojo, 2009; 2010; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 39)

Bagian pendahuluan buku kecil ini mencoba menguraikan serangkaian kompleksitas permasalahan yang terjadi di Papua (status sejarah dan politik, ingatan kekerasan dan penderitaan, diskriminasi pembangunan dan peminggiran harkat dan martabat orang asli Papua, dan “gula-gula politik otsus dan pemekaran daerah”). Dari kompleksitas persoalan tersebut kemudian diakhiri dengan bagaimana secara antropologis memahami persoalan di Papua secara reflektif, inklusif dan emansipatoris. Dengan pendekatan antropologi reflektif inilah inisiatif-inisiatif dialog transformatif dan mewujudkan “Papua Tanah Damai” akan menjadi medium pembebasan bagi bangsa Papua yang akan bangkit memimpin dan sudah tentu membebaskan diri mereka sendiri.

Jiwa yang Patah: Kompleksitas Sejarah dan Status Politik West Papua
“Jiwa yang patah” adalah istilah dari John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah” (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai faktor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Dalam sebuah esainya yang inspiratif, John Rumbiak menulis dengan tajam, “Penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.” Ia mengutip tokoh pembebasan Frantz Fanon, seorang psikiater asal Caribbean yang kemudian mendukung perjuangan bangsa Aljazair dari penjajahan Perancis. Hal yang sama juga dilihat John Rumbiak dalam konteks penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Ia menuliskan:

Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masyarakat yang ditargetkan itu mesti diatur. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983, Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.1

Persepsi pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan, pertanian, dll.). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini.

Kompleksitas sejarah dan status politik berawal dari proses perebutan kekuasaan antara Indonesia dan Belanda terhadap Tanah Papua. Proses dekolonisasi Indonesia menyisakan berbagai persoalan. Belanda menyimpan sebuah rencana terhadap West Papua (Papua Barat) untuk menunjukkan perbedaan dengan Papua New Guinea (PNG). Belanda masih mempunyai keinginan untuk melakukan kontrol terhadap West Papua. Belanda mempunyai rencana untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua pada 1970. Tahap awalnya adalah pembentukan Dewan Nugini (Nieu Guinea Raad) pada April 1961 yang kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda dan pengenalan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” oleh anggota Dewan Nugini yang kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan pernyataan mengenai eksistensi bangsa West Papua. (Salford, 2003; Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 32)

Indonesia kemudian bereaksi dengan mengumandangkan penolakan terhadap bentukan “negara boneka” Belanda terhadap Papua melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) pada Desember 1961 oleh Presiden Soekarno yang berkeinginan besar menganeksasi Papua menjadi bagian dari Indonesia. Isi dari Trikora adalah: Hentikan pembentukan negara boneka Papua oleh Belanda; Kibarkan bendera Merah Putih di Papua, tanah air Indonesia; Bersiaplah untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Negara dan Bangsa. Banyak terjadi penolakan terhadap intervensi Indonesia ini, diantaranya datang dari Korps Sukarela Papua (Angkatan Pertahanan Sukarela Papua), sebuah unit bersenjata yang didirikan pada tahun 1961 untuk mempertahankan Papua dari Indonesia. Korps bersenjata ini kemudian dibubarkan ketika UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) meninggalkan Papua tahun 1963.

Dalam kondisi Perang Dingin dan takut Indonesia akan bergabung dalam blok komunis, Amerika mendekati pemerintah Barat lainnya untuk menghentikan dukungan terhadap kebijakan Belanda atas Papua. Akhirnya, Pemerintah Belanda dan Indonesia pada tahun 1962 melaksanakan Perjanjian New York yang mengharuskan Belanda untuk meninggalkan Papua dan menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) untuk periode 6 tahun hingga pemungutan suara dilakukan untuk menentukan apakah rakyat Papua berkeinginan untuk merdeka atau integrasi dengan Indonesia. Namun justru disinilah letak persoalannya. Rakyat Papua sama sekali tidak diikutsertakan dalam Perjanjian New York untuk menentukan nasib atas tanah kelahirannya sendiri. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari Indonesia. Ketidakpuasan dan peminggiran hak-hak rakyat Papua yang mendiami tanah yang disengketakan inilah yang memantik perjuangan-perjuangan pembebasan bangsa Papua untuk mencapai kemerdekaan secara politik. Maka kemudian berdirilah organisasi perjuangan politik bangsa Papua bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka) pada tahun 1965.

Pada tahun 1963 Indonesia mengambilalih administrasi dari UNTEA untuk kemudian dilakukan pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka. Indonesia mengatakan bahwa situasi geografis Papua yang sulit dan budaya politik Indonesia yang memiliki tradisi konsensus berdasar kesepakatan bersama (musyawarah mufakat) dijadikan pembenaran pemberian hak suara kepada perwakilan dibanding referendum. Dalam persepsi Indonesia, orang Papua dianggap “terlalu sederhana” dan “terlalu primitif” untuk memberikan suara.

Akhirnya, pemungutan suara disahkan yang menyetujui pemindahan kekuasaan Papua ke tangan Indonesia melalui resolusi PBB no. 2504 (Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea, 20 November 1996). Walaupun terdapat kesaksian dari wartawan mengenai beragam pelanggaran yang serius terhadap Perjanjian New York dan ketidaksetujuan dari 15 negara, Papua tetap diserahkan ke Indonesia pada November 1969 dan secara resmi dimasukkan ke dalam Negara Indonesia pada tahun 1973. Babakan sejarah itulah yang kemudian menyulut perasaan dikhianati di antara orang Papua yang percaya bahwa aktor-aktor eksternal yaitu Amerika, Belanda dan PBB mempunyai tanggungjawab moril dalam penyelesaian konflik sejarah dan status politik di Tanah Papua. Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Selama sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara kritis dan terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan historis tetap terpelihara. (Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 33-34; Sugandi, 2008: 4)

Tanah Papua telah menjadi sengketa dunia yang melibatkan Amerika, Uni Soviet, Belanda, Inggris, Australia dan Indonesia dengan kepentingannya masing-masing. Salford (2003 via Hernawan, 2006) menuliskan:

Bagi Barat, khususnya Amerika Serikat, Perjanjian (New York) dipandang sebagai kemenangan penting dalam perjuangan mencegah Indonesia tergelincir ke kamp Komunis. Bahkan Canberra, yang merupakan pendukung Belanda dari dulu, sejak Januari 1962, “memberikan dorongan aktif untuk peralihan kekuasan kepada Indonesia”.
London puas. Pada 1959, terdapat kesediaan rahasia untuk menawarkan dukungan logistik kepada Belanda saat perang. Tetapi pada 1962, makalah Kepala Staff Inggris menyuarakan kekuatiran bahwa bantuan semacam itu akan menyulut pemberontakan kolonial, khususnya di Singapura. Lebih lanjut, “Hal tersebut akan sungguh merusak perundingan tentang penetapan Malaysia Raya dan masa depan kita atas penggunaan Singapura sebagai basis”. Kekuatan Eropa lainnya yang tidak terlibat tampaknya puas saat masalah diselesaikan. Seperti diungkapkan oleh Menlu Jerman Barat, “Saat Indonesia mendapatkan New Guinea Barat, mungkin saja sudah menjadi ‘gurun pasir’ tapi siapa peduli?”
Bagi Soviet, penyelesaian itu mengecewakan. Pertikaian telah menjamin pengaruh mereka sebagai penyalur senjata terbesar bagi Indonesia. Sesaat pengaruh Amerika meningkat di Indo-Cina, wilayah kepulauan ini menjadi wilayah yang penting secara strategis.
Pada akhirnya, orang Papua-lah yang paling kalah dalam seluruh penyelesaian. Mereka tidak memainkan peran apapun dalam perundingan tetapi merekalah yang harus menanggung segala akibatnya. 2

Kompleksitas sejarah, baku tipu status politik, dan perasaan dikhianati orang Papua yang tidak dilibatkan dalam seluruh rangkaian nasib tanah kelahirannya adalah persoalan serius di Tanah Papua hingga kini. Persoalan ini menjadi dasar dari seluruh gerakan-gerakan politik pembebasan Papua dari Indonesia. Hal ini berimplikasi pada ketidakpuasaan, ketidakpercayaan terhadap Indonesia dan perasaan keberbedaan sejarah serta tentunya manipulasi sejarah Papua.

Ingatan Kekerasan dan Penderitaan
Selain kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua. Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancama serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran”. (Budiawan, 2004)
Di Tanah Papua, sudah menjadi pemandangan umum bahwa aparat TNI/Polri akan jauh melebihi guru-guru dan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah dan Puskesmas akan tampak lengang karena kekurangan tenaga atau meninggalkan tugas, sementara aparat keamanan dan pos-pos penjagaan tidak terhitung jumlahnya. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI dan/atau Polri amat dominan biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antara rakyat, gerakan perlawanan, dan aparat keamanan. Wilayah itu mencakup wilayah perbatasan RI―PNG, jalur pegunungan Tengah (Paniai sampai Pegunungan Bintang), wilayah-wilayah yang memiliki eksploitasi sumber alam yang kaya seperti Teluk Bintuni dan Timika.
Rentetan panjang sejarah pelanggaran berat HAM telah mendorong masyarakat Papua untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah genosida. Istilah ini sebenarnya adalah istilah hukum HAM internasional dari Konvensi PBB tentang Genosida tahun 1948 untuk menamai kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling serius setara dengan kejahatan perang. Intinya adalah tindak kejahatan yang secara sengaja dan terencana berniat membasmi sebagian atau seluruh kelompok masyarakat, suku, ras atau agama. Meski secara teknis hukum, genosida yang berkembang di Papua belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat terutama mengenai motif dan kebijakan negara serta jumlah korban, tetapi inti perasaan dan terlebih pengalaman tak terlindung makin hari makin kuat. Hak hidup orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58% : 42%. Umumnya, pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan secara geografis, mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi/bisnis serta lebih banyak tinggal di wilayah pedalaman. Perasaan dan pengalaman terpojok, tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua. (Hernawan, 2006)
Dalam tesisnya, John Giyai (2010: 91-92; Giay, 2000: 9) menyebutkan bahwa memoria passionis adalah suatu ingatan masa lalu yang tak bisa lupa dari ranah kehidupannya karena pengalaman suatu peristiwa yang menyakitkan fisik maupun psikis dan ceritanya diingat oleh generasi ke generasi. Rentetan peristiwa kemanusiaan (violence) seperti inilah yang menjadi ingatan penderitaan kolektif bagi bangsa Papua. Sejarah kekerasan itulah yang disebut dengan memoria passionis dengan mengambil istilah dari seorang teolog Johan Baptist Metz. Memoria passionis mengacu pada kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi sosial dan ekonomis secara umum.
Dalam sejarah Indonesia, pada zaman pemerintah Soeharto, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bhratayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1967-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapnduma (1996). Kemudian jalan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001), Operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004) (Tebay, 2009:2; Giyai, 2010: 91)
Dalam sejarah masyarakat adat Mimika tak bisa melupakan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 1996/1977. Hampir seluruh Pegunungan Tengah dilanda oleh Operasi Militer yang menewaskan atau mengorbankan ratusan manusia tak berdoa dan segala harta bendanya pun dibakar ABRI. Memoria passionis yang tak bisa dilupakan, mempengaruhi kehidupan generasi selanjutnya saat ini, yang mempengaruhi masa depan kualitas kehidupan, jika tidak ada rekonsialisi yang lahir dari niat semua pihak, terutama pemerintah. Gereja menganjurkan bahwa setiap umat dilarang melakukan dendaman terhadap orang lain yang melakukan kekerasan terhadapnya, karena ada kesempatan untuk mrekonsiliasi diri atau pertobatan atas kelasahannya. Gereja Katolik mengajarkan kepada umat bahwa Tuhan selalu memberi kesepatan untuk merekonsiliasi atau mempertobatkan diri untuk masuk dalam kehidupan baru. Geraja tidak memihak kepada pelaku kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tugas utama gereja adalah membela kaum tertindas dan dimarginalisasi. Misi luhur ini adalah misi pembebasan eksistensi manusia dari kedosaan dan kegelapan duniawi. (Giyai, 2010: 92-93)
John Rumbiak secara periodik menuliskan bagaimana pemerintah Indonesia telah melakukan “perang” melawan bangsa Papua sejak 1963 dengan serangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Saya akan kutip secara utuh bagaimana periode-periode penindasan terhadap rakyat Papua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Periode 1963–1969 adalah masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut “Act of Free Choice” pada tahun 1969. Pada masa ini pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode 1970–1984 adalah periode perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil ‘Act of Free Choice’ dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12.000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985–1995 mencatatkan bagaimana operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode 1996–1998 kembali dilakukan operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996–1998. Menurut ELSHAM Papua Barat (Mei 1998), drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.
Periode 1998–2000 adalah masa tumbangnya kekuasaan otoritarian rezim Suharto. Namun di Tanah Papua pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Tanah Papua.
Melihat begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka hadirlah Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang menjadi jawaban atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua. Meningkatnya eskalasi kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM, telah menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi orang Papua, termasuk didalamnya upaya penyelesaian konflik secara komprehensif.
Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya Working Group for Justice and Peace (IWGJP) 1995. Kehadiran IWGJP telah berhasil untuk melakukan monitoring dan investigasi terhadap serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui kerja sama dengan ACFOA di Australia, Herman Muninghoff, OFM (Uskup Jayapura), mengirimkan laporan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Mbanti. Laporan tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak terungkap ke publik.
Memandang pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk membentuk lembaga independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan advokasi yang lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Akhir 1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD), IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu seperti: Pdt. Herman Saud, M.Th., Uskup Herman Muninghoff, OFM., Zadrak Wamebu, Edison Giay, Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloy Renwarin, Johanes Bonay, Fien Jarangga, Yan C.H. Warinusi, Demianus Waney, Robert Mandosir, Silvester Wogan, Deny Yomaki, Yoseph Bawen dan Ferry Marisan. Pertemuan tersebut kemudian memberikan rekomendasi untuk mendirikan lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua.3
Nasionalisme Papua dan Benih Gerakan Sosial
Berlangsungnya kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan menyemaikan gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan gereja.
Masa-masa penting dalam pembentukan identitas ke-Indonesia-an (1945―1963) sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua juga tidak pernah ikut (diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti Sumpah Pemuda 1928. Maka konsepsi dan wacana lokal Papua berkembang sendiri untuk jangka waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh pemerasan dan kebiadaban Orde Baru. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal, kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di bawah Orde Baru.
Mengutip antropolog dan agamawan Benny Giay, Santoso (2001) mengungkapkan pada hakekatnya nasionalisme Papua terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik ke-Papua-an; protes besar terhadap Orde Baru; dan protes terhadap permainan dunia luar. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Itulah pasal pokoknya, kata orang di sini. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada 1969. Sekarang, orang Papua tidak mau dipecundangi lagi.4
Sementara gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut bertransformasi menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan gereja. Adalah pada tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di Biara APO dan Keuskupan Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan bagaimana cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua kepermukaan, termasuk ke tingkat Internasional. Maka terbentuklah KKO (Kelompok Kerja Oikumene) yang kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis di Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih sehingga sangat dekat hubungannya dengan kurator Museum Universitas Cendrawasih yaitu Arnold Ap maupun Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih, DR Daan Ajamiseba. IRJADISC menjadi lembaga hukum yang solid dengan diberi nama Yayasan Pengembangan Masyakat Desa (YPMD). Tahun 1984, gerakan masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena Arnold Ap dituduh otak di balik eksodus 10.000 orang ke Papua New Guinea dan dituding sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka di bawah Komando Brigjen. Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan melarikan diri dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi IRJADISC.
Berita dari kampung pun terbit yang kemudian berubah nama menjadi Kabar Dari Kampung (KDK). KDK selalu diasuh dalam bahasa Indonesia populer dan bahasa Indonesia―Papua. Waktu itu KDK merupakan majalah yang banyak dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya Arnorld Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur budaya, sistem budaya, sistem sosial masyarakat diberbagai di Papua sebagai entry point sewaktu introduksi sosial. Tetapi ketergantungan IRJADISC pada Universitas Cenderawasih (Uncen) itu berat. Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang dilontarkan oleh IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan orang-orannya masuk ke YPMD plus KDK hingga mulai dikenal di luar negeri. Pada tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan GKI meminta kepada YLBHI agar LBH didirikan di Papua.5
Rakyat Dong yang Selalu Menjadi Korban
Mulai berkembangnya gerakan masyarakat sipil, perempuan dan gereja direspon dengan dingin dan hati-hati oleh Pemerintah Indonesia. Catatan yang menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) Jayapura (2001).6 Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000 boleh disebut kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati, kejengkelan, demo-demo, reaksi anti militer/polisi, teriakan M (merdeka) dibiarkan tanpa ada pelarangan apalagi penangkapan. Seluruh lapisan masyarakat Papua seakan-akan mendapat ruang hidup seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu dengan Presiden B. J. Habibie. Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan bendera Papua dan dinyanyikan lagu “Hai, Tanahku Papua”. Boleh didirikan Satgas Papua berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga akhirnya ikan masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi penurunan bendera Papua pada 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi gebrakan awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.
Terhadap gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu mudahnya masyarakat dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati sedangkan pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang tidak sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian baik warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik di tingkat masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat; [5] kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat. Nada dasar dari semua ini adalah diciptakannya suasana konflik dan kekerasan yang pelan-pelan diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang Papua. Semua tindakan ini sangat tidak proporsional mengingat bahwa seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan secara damai; maka sangat sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan menahan “tokoh-tokoh perjuangan damai”, dan hanya tahu turut mengubah suatu iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.
Dalam konteks budaya, masyarakat dong juga menjadi korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan dalam program-program pemerintah. Salah satunya adalah operasi koteka. Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun 1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial.
Akumulasi keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka. Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (contoh: proses yang tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program transmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dll.). Masyarakat asli Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak lama melalui pelbagai demonstrasi damai. (Sugandi, 2008:5-6) [ ]

[1] Lihat John Rumbiak, Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan), (artikel tanpa tahun), elshamnewsservice (diakses Januari 2011).
[2] Salftford, John., 2003, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, London: Routledge Curzon, hlm. 13-14 via Hernawan (2006).
[3] Seluruh bagian ini diambil dari “12 Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun kehadiran ELSHAM di Tanah Papua”, elshamnewsservice (diakses 14 Agustus 2011).
[4] Seluruh bagian ini saya kutip dari Aboeprijadi Santoso, “Bintang Kejora Nasionalisme Etnik Papua Berkembang Alamiah”, Radio Hilversum, 26 Januari 2001. 
[5] Seluruh bagian ini saya kutip dari Simone Baab dan Victor Mambor, wawancara dengan George Junus Aditjondro, “Gerakan Masyakarat Sipil di Papua”, fokerlsmpapua.org (diakses 10 April 2011).
[6] Catatan SKP Jayapura (044/SKP/01/1.5.) “Papua, Ko Mau Kemanakah?” (2001).

*Dosen Fakultas Sastra―Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
e-mail: ngurahsuryawan@gmail.com & ngurahsuryawan@etnohistori.org

Sumber website: ngurahsuryawan.com




Pelayanan Kesehatan di Papua Kembali Digugat

Jayapura - Kematian 62 warga di Distrik Samenage, Yahukimo, Papua, yang terjadi selama Januari-Maret 2013 menimbulkan kedukaan dalam dunia kesehatan. Kematian tersebut bukan disebabkan tidak adanya tenaga medis, tetapi buruknya pelayanan kesehatan di sana. Pelayanan kesehatan di Papua kembali digugat.

Peraih Yap Thiam Hien Award 2009 bidang Penegakan Hak Asasi Manusia, Pastor Jhon Jonga saat dihubungi wartawan Suara Pembaruan dari Jayapura, Papua, Senin (22/4) pagi, menyatakan kinerja tenaga medis yang buruk tersebut tak pernah mendapat perhatian serius pemerintah. Pengawasan tenaga media di Papua sangat minim.

“Sejak pertama membuka persoalan ke publik, sama sekali saya tidak menyebutkan bahwa kematian warga akibat wabah penyakit. Yang menjadi persoalan di Distrik Samenage adalah rendahnya kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,” katanya.

Dia mengaku tak ingin berdebat soal jumlah warga yang meninggal. “Data yang kami peroleh, 62 orang meninggal, sedangkan temuan Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo, 26 orang. Data yang kami miliki sudah diklarifikasi ke pihak keluarga. Sebagian korban meninggal karena rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Yang terpenting adalah bagaimana tindak lanjut dari situasi ini,” ujarnya.

Pastor Jhon Jonga menegaskan penyampaian informasi ke publik tentang warga Yahukimo yang meninggal akibat buruknya pelayanan kesehatan tidak dilandasi motif politik untuk menjatuhkan nama baik Pemerintah Kabupaten Yahukimo.

“Itu tidak menjadi tujuan pekerjaan kami. Yang kami inginkan agar perubahan yang lebih baik dari pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Tidak hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga pendidikan, ekonomi, dan sosial, yang memang dari temuan kami di Distrik Samenage tidak terlaksana dengan baik,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Majelis Rakyat Papua Barat, Tjonci Wolas Krenak menyesalkan sikap pemerintah pusat yang kurang memperhatikan pelayanan kesehatan di Papua.

“Kami seperti anak tiri. Banyak korban meninggal di Papua, tetapi minim perhatian pemerintah pusat,” tegasnya.

Penulis: 154/AB/Beruitasatu.com


MAHASISWA UNCEN : BUDAYA PAPUA DIAMBANG KEPUNAHAN

Puluhan mahasiswa Uncen yang duduk
sambil menyanyi lalu berorasi di pinggir
jalan raya perumnas III Waena (Jubi/Musa)

Jayapura, 15/4 (Jubi)Senin (15/4) sekitar pukul 10.00 -10.30 WIT, puluhan mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua berunjuk rasa. Puluhan mahasiswa itu meminta, warga Papua sadar kalau budayanya sudah diambang kepunahan. Tak hanya itu, pendemo juga meminta perhatian semua pihak atas kasus Tambrauw, Papua Barat.

Pantauan tabloidjubi.com, puluhan mahasiswa itu duduk sambil menyanyikan sejumlah lagu-lagu Papua dipinggir jalan raya persis diputaran taksi perumnas III Waena, Abepura, Kota Jayapura. Pendemo mengenakan baju alamamater kampusnya berwarna kuning. Sebagian diantaranya mengenakan pakaian adat Papua. Sebagian lagi menggenakan mahkota hiasan ala Papua dikepala.Lagu-lagu khas Papua yang dinyanyikan diiringi dengan tabuhan tifa dan gitar. Salah satu lirik lagu yang dinyanyikan adalah ‘Yayun Wambeso’ lagu yang dinyanyikan ‘Black Brothers‘ group ternama di Papua era 1970-an. Mereka (pendemo) memilih putaran taksi karena merupakan satu-satunya tempat persinggahan sementara taksi angkutan umum jurusan Abepura-Waena perumnas tiga.

Tempat itu strategis karena taksi yang mengangkut mahasiswa dan dosen serta staf lainnya yang hendak ke kampus baru perumnas III Waena, harus turun disitu. Mesti demikian, tidak mengganggu kendaraan yang lalu lalang di Jalanan. Aktivitas transportasi lancar seperti biasa. Tak hanya menyanyi dan duduk, beberapa rekan-rekan dari mereka berdiri dan berorasi. Sebagian orator menekan kepunahan budaya Papua yang sudah diambang pintu. Orator lainnya meminta perhatian semua pihak atas wabah yang menimpa warga di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, pekan lalu.

Yason Ngelia, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uncen dalam orasi mengatakan, mahasiswa jangan tinggal diam. Saat ini banyak kasus di Papua yang perlu disikapi. Diantaranya, wabah yang mendera sejumlah warga yang diam di Tambrauw, seperti dikabarkan sejumlah media massa beberapa waktu lalu. “Banyak korban berjatuhan di Tambrauw. Jangan kita tiggal diam. Mari kita sikapi,” tegas Yason dalam orasinya, Senin (15/4). Selain Yason, Yeni orator lainnya dalam orasinya mengatakan selain korban yang berjatuhan di Tambrauw, mahasiswa harus sadar kalau budaya Papua sudah berada diambang kepunahan. Dia mengaku merasa bangga saat berorasi karena berpakaian adat Papua. “Saya tidak malu gunakan pakaian adat ini. Rakyat Papua harus sadar kalau pakaian adatnya serta budaya lainnya sudah diambang kepunahan,” tuturnya.

Hal serupa juga disampaikan pendemo lainnya. Mereka menegaskan, orang Papua harus sadar kalau budayanya terancam punah. “Orang Papua jangan diam. Budaya Papua terancam,” tegas orator lainnya. Menurut dia, warga Papua harus sadar karena budayanya jarang dimasukan dalam kurikulum sekolah untuk dipelajari. Sementara budaya luar yang sementara ini dipaksakan untuk dipelajari. Benyamin Gurik, salah satu pendemo kepada tabloidjubi.com mengatakan, pendemo akan melanjutkan demo ke Lingkaran Abepura. Demonstrasi kali ini dikoordinir oleh Yason Ngelia. Sekitar pukul 10.30 WIT, puluhan mahasiswa ini meninggalkan perumnas III lalu berjalan kaki menuju Lingkaran Abepura. (Jubi/Musa)


Penulis/ Editor  : Musa Abubar |Sumber: tabloidjubi.com






 
Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger