|
Dokter dan tenaga medis mencatat jumlah pasien dan stok obat-obatan
setelah imunisasi di Kampung Yaleskomo, Distrik Asolokobal, Kabupaten
Jayawijaya, Papua, Rabu (2/5). Tenaga medis harus berjuang dengan
berjalan kaki selama tiga jam dan mendaki perbukitan untuk sampai di
kampung tersebut.
|
PAPUA - Dokter I Wayan Putra (40) tergopoh-gopoh menenteng tas peralatan medis.
Tak lupa ia mengenakan bot dan jaket tebal untuk mengimbangi medan di
Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua Barat.
Rumput yang masih basah
berembun memenuhi jalan setapak dari tempat tinggalnya. Di dalam rumah
panggung tradisional—biasa disebut rumah kaki seribu (karena tiang
penyangganya sangat banyak)—telah menanti Irsye Mandacan (28), warga
yang sedang menahan sakit persalinan anak keduanya.
Wayan mampir
sebentar untuk mengambil peralatan yang masih tertinggal di puskesmas di
samping rumah dinasnya. Tak lupa ia mengajak istrinya, Vera Yuanita,
yang juga seorang dokter untuk membantunya.
Di tengah derasnya
gempuran godaan materialisme, segelintir tenaga medis tetap terpanggil
mengabdikan diri di Tanah Papua. Mereka rela meninggalkan hiruk-pikuk
budaya urban: mal, bioskop, kafe, dan restoran. Rentetan aksi kekerasan
di Papua belakangan ini bahkan tidak menyurutkan semangat mereka
mengabdi di daerah itu.
Dokter Wayan sudah tiga tahun ini
bertugas di Distrik Anggi, pinggiran kota Manokwari. Ia menjadi dokter
pegawai tidak tetap yang telah diperpanjang kontraknya berkali-kali.
Selain
melayani pasien, Wayan juga kerap mengajar bahasa Inggris kepada
anak-anak setempat dan menjadi guru sekolah minggu di gereja setempat.
”Raut muka tulus dan ramah pada orang Pegunungan Arfak membuat saya betah,” kata Wayan.
Lagi
pula, di pedalaman seperti itu Wayan tidak perlu keluar uang banyak
untuk pulsa atau gaya hidup. Sayuran tinggal dipetik. Beras tinggal beli
waktu turun ke kota.
Kalau ia turun ke kota, paling lama hanya
sepekan. Itu pun biasanya untuk mengurus administrasi dan keperluan
dinas lain. Setelah itu, ia kembali ke Anggi dengan menumpang kendaraan
segala medan (gardan rangkap) selama 4-5 jam. Istrinya yang baru datang
dari Jawa bulan lalu kini menunggu penugasan ke Distrik Sururey.
Perjalanan ke sana masih sekitar satu jam lagi dari Anggi.
Otto
Parorrongan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, mengatakan,
dedikasi seperti yang ditunjukkan Wayan sudah langka. Umumnya tenaga
medis—bahkan yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri pun—enggan
bertugas di pedalaman karena alasan cuaca dan fasilitas.
Pihaknya
cukup terbantu dengan kebijakan Kementerian Kesehatan yang menempatkan
dokter pegawai tidak tetap (PTT) tiga kali setahun: April, Juni, dan
September. Dalam setahun terakhir, masa tugas itu diperlama dari enam
bulan menjadi setahun dan dapat diperpanjang lagi sesuai dengan
permintaan.
April lalu, Papua Barat mendapatkan 51 tenaga dokter
umum PTT yang disebar ke sembilan kabupaten dan satu kota. Mereka
mengisi puskesmas-puskesmas di kota dan pedalaman. Dengan penempatan
itu, kini puskesmas yang terisi sudah 90 persen dari total 126 puskesmas
di Papua Barat.
Kondisi Provinsi Papua yang jauh lebih dulu
berdiri daripada Provinsi Papua Barat tidak lebih baik. Banyak puskesmas
tak terisi dokter. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta
mengakui hal itu. Sebesar 40 persen dari 314 puskesmas tidak dilengkapi
dokter dan di hampir separuh pondok bersalin kampung yang berjumlah 497
tak ada bidan.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah masa
kontrak dokter PTT di daerah terlalu singkat. Masa kontrak berlaku
paling lama setahun. Beruntung masih ada beberapa dokter, seperti Yuyun
Simanjuntak, yang setia mengabdikan diri di Puskesmas Assolokobal,
Kabupaten Jayawijaya.
Setiap minggu, bersama dengan beberapa
perawat dan mantri kesehatan, ia berkeliling ke kampung-kampung
memberikan pelayanan kesehatan. Meski harus bersusah payah berjalan kaki
menapaki lereng pegunungan di sekitar Lembah Balim, dokter lulusan
Universitas Sriwijaya Palembang itu tak surut melangkah.
Di Boven
Digoel juga ditemukan dokter yang berdedikasi tulus kepada sesama. Dia
adalah Gensya Prangomo Damanik (28) yang telah dua tahun bertugas di
daerah perbatasan RI-Papua Niugini itu. Sejak pertama bertugas sebagai
dokter PTT di Puskesmas Waropko, pedalaman Boven Digoel, tahun 2010,
lulusan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta itu terpikat
oleh Papua.
Meskipun telah ditawari bekerja di unit gawat darurat
sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, dia tetap memilih Boven Digoel
sebagai tempat pengabdian. Di daerah perbatasan RI-Papua Niugini itulah
Gensya dan dokter muda seangkatannya, seperti Trinengsih, Ansye, dan
Evelyn, menunjukkan kesetiaan mengabdi kepada sesama di tepi hutan
belantara.
(B JOSIE S HARDIANTO/ NASRULLAH NARA)
(KOMPAS)