PENDUDUK ASLI PAPUA BUKAN MAKAR, SEPARATIS DAN OPM (JUBI/VIKTOR M) |
Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Setelah saya membaca bukunya Syed Hussein Alatas yang berjudul: “Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial” (1988), terdiri dari 12 Bab dan 282 halaman, saya mendapat gambaran yang jelas tentang watak, perilaku, ideologi, siasat, strategi dan pendekatan yang dilakukan oleh kaum penjajah (kolonial) untuk menghancurkan penduduk yang diduduki dan dijajah. Menurut saya, kutipan di atas adalah tanggapan jitu dan brilian dari Alatas tentang ideologi kaum penjajah.
Alatas dengan cerdas dan tepat menggambarkan pencintraan yang dibangun oleh para penjajah dengan ideologi penjajahan dan ideologi kapitalisme tentang penduduk pribumi malas melalui pernyataan-pernyataan dan lebih dahsyat adalah melalui buku-buku yang ditulis oleh kaum penindas. Contoh-contoh penulis penjajah yang dikemukakan Alatas adalah seperti: J.S. Furnivall yang menerbitkan bukunya: “Netherland India” yang menjelaskan dalam dua belas halaman tentang perjuangan Indonesia tapi satu pun tidak menyebutkan tokoh-tokoh besar yang dimiliki Indonesia seperti: Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Alimin atau Muso. Furnivall dalam bukunya yang berjudul: “Colonial Policy and Practice” lebih merendahkan nasionalisme Indonesia. Seorang pelancong Italia dan doktor ilmu hukum, John Francis Gamelli Careri pada tanggal 27 Juni 1695 berkunjung ke Malaka dan menulis “Malaka kota yang mahal, orang-orang Melayu (Minangkabau) yang Muslim itu adalah para pencuri yang sangat ulung. Mereka adalah musuh Belanda yang garang, yang menolak menjalin hubungan dengan siapa saja,mereka adalah penduduk liar yang hidup seperti binatang…” (hal. 51). Sedangkan seorang pengamat dari Belanda Fancois Valentyn pada tahun 1726 melaporkan dan sedikit manusiawi dan bermartabat: “ orang Melayu itu lincah, jenaka, kesombongan diri yang besar, penduduk yang paling cerdik, paling berbakat, dan paling sopan santun dari dunia Timur, namun tidak banyak yang dipercaya” (hal. 52).
Sedangkan seorang Kapten Portugis yang dapat dipercaya, de Vellez Guirreiro, dalam laporannya tentang Johore dengan sangat kasar menyatakan: “ orang Melayu adalah orang yang biadab.” (hal. 52). Sementara Sir Thomas Stamford Raffles, “orang Melayu tidak memperoleh tingkat pegembangan intelektual yang tinggi. Karakter bangsa Melayu yang relatif primitif dan tak beradab, tidak didapat dari risalah resmi yang terdengar, tetapi dari berbagai gagasan sederhana; yang diutarakan secara sederhana, bahkan dapat menggambarkan karakter mereka baik daripada laporan keilmuan atau karangan halus” (hal. 51). Raffless juga memberikan penjelaskan: “…kebiasaan mereka (orang Melayu) adalah sopan, dan jika mereka harus dikatakan orang biadab, tentu saja mereka adalah yang paling beradab diantara seluruh kaum biadab; namun sebenarnya mereka sangat jauh dari menjadi orang biadab…” (hal.57).
Selanjutnya John Crawfurd, Residen Inggris di Istana Sultan Jawa memberikan penjelaskan tentang penduduk Melayu dan Indonesia. “ Kelemahan intelektual seperti itu adalah akibat dari keadaan masyarakat dan iklimnya, yang selalu kita anggap bahwa kekuatan terbesar akal pribumi akan sukar sekali untuk dibandingkan dalam hal kekuatan dan sumber daya dengan patokan lumrah tentang pemahaman manusia dalam tingkat peradaban tertinggi, meskipun mereka mungkin akan lebih cocok untuk membedakannya dalam keadaan yang ganjil di mana mereka terpanggil untuk bertindak.” (hal. 58).
Sementara Frank Stettenham adalah Resien Inggris dan dia menulis dengan penilaian yang manusiawi, beradab dan bermoral.” Orang Melayu berkulit sawo matang, agak pendek, gempal dan kuat, berdaya tahan tinggi. Wajahnya, biasanya jujur dan menyenangkan; ia tersenyum kepada orang lain yang menyapanya sebagai orang yang sederajat. Rambutnya hitam, lebat dan lurus. Hidungnya cenderung agak datar dan lebar pada cupingnya, mulutnya besar; biji matanya hitam pekat dan cerah, bagian putihnya sedikit kebiruan; tulang pipinya biasanya agak menonjol, dagunya persegi, dan giginya semasa sangat putih. Ia diciptakan dengan baik dan bersih, berdiri kuat di atas kakinya, tangkas menggunakan senjata, terampil membuat jala, menggenjot pedal, dan menguasai perahu; biasanya ia perenang dan penyelam yang ahli. Keberaniannya yang baik merata hampir pada semua laki-laki, dan tidak ada sikap budak di antara mereka, hal yang tidak biasa di Timur. Dipihak lain ia cenderung bersikap angkuh, khususnya terhadap orang asing.” (hal. 60). Hemat saya, Frank adalah salah satu orang Eropa yang menilai dan menulis tentang orang Melayu, Indonesia dengan pendekatan nurani kemanusiaan.
Dari beberapa tulisan dari penulis dunia Barat yang berwatak penindas dan penjajah yang telah dikutip tadi, kita mendapat gambaran tentang perilaku para penjajah terhadap penduduk yang diduduki dan dijajah. Struktur ideologi dan sistem penjajahan yang dibangun dengan pencitraan terhadap penduduk asli yang sedang ditindas seperti pengalaman penjajahan yang dialami Indonesia dari Belanda menjadi jelas. Sekarang ini, saya tempatkan dalam konteks Papua-Indonesia. Betapa terkejutnya kita semua, karena sekarang di era peradaban manusia semakin tinggi ini penduduk Asli Papua benar-benar diduduki dan dijajah oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menghancurkan penduduk Asli Papua dengan berbagai mitos dan stigma dengan seenaknya sesuai dengan selera penjajah. Contoh mitos dan stigma: “Orang Asli Papua adalah Gerakan Pengacau Liar (GPK); Gerakan Pengacau Keamanan (GPK); Primitif, kanibal, terbelakang, termiskin, terbodoh, terasing, belum bisa, belum mampu, tukang mabuk (tapi siapa yang membawa masuk minuman alcohol? Tujuan dan misi apa?), Jangan melawan Pemerintah karena Pemerintah wakil Allah (walaupun yang disebut wakil Allah itu selalu membantai umat Tuhan di Tanah Papua seperti hewan atas nama NKRI, pembangunan dan keamanan nasional); orang Asli Papua adalah melakukan Makar, anggota separatis dan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Mitos lain yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia adalah kurangnya perhatian dalam kesejahteraan rakyat Papua. Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul: Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya dikasih jadi mereka menuntut dan meminta apa lagi”. Orang yang sama pada acara di TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir,Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan”. Pemahaman yang sama disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011). Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi, pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.” (Baca: Opini saya: Kesejahteraan Bukan Akar Masalah Papua, Tabloid Jubi dan Pasific Post, 15 November 2012).
Semua mitos dan stigma dari Penjajah Indonesia ini, penduduk Asli Papua menerima secara utuh tanpa dikritisi dan disaring. Karena sejak awal, kesadaran, nilai-nilai budaya, sejarah, ideologi, pandangan hidup, penduduk asli Papua sudah dilumpuhkan dan dimatikan oleh Penjajah Indonesia selama hampir 41 tahun dari 1961-sekarang (2012) dengan pendekatan kekerasan militer dan berbagai bentuk undang-undang, Keputusan Presiden (Kepres), Instruksi Presiden (Inpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) dan pernyataan-pernyataan palsu yang mengadung kejahatan di berbagai media massa. Pemerintah Indonesia bersama Perguruan Tinggi, akademisi, peneliti, kaum pengusaha, Pers, Gereja, Missionaris Asing, Partai Politik, Sekolah, buku-buku, semuanya digunakan untuk mengembangkan ideologi penjajah dan menyebarkan terus-menerus dengan pencitraan buruk terhadap penduduk asli Papua. Bahkan Pemerintah Indonesia berhasil secara gemilang memaksakan orang-orang Papua Asli sendiri untuk menerima sistem nilai dan ideologi penjajahan Indonesia (Melayu) dengan menghancurkan nilai-nilai budaya penduduk Asli Papua. Pengetahuan yang ditanamkan, metode dan buku-buku, semuanya berasal dari luar Papua, Jawa. Inilah jebolnya bendungan kebudayaan penduduk pribumi Papua. Ada pemaksaan ideologi penjajah yang sangat merusak dan menghancurkan harapan hidup pribumi. Contoh: “Penduduk Pribumi Papua dipaksa menerima ideologi Penjajah seperti NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika” yang tidak pernah ada dalam hidup leluhur dan nenek moyang Penduduk Asli Papua.
Dalam buku saya berjudul: “Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah Dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” (2008) yang dilarang Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung, telah saya gambarkan Penjajahan dan Pembunuhan Struktural yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam bab 3 pada halaman 61-118. “Penindasan Ideologis atau Sandiwara Dalam Ideologis, Bersandiwara Dalam Waktu, Penjajahan Dengan Stigmatisasi/Labelisasi, Pembunuhan Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua, Penjajahan Dalam Bentuk Polarisasi Atau Adu-Domba, Orang Asli Papua diadili dalam Sandiawara Pengadilan Indonesia, Pemiskinan dan Ketergantungan Struktural, Referendum No, NKRI Yes, NKRI Harga Mati, Penjajahan Dalam Bentuk Pernyataan-Pernyataan, Bersandiwara Dengan Kunjungan-Kunjungan Pejabat dari Jakarta, Pembunuh disambut Dengan Tarian Adat Papua…..Penjajahan Melalui Rekayasa OPM” (Yoman: 2008).
Sementara cendikiawan,teolog, intelektual dan ilmuwan yang dimiliki Papua di era ini, Dr. Neles Tebay, dengan cerdas memberikan gambaran tentang mitos Pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah Papua ini dalam kata pengantar buku saya yang berjudul: “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (2010). “ Pemerintah Indonesia sudah biasa merangkum segala permasalahan di Papua dalam “tiga K” (Kemiskinan, Kebodohan, dan Keterbelakangan). Sudah lama Pemerintah memiliki pandangan ini. Pandangan ini diungkapkan secara eksplisit dalam berbagai pidato oleh para pejabat Indonesia dan pernyataan-pernyataan mereka di media massa. Pernyataan bahwa “masalah yang dihadapi oleh Papua adalah kemiskinan, kebodohan,dan keterbelakangan”, selalu diulangi oleh para pejabat dalam berbagai kesempatan. Pernyataan ini kemudian terekam dalam ingatan banyak orang, termasuk pejabat orang Papua,putra daerah di Papua”………..”Penyataan “tiga K” yang diulangi terus-menerus secara tidak langsung juga mempengaruhi pandangan orang luar terhadap orang Papua. Akibat pengulangan atas pernyataan “Tiga K” itu, maka orang luar memandang orang Papua sebagai orang miskin, bodoh dan terbelakang….” (Yoman: 2010).
Jadi, kesimpulan dari opini ini ialah Pemerintah Indonesia adalah benar-benar penjajah berwatak kejam dan kultur kekerasan militer yang sedang menduduki, menjajah, menindas dan memusnahan penduduk pribumi Papua dengan ideologi kolonialnya seperti yang telah dijelaskan tadi. Maka benarlah apa yang dikatakan Forkorus Yaboisembut, Ketua Umum Dewan Adat Papua : “Saya pikir persidangan ini lucu, masak yang punya tanah diadili oleh orang lain sebagai tamu di tanah ini. Papua adalah Negara kami sendiri dan saya berharap melakukan apa saja untuk menegakkan hukum dan kedaulatan Negara saya sendiri” (Cenderawasih Pos, Rabu, 29 Februari 2012, hal. 7). Seperti yang diakui oleh Mako Tabuni, Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) kepada wartawan: “Kami Tak Menuntut Keadilan dalam Hukum NKRI” (Bintang Papua, 05 Mei 2012).
Dan juga ditegaskan Marthinus Wandamani, pada saat mengibarkan 400 Bendera Bintang dan menyampaikan pidato politik pada saat demo tanggal 1 Mei 2012 menentang Aneksasi Papua ke dalam Indonesia menyatakan: “Sudah saatnya dunia tahu tentang kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia di atas tanah ini dan hal-hal yang tidak manusiawi dilakukan pihak Indonesia terhadap rakyat Papua antara lain: pelecahan, penculikan, pembunuhan terhadap rakyat Papua.” Selanjutnya Marthinus menyatakan: “Pemerintah Indonesia harus tahu walaupun atributnya ditahan oleh pihak keamanan, tetapi bendera yang ada di hati kami, anak-anak bangsa Papua tidak pernah hilang sampai kapanpun” ( Serui, Bintang Papua, 02 Mei 2012). Memang benar, para penjajah tidak pernah mengakui dan menghargai keunggulan dan kehebatan yang dimiliki Penduduk Pribumi yang dijajah. Jadi, saya mau sampaikan kepada Penjajah Indonesia yang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua ini bahwa Penduduk Asli Papua Pemilik Negeri dan Ahli Waris Tanah ini bukan Separatis, Makar dan OPM. Sudah saatnya Pemerintah Indonesia harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan atas Tanah Papua dan Penduduk Asli Papua sesuai dengan Mukadimah UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Walaupun, Pemerintah Indonesia membangunan kekuatan dengan perlengkapan senjata canggih dan pemekaran banyak kabupaten dan provinsi yang liar di Papua untuk mempertahankan Papua dalam koloni Indonesia, tetapi nubuatan ini cepat dan lambat pasti terwujud. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat (termasuk Otsus yang telah gagal dan UP4B yang palsu) tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Akhirnya,saya hormat kepada S.H.Alatas yang menulis buku: ”Mitos Pribumi Malas.”
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
UPDATE OPINI : TABLOIDJUBI.COM
0 komentar:
Post a Comment