“Dorang tebang sagu baru nanti ganti dengan sawit, memang kita makan sawit ka?”
Nada kesal keluar begitu saja dari mulut mama Atha, ketika memandang
foto berukuran 20R di stand Greenpeace pada Festival Danau Sentani ke
V, siang itu. Festival Danau Sentani di lakukan setiap tahun, festival
ini juga menjadi pagelaran budaya sebagai simbol dari penghormatan
terhadap alam dan lingkungan. Penghormatan untuk hutan sebagai sumber
inspirasi budaya lokal dan tempat masyarakat menggantungkan
keberlanjutan hidup mereka.
Foto udara yang diambil di daerah Lereh Papua (tahun 2009) itu sangat menggambarkan hutan sagu yang tengah dihancurkan oleh bulldozer untuk di ubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Mama Atha, seorang perempuan paruh baya dengan rambut keriting yang mulai memutih asal Bovendigul-Tanah Merah, Papua ini pantas geram, sebagai perempuan kampung, mama Atha bercerita bahwa kepulan asap dapurnya bergantung dari bahan-bahan yang berasal dari hutan dan dusun sagu.
Foto udara yang diambil di daerah Lereh Papua (tahun 2009) itu sangat menggambarkan hutan sagu yang tengah dihancurkan oleh bulldozer untuk di ubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Mama Atha, seorang perempuan paruh baya dengan rambut keriting yang mulai memutih asal Bovendigul-Tanah Merah, Papua ini pantas geram, sebagai perempuan kampung, mama Atha bercerita bahwa kepulan asap dapurnya bergantung dari bahan-bahan yang berasal dari hutan dan dusun sagu.
“kami perempuan tidak tau, kami tidak pernah ditanya, itu urusan
bos-bos diatas, kami cuma tau kalau hutan dan dusun sagu kami habis,
hidup kami susah, kami juga tidak bisa buat pesta adat lagi, tidak ada
bahan-bahan untuk bikin baju, noken, anyaman dan itu tidak bisa diganti
dengan plastik” Ujar mama Atha.
Penuturan mama Atha membuka sekelumit luka para kaum perempuan papua
yang sangat perih menahan derita akibat ketidakadilan sistem negara yang
justru lebih banyak berpihak kepada pengusaha besar ketimbang dapur
perempuan-perempuan dusun seperti mama Atha. Kehidupan mereka yang
sangat dekat dan bergantung dengan alam, menjadikan alam tidak hanya
sebagai sumber penghidupan dan obat-obatan tradisional tapi juga menjadi
sumber inspirasi budaya, tatanan sosial dan politik serta agama-agama
tradisional semua suku di dunia tak terkeculi di Tanah Papua.
Sayang gencarnya pembangunan yang mengatas namakan kesejahteraan,
telah menambah lagi banyaknya persoalan baru dibumi cendrawasih.
Berbagai mega proyek mulai dari perkebunan hingga tambang telah
mengkotakkan setiap jengkal tanah di Papua dalam peta ekonomi, tanpa
pernah bertanya pada kelompok perempuan kampung seperti mama Atha,
padahal akibat paling besar justru akan dirasakan langsung oleh mereka
yang sehari-hari. Perempuan kampong tidak hanya menggantungkan hidup
mereka pada hutan tapi juga sejarah dan kebanggan tentang tanah leluhur
yang seharusnya memberikan kesejahteraan bagi semua.
Namun sekali lagi dimanakah tempat mereka ditengah sistem ekonomi
Negara seperti ini? Masyarakat adat khususnya kaum perempuan hanya bisa
berhadapan dengan masalah baru, yakni kesulitan untuk menemukan bahan
makanan sehari-hari serta sejumlah bahan baku untuk berbagai ritual dan
pengobatan. Banyak dari tumbuhan dan jamur yang digunakan sebagai bahan
pangan, pakaian tradisional dan zat pewarna hanya dapat hidup di hutan
dan sulit untuk dibudidayakan oleh masyarakat.
Kini, ketika sebagian hutan dan dusun sagu ditanah Papua dialih
fungsikan atas nama pembangunan, yang justru menciptakan ekonomi biaya
tinggi dengan semakin lama nyawa ktu berburu, semakin sulitnya hewan
buruan di dapat dan semakin jauh dusun sagu.
Maka perempuan seperti mama Atha pantaslah garang bertanya,
“Pembangunan yang mana? Yang membuat kami miskin diatas tanah kami
sendiri, yang buat kami melupakan adat istiadat dan identitas kami,
serta menjadi bibit permusuhan dalam keluarga kami?”
“Kami tentu ingin hidup dengan layak, tapi bukan untuk melupakan apa
yang pernah orang tua kami ajarkan pada kami dulu tentang menghormati
alam, menghormati sesame dan menghormati hutan sebagai mama” ungkap mama
Atha.
Sebuah tanya yang tak perlu dijawab, hanya perlu direnungkan.
Sumber: Greenpeace
0 komentar:
Post a Comment