Tulisan ini kutulis ketika terjadi ketegangan antara orang Papua dengan orang Jawa di Karang Tumaritis Nabire Papua.
Asal mula koteka, tidak semua orang tahu, termasuk mereka yang
mengenakannya. Menurut alm Paulus Wakey, mantan katakis Timeepa yang
dulu pernah meneliti budaya orang Mee bersama antropolog Helkma, koteka
berasal dari moyang orang yang mengenakannya itu sendiri. Tidak ada
koteka impor. Konon katanya, dua orang bernama Emogiki Pane dan Emobeku
Pane berbuat dosa disebuah tempat yang disebut Egaidimi, lalu mereka
diusir dan dalam perjalanan mereka diberi petunjuk untuk mengenakan
Koteka dan Moge. Ketika itu para malaikat menyanyikan lagu:
“Epeko benoo – epeko samouwii, puneko beno – puneko samouwi, gagako
beno – gaga ko samouwi, didiko beno – didiko samouwi, peuko beno – peuko
samouwi, sigimagako beno – sigimagako samougi, ediwaneko beno –
ediwaneko samouwi, waneko beno – waneko samouwi, uwaikobeno – uwaiko
samouwi”.
TUHAN Allah memberi nama Emogiki dan Emobeku karena berdua berbuat
dosa yang berakibat Emo (darah), lalu pikiran berdua terbuka (Egaidimi)
yang selanjutnya menjadi nama bukit. Sejak diusir itulah, kedua orang
ini sadar bahwa mereka dalam keadaan telanjang. Awalnya mereka mencoba
menutupinya dengan dedaunan, namun Tuhan Allah memberi ilham untuk
membuat koteka yang tumbuh subur di kebun mereka yang berpagar. Maka
jadilah busana yang betul-betul menunjukan kejantanan seorang pria dan
moge bagi seorang wanita.
Sebelum pikiran manusia pertama belum terbuka, tidak ada permusuhan,
pertentangan, pertengkaran, percemoohan dan lain sebagainya. Dan memang
mereka mau baku marah dengan siapa, karena memang tidak ada orang pada
waktu itu. Namun iblis yang gila hormat, dari waktu ke waktu menggoda
manusia dan Allah pun harus membuat pagar agar si iblis tidak lagi masuk
ke tamanNya.
Iblis itulah pikiran yang kemudian dinyatakan lewat tindakan, tanpa
timbang-timbang langsung bertindak. Peristiwa seperti yang terjadi di
Nabire medio April 2010 di Nabire, mesti menjadi pelajaran berharga bagi
kita semua. Bermula dari seorang pemuda Paniai mencuri buah Salak milik
mas Narto di Girimulyo Nabire dan warga Jawa yang mendapatinya langsung
menghajar si pencuri tadi. Namun peristiwa tersebut tidak diterima oleh
warga lain yang berlatar budaya koteka. Isu beredar cepat dan sejumlah
rumah milik orang Jawa dibakar masa, sejumlah warga Jawa dipukuli dan
yang lain nyaris diperkosa.
Ternyata tindakan itu membela seorang pencuri. Warga Papua pun baru
menyesal di Kantor Polisi karena terlanjur disulut isu yang tidak benar.
Peristiwa yang menghebohan Papua itu mesti menjadi pelajaran bagi
kita semua. Bahwa mencuri itu tidak baik dan lebih buruk lagi bila kita
membela orang yang sudah berbuat kesalahan.
Bila kita telusuri moyang kita dulu, mereka sudah mengatakan ikrar
kesetiaan mereka kepada TUHAN Allah dengan mengenakan koteka dan moge
untuk melawan si iblis itu. Koteka dan moge adalah tanda bukti kesetiaan
manusia kepada TUHAN, walaupun selanjutnya manusia harus menanggung
beban penderitaan sebagai akibat dari pikiran independent yang telah
dipilih itu. TUHAN Allah mengatakan, okei, kalau anda sudah berjanji
untuk menuruti aku, berbuatlah setiap hari dengan ajaran-ajaranKu ini.
Selanjutnya TUHAN Allah turunkan Kabo Mana yang didalamnya berbunyi:
tide dimi (kesederhanaan, merendah), enaimo dimi (kebersamaan), ide dimi
(bersemangat), ipa dimi (mengasihi sesama), ahoo dimi (rajin,
telaten), dan wadoo dimi (membangun).
Sekarang, kalau kita mau jujur. Setiap keturunan yang berasal dari
moyangnya yang pernah mengenakan koteka dan moge, mestinya harus malu
dan malu terhadap semua tindakan yang kita berbuat sekarang. Sering
kita main hakim sendiri, mencari menang sendiri, egois, mementingkan
kelompoknya, menceritakan orang, ini semua sikap yang keliru dan
bimbang. Mesti kita lihat persoalan, apa penyebabnya lalu kita mengambil
tindakan. Ingat. Jangan main hakim sendiri, apalagi disini Negara
hukum.
Dengan adanya sikap demikian, pihak ketiga mudah saja memprovokasi
ruang-ruang yang dihuni si iblis untuk membasmi keturunan TUHAN dengan
berbagai daya upaya.
Orang Jawa, orang Madura, orang Sulawesi, orang Manado, orang Sumatra
adalah saudara-saudara kita yang sudah hidup dari dulu. Kebun mereka,
rumah mereka dan bahkan kuburan keluarga mereka, semua disini. Mereka
bukan tamu, mereka juga bukan baru datang untuk menghancurkan tatanan
kehidupan yang sudah terbentuk sejak dulu. Maka oleh karena itu,
hargailah mereka, mintalah dengan terus terang, pasti ada jawaban.
Jangan kita bertindak semau gue. Bisa berakibat buruk.
Sekali lagi, wahai sahabat, hargailah Koteka Peiyo itu, jangan lihat
koteka dari pandangan miris, lihatlah koteka sebagai bukti kesetiaan
manusia terhadap ajaran Kabo Mana (ajaran dasar hidup) yang sudah ada
sejak turun-turun. Jangan kita baku musuh lagi. Papua sejak lama hidup
rukun dan aman. Tidak pernah rakyat kecil berpolitik, apalagi yang
makar, tetapi politik mekar Papua, pasti siapa saja pasti berkomentar.
Kepada bapak-bapak polisi, agar perjudian dan miras dihentikan. Sebab
dengan judi dan miras ini telah memicu banyak hal. Jangan biarkan Toto
Gelap (Togel) bebas di wilayah ini. Pasar karang adalah pusatnya judi.
Disitu setiap hari ada pertengkaran, pertikaian dan perkelahian, hanya
karena mabuk dan judi.
Beberapa kali saya pantau, mama-mama Jawa yang jual nasi bungkus,
mama Ekari dan Dani yang jual sayuran merasa terganggu, om-om Bugis yang
jual ikan dan barang kios, setiap hari terancam oleh saudara-saudara
kita yang minum mabuk tanpa kenal batas.
Kepada para pemegang HP, agar berhati-hati menyebarkan SMS yang
bersifat mengadu domba, politis dan sara. Sebab dengan SMS-SMS demikian,
masyarakat merasa takut dan bila terjadi persoalan, gampang saja emosi
mereka terbakar. Persoalan kecil bisa menjadi besar, oleh karena itu
marilah kita semua bertanggung jawab menjaga Kamtibmas yang aman dan
damai. ***Tulisan ini kutulis ketika terjadi ketegangan antara orang Papua dengan orang Jawa di Karang Tumaritis Nabire Papua.
Asal mula koteka, tidak semua orang tahu, termasuk mereka yang
mengenakannya. Menurut alm Paulus Wakey, mantan katakis Timeepa yang
dulu pernah meneliti budaya orang Mee bersama antropolog Helkma, koteka
berasal dari moyang orang yang mengenakannya itu sendiri. Tidak ada
koteka impor. Konon katanya, dua orang bernama Emogiki Pane dan Emobeku
Pane berbuat dosa disebuah tempat yang disebut Egaidimi, lalu mereka
diusir dan dalam perjalanan mereka diberi petunjuk untuk mengenakan
Koteka dan Moge. Ketika itu para malaikat menyanyikan lagu:
“Epeko benoo – epeko samouwii, puneko beno – puneko samouwi, gagako
beno – gaga ko samouwi, didiko beno – didiko samouwi, peuko beno – peuko
samouwi, sigimagako beno – sigimagako samougi, ediwaneko beno –
ediwaneko samouwi, waneko beno – waneko samouwi, uwaikobeno – uwaiko
samouwi”.
TUHAN Allah memberi nama Emogiki dan Emobeku karena berdua berbuat
dosa yang berakibat Emo (darah), lalu pikiran berdua terbuka (Egaidimi)
yang selanjutnya menjadi nama bukit. Sejak diusir itulah, kedua orang
ini sadar bahwa mereka dalam keadaan telanjang. Awalnya mereka mencoba
menutupinya dengan dedaunan, namun Tuhan Allah memberi ilham untuk
membuat koteka yang tumbuh subur di kebun mereka yang berpagar. Maka
jadilah busana yang betul-betul menunjukan kejantanan seorang pria dan
moge bagi seorang wanita.
Sebelum pikiran manusia pertama belum terbuka, tidak ada permusuhan,
pertentangan, pertengkaran, percemoohan dan lain sebagainya. Dan memang
mereka mau baku marah dengan siapa, karena memang tidak ada orang pada
waktu itu. Namun iblis yang gila hormat, dari waktu ke waktu menggoda
manusia dan Allah pun harus membuat pagar agar si iblis tidak lagi masuk
ke tamanNya.
Iblis itulah pikiran yang kemudian dinyatakan lewat tindakan, tanpa
timbang-timbang langsung bertindak. Peristiwa seperti yang terjadi di
Nabire medio April 2010 di Nabire, mesti menjadi pelajaran berharga bagi
kita semua. Bermula dari seorang pemuda Paniai mencuri buah Salak milik
mas Narto di Girimulyo Nabire dan warga Jawa yang mendapatinya langsung
menghajar si pencuri tadi. Namun peristiwa tersebut tidak diterima oleh
warga lain yang berlatar budaya koteka. Isu beredar cepat dan sejumlah
rumah milik orang Jawa dibakar masa, sejumlah warga Jawa dipukuli dan
yang lain nyaris diperkosa.
Ternyata tindakan itu membela seorang pencuri. Warga Papua pun baru
menyesal di Kantor Polisi karena terlanjur disulut isu yang tidak benar.
Peristiwa yang menghebohan Papua itu mesti menjadi pelajaran bagi
kita semua. Bahwa mencuri itu tidak baik dan lebih buruk lagi bila kita
membela orang yang sudah berbuat kesalahan.
Bila kita telusuri moyang kita dulu, mereka sudah mengatakan ikrar
kesetiaan mereka kepada TUHAN Allah dengan mengenakan koteka dan moge
untuk melawan si iblis itu. Koteka dan moge adalah tanda bukti kesetiaan
manusia kepada TUHAN, walaupun selanjutnya manusia harus menanggung
beban penderitaan sebagai akibat dari pikiran independent yang telah
dipilih itu. TUHAN Allah mengatakan, okei, kalau anda sudah berjanji
untuk menuruti aku, berbuatlah setiap hari dengan ajaran-ajaranKu ini.
Selanjutnya TUHAN Allah turunkan Kabo Mana yang didalamnya berbunyi:
tide dimi (kesederhanaan, merendah), enaimo dimi (kebersamaan), ide dimi
(bersemangat), ipa dimi (mengasihi sesama), ahoo dimi (rajin,
telaten), dan wadoo dimi (membangun).
Sekarang, kalau kita mau jujur. Setiap keturunan yang berasal dari
moyangnya yang pernah mengenakan koteka dan moge, mestinya harus malu
dan malu terhadap semua tindakan yang kita berbuat sekarang. Sering
kita main hakim sendiri, mencari menang sendiri, egois, mementingkan
kelompoknya, menceritakan orang, ini semua sikap yang keliru dan
bimbang. Mesti kita lihat persoalan, apa penyebabnya lalu kita mengambil
tindakan. Ingat. Jangan main hakim sendiri, apalagi disini Negara
hukum.
Dengan adanya sikap demikian, pihak ketiga mudah saja memprovokasi
ruang-ruang yang dihuni si iblis untuk membasmi keturunan TUHAN dengan
berbagai daya upaya.
Orang Jawa, orang Madura, orang Sulawesi, orang Manado, orang Sumatra
adalah saudara-saudara kita yang sudah hidup dari dulu. Kebun mereka,
rumah mereka dan bahkan kuburan keluarga mereka, semua disini. Mereka
bukan tamu, mereka juga bukan baru datang untuk menghancurkan tatanan
kehidupan yang sudah terbentuk sejak dulu. Maka oleh karena itu,
hargailah mereka, mintalah dengan terus terang, pasti ada jawaban.
Jangan kita bertindak semau gue. Bisa berakibat buruk.
Sekali lagi, wahai sahabat, hargailah Koteka Peiyo itu, jangan lihat
koteka dari pandangan miris, lihatlah koteka sebagai bukti kesetiaan
manusia terhadap ajaran Kabo Mana (ajaran dasar hidup) yang sudah ada
sejak turun-turun. Jangan kita baku musuh lagi. Papua sejak lama hidup
rukun dan aman. Tidak pernah rakyat kecil berpolitik, apalagi yang
makar, tetapi politik mekar Papua, pasti siapa saja pasti berkomentar.
Kepada bapak-bapak polisi, agar perjudian dan miras dihentikan. Sebab
dengan judi dan miras ini telah memicu banyak hal. Jangan biarkan Toto
Gelap (Togel) bebas di wilayah ini. Pasar karang adalah pusatnya judi.
Disitu setiap hari ada pertengkaran, pertikaian dan perkelahian, hanya
karena mabuk dan judi.
Beberapa kali saya pantau, mama-mama Jawa yang jual nasi bungkus,
mama Ekari dan Dani yang jual sayuran merasa terganggu, om-om Bugis yang
jual ikan dan barang kios, setiap hari terancam oleh saudara-saudara
kita yang minum mabuk tanpa kenal batas.
Kepada para pemegang HP, agar berhati-hati menyebarkan SMS yang
bersifat mengadu domba, politis dan sara. Sebab dengan SMS-SMS demikian,
masyarakat merasa takut dan bila terjadi persoalan, gampang saja emosi
mereka terbakar. Persoalan kecil bisa menjadi besar, oleh karena itu
marilah kita semua bertanggung jawab menjaga Kamtibmas yang aman dan
damai. ***Tulisan ini kutulis ketika terjadi ketegangan antara orang Papua dengan orang Jawa di Karang Tumaritis Nabire Papua.
Asal mula koteka, tidak semua orang tahu, termasuk mereka yang
mengenakannya. Menurut alm Paulus Wakey, mantan katakis Timeepa yang
dulu pernah meneliti budaya orang Mee bersama antropolog Helkma, koteka
berasal dari moyang orang yang mengenakannya itu sendiri. Tidak ada
koteka impor. Konon katanya, dua orang bernama Emogiki Pane dan Emobeku
Pane berbuat dosa disebuah tempat yang disebut Egaidimi, lalu mereka
diusir dan dalam perjalanan mereka diberi petunjuk untuk mengenakan
Koteka dan Moge. Ketika itu para malaikat menyanyikan lagu:
“Epeko benoo – epeko samouwii, puneko beno – puneko samouwi, gagako
beno – gaga ko samouwi, didiko beno – didiko samouwi, peuko beno – peuko
samouwi, sigimagako beno – sigimagako samougi, ediwaneko beno –
ediwaneko samouwi, waneko beno – waneko samouwi, uwaikobeno – uwaiko
samouwi”.
TUHAN Allah memberi nama Emogiki dan Emobeku karena berdua berbuat
dosa yang berakibat Emo (darah), lalu pikiran berdua terbuka (Egaidimi)
yang selanjutnya menjadi nama bukit. Sejak diusir itulah, kedua orang
ini sadar bahwa mereka dalam keadaan telanjang. Awalnya mereka mencoba
menutupinya dengan dedaunan, namun Tuhan Allah memberi ilham untuk
membuat koteka yang tumbuh subur di kebun mereka yang berpagar. Maka
jadilah busana yang betul-betul menunjukan kejantanan seorang pria dan
moge bagi seorang wanita.
Sebelum pikiran manusia pertama belum terbuka, tidak ada permusuhan,
pertentangan, pertengkaran, percemoohan dan lain sebagainya. Dan memang
mereka mau baku marah dengan siapa, karena memang tidak ada orang pada
waktu itu. Namun iblis yang gila hormat, dari waktu ke waktu menggoda
manusia dan Allah pun harus membuat pagar agar si iblis tidak lagi masuk
ke tamanNya.
Iblis itulah pikiran yang kemudian dinyatakan lewat tindakan, tanpa
timbang-timbang langsung bertindak. Peristiwa seperti yang terjadi di
Nabire medio April 2010 di Nabire, mesti menjadi pelajaran berharga bagi
kita semua. Bermula dari seorang pemuda Paniai mencuri buah Salak milik
mas Narto di Girimulyo Nabire dan warga Jawa yang mendapatinya langsung
menghajar si pencuri tadi. Namun peristiwa tersebut tidak diterima oleh
warga lain yang berlatar budaya koteka. Isu beredar cepat dan sejumlah
rumah milik orang Jawa dibakar masa, sejumlah warga Jawa dipukuli dan
yang lain nyaris diperkosa.
Ternyata tindakan itu membela seorang pencuri. Warga Papua pun baru
menyesal di Kantor Polisi karena terlanjur disulut isu yang tidak benar.
Peristiwa yang menghebohan Papua itu mesti menjadi pelajaran bagi
kita semua. Bahwa mencuri itu tidak baik dan lebih buruk lagi bila kita
membela orang yang sudah berbuat kesalahan.
Bila kita telusuri moyang kita dulu, mereka sudah mengatakan ikrar
kesetiaan mereka kepada TUHAN Allah dengan mengenakan koteka dan moge
untuk melawan si iblis itu. Koteka dan moge adalah tanda bukti kesetiaan
manusia kepada TUHAN, walaupun selanjutnya manusia harus menanggung
beban penderitaan sebagai akibat dari pikiran independent yang telah
dipilih itu. TUHAN Allah mengatakan, okei, kalau anda sudah berjanji
untuk menuruti aku, berbuatlah setiap hari dengan ajaran-ajaranKu ini.
Selanjutnya TUHAN Allah turunkan Kabo Mana yang didalamnya berbunyi:
tide dimi (kesederhanaan, merendah), enaimo dimi (kebersamaan), ide dimi
(bersemangat), ipa dimi (mengasihi sesama), ahoo dimi (rajin,
telaten), dan wadoo dimi (membangun).
Sekarang, kalau kita mau jujur. Setiap keturunan yang berasal dari
moyangnya yang pernah mengenakan koteka dan moge, mestinya harus malu
dan malu terhadap semua tindakan yang kita berbuat sekarang. Sering
kita main hakim sendiri, mencari menang sendiri, egois, mementingkan
kelompoknya, menceritakan orang, ini semua sikap yang keliru dan
bimbang. Mesti kita lihat persoalan, apa penyebabnya lalu kita mengambil
tindakan. Ingat. Jangan main hakim sendiri, apalagi disini Negara
hukum.
Dengan adanya sikap demikian, pihak ketiga mudah saja memprovokasi
ruang-ruang yang dihuni si iblis untuk membasmi keturunan TUHAN dengan
berbagai daya upaya.
Orang Jawa, orang Madura, orang Sulawesi, orang Manado, orang Sumatra
adalah saudara-saudara kita yang sudah hidup dari dulu. Kebun mereka,
rumah mereka dan bahkan kuburan keluarga mereka, semua disini. Mereka
bukan tamu, mereka juga bukan baru datang untuk menghancurkan tatanan
kehidupan yang sudah terbentuk sejak dulu. Maka oleh karena itu,
hargailah mereka, mintalah dengan terus terang, pasti ada jawaban.
Jangan kita bertindak semau gue. Bisa berakibat buruk.
Sekali lagi, wahai sahabat, hargailah Koteka Peiyo itu, jangan lihat
koteka dari pandangan miris, lihatlah koteka sebagai bukti kesetiaan
manusia terhadap ajaran Kabo Mana (ajaran dasar hidup) yang sudah ada
sejak turun-turun. Jangan kita baku musuh lagi. Papua sejak lama hidup
rukun dan aman. Tidak pernah rakyat kecil berpolitik, apalagi yang
makar, tetapi politik mekar Papua, pasti siapa saja pasti berkomentar.
Kepada bapak-bapak polisi, agar perjudian dan miras dihentikan. Sebab
dengan judi dan miras ini telah memicu banyak hal. Jangan biarkan Toto
Gelap (Togel) bebas di wilayah ini. Pasar karang adalah pusatnya judi.
Disitu setiap hari ada pertengkaran, pertikaian dan perkelahian, hanya
karena mabuk dan judi.
Beberapa kali saya pantau, mama-mama Jawa yang jual nasi bungkus,
mama Ekari dan Dani yang jual sayuran merasa terganggu, om-om Bugis yang
jual ikan dan barang kios, setiap hari terancam oleh saudara-saudara
kita yang minum mabuk tanpa kenal batas.
Kepada para pemegang HP, agar berhati-hati menyebarkan SMS yang
bersifat mengadu domba, politis dan sara. Sebab dengan SMS-SMS demikian,
masyarakat merasa takut dan bila terjadi persoalan, gampang saja emosi
mereka terbakar. Persoalan kecil bisa menjadi besar, oleh karena itu
marilah kita semua bertanggung jawab menjaga Kamtibmas yang aman dan
damai. *** Engelbertus P Degey
Sumber: Swarapapua.com
0 komentar:
Post a Comment