JAKARTA – Aliansi Mahasiswa Papua (KK-AMP) Komite Kota Jakarta mengecam keras praktek militerisme terhadap rakyat Papua Barat.
Disebutkan Ketua Pengurus KK-AMP Jakarta Frans Nawipa, militerisme itu adalah pandangan dan cara yang digunakan oleh individu maupun institusi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan.
“Jadi militerisme itu juga bisa berarti tindakan represif, arogan dan atau reaksioner dalam menyikapi dan menyelesaikan sebuah persoalan,” tegas Frans saat diskusi bertema ‘Represi Militerisme lndonesia terhadap Rakyat Papua’ di Gedung YLBHI Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Lebih lanjut, Frans menceritakan sejarah gelap militerisme di Tanah Papua. Dimulai dari tanggal 19 Desember 1961 yang biasa disebut peringatan Tri Komando Rakyat (Trikora). Kala itu, walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada 1 Desember 1961, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.
“Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Pangiima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan Operasi Militer ke wiiayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu,” beber dia.
Selanjutnya, kata Frans, praktek militerisme yang terakhir adalah pada tahun 2015 pembubaran pasca aksi mahasiswa Papua yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta 1 Desember 2015 sekaligus penangkapan 306 Mahasiswa Papua oleh Kapolda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat.
Dan pada tanggal 19 Desember 2015, AMP dalam menyikapi momen Trikora itu, lagi-lagi secara tiba-tiba dibubarkan secara paksa dan menangkap 23 massa aksi yang tergabung dalam Gerakan AMP.
Selain itu, lanjut Frans, tindakan militerisme yang selalu di gunakan oleh lndonesia dan Corporasi (perusahaan asing-Freeport dkk) dalam menangani berbagai persoalan di Papua menunjukkan wajah sesungguhnya dari Indonesia yang represif, arogan dan reaksioner.
“Maka penting perlawan terhadap militerisme dilakukan oleh rakyat papua yang menghendaki terciptanya demokratisasi di Tanah Papua. Karena selama militerisme masih dipraktekan di Tanah Papua selama itu juga demokratisasi di Tanah Papua tidak akan pernah terwujud. Justru yang akan tercipta adalah kekerasan demi kekerasan yang akan terus melahirkan pelanggaran HAM dan ketidakadilan,” pungkasnya. (Rep. Antok)
redaksikota.com
Disebutkan Ketua Pengurus KK-AMP Jakarta Frans Nawipa, militerisme itu adalah pandangan dan cara yang digunakan oleh individu maupun institusi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan.
“Jadi militerisme itu juga bisa berarti tindakan represif, arogan dan atau reaksioner dalam menyikapi dan menyelesaikan sebuah persoalan,” tegas Frans saat diskusi bertema ‘Represi Militerisme lndonesia terhadap Rakyat Papua’ di Gedung YLBHI Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Lebih lanjut, Frans menceritakan sejarah gelap militerisme di Tanah Papua. Dimulai dari tanggal 19 Desember 1961 yang biasa disebut peringatan Tri Komando Rakyat (Trikora). Kala itu, walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada 1 Desember 1961, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.
“Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Pangiima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan Operasi Militer ke wiiayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu,” beber dia.
Selanjutnya, kata Frans, praktek militerisme yang terakhir adalah pada tahun 2015 pembubaran pasca aksi mahasiswa Papua yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta 1 Desember 2015 sekaligus penangkapan 306 Mahasiswa Papua oleh Kapolda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat.
Dan pada tanggal 19 Desember 2015, AMP dalam menyikapi momen Trikora itu, lagi-lagi secara tiba-tiba dibubarkan secara paksa dan menangkap 23 massa aksi yang tergabung dalam Gerakan AMP.
Selain itu, lanjut Frans, tindakan militerisme yang selalu di gunakan oleh lndonesia dan Corporasi (perusahaan asing-Freeport dkk) dalam menangani berbagai persoalan di Papua menunjukkan wajah sesungguhnya dari Indonesia yang represif, arogan dan reaksioner.
“Maka penting perlawan terhadap militerisme dilakukan oleh rakyat papua yang menghendaki terciptanya demokratisasi di Tanah Papua. Karena selama militerisme masih dipraktekan di Tanah Papua selama itu juga demokratisasi di Tanah Papua tidak akan pernah terwujud. Justru yang akan tercipta adalah kekerasan demi kekerasan yang akan terus melahirkan pelanggaran HAM dan ketidakadilan,” pungkasnya. (Rep. Antok)
redaksikota.com
0 komentar:
Post a Comment