Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya dari daftar Red Notice sejak tahun 2012.
Jayapura, Jubi – Benny Wenda, juru bicara United
Liberation Movement for West Papua menganggap pernyataan Duta Besar
(Dubes) Republik Indonesia untuk New Zealand (NZ), Tantowi Yahya sebagai
pernyataan yang menunjukkan Indonesia kehilangan argumen politik dalam
kasus West Papua yang belakangan ini semakin sering dibicarakan di
Pasifik maupun forum internasional lainnya.
“Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ dan kawasan Pasifik. Sebagai Dubes, Tantowi Yahya sedang kehilangan legal argument untuk mempertahankan West Papua dalam bingkai NKRI. Sehingga Indonesia hanya bisa mencoba meyakinkan rakyat NZ dan Pasifik dengan mengunakan kata buronan. Ini cerita lama yang dimainkan lagi oleh Tantowi Yahya,” kata Benny Wenda kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (29/7/2017).
Lanjut Benny Wenda, seakan Dubes Indonesia di NZ ini baru terbangun dari tidurnya sehingga terkaget-kaget melihat perkembangan di Pasifik, terutama di NZ. Ia mengatakan rakyat Pasifik dan NZ sudah mengetahui kebohongan Indonesia tentang Papua sejak lama. Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan impunitas yang dimiliki TNI dan Polri yang selama ini diduga menjadi aktor utama pelanggaran HAM Papua menjadi sorotan publik NZ.
“Saya diberitahu oleh anggota parlemen NZ, bahwa satu minggu sebelum saya tiba Dubes Indonesia melobi pihak Auckland University agar saya tidak diijinkan bicara di universitas tersebut. Tapi NZ menganut demokrasi dan kebebasan kampus, sehingga saya tidak bisa dihentikan berbicara tentang perjuangan kemerdekaan West Papua dan pelanggaran HAM yang terjadi,” jelas Benny Wenda.
Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya dari daftar Red Notice sejak tahun 2012.
“Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan West Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis. Kata buronan itu bermuatan politis untuk Indonesia. Argumen yang tidak berdasar. Sudah terbukti di pengadilan internasional,” ungkap Benny Wenda.
Pihak Indonesia berupaya memasukkan nama Benny Wenda dalam daftar International Arrest Warrant Interpol sejak tahun 2000, setelah Billy Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes Indonesia di Inggris menuduh Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi tersebut.
Tahun 2012, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control of Interpol’s Files) mengirimkan surat kepada Fair Trials International, yang berkampanye untuk Benny Wenda. Isi surat tersebut antara lain mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol.
“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu … Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol sebagaimana dilansir BBC.
Benny Wenda dalam kunjungannya ke NZ bulan Mei lalu menyempatkan dirinya berbicara dalam “public event” di beberapa kampus NZ. Dalam setiap kesempatan tersebut, Benny Wenda menyampaikan keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat sebagai negara sendiri, lepas dari Indonesia. Ia juga memaparkan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua sejak tahun 1960an.
Aktivitas Benny Wenda ini menyebabkan Dubes Indonesia untuk NZ, menyampaikan keprihatinan atas penggunaan beberapa kampus di NZ termasuk Victoria University of Wellington (VUW) oleh Benny Wenda. Bahkan saat bertemu dengan Rektor Victoria University of Wellington, Prof. Grant Guilford, Dubes Indonesia ini menyebut Benny Wenda sebagai buronan yang sebenarnya tidak berhak berbicara atas nama masyarakat Papua. Ia juga menuduh Benny Wenda menyampaikan kebohongan tentang Papua.
Namun Sesuai Undang-undang Pendidikan NZ, kampus tidak bisa melarang kebebasan civitas akademika universitas dalam menyampaikan pendapatnya (academic freedom).
Benny Wenda tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi ia juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini ia selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan. (*)
Jubi
Benny Wenda mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera pembebasan West Papua - Dok. Jubi |
“Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ dan kawasan Pasifik. Sebagai Dubes, Tantowi Yahya sedang kehilangan legal argument untuk mempertahankan West Papua dalam bingkai NKRI. Sehingga Indonesia hanya bisa mencoba meyakinkan rakyat NZ dan Pasifik dengan mengunakan kata buronan. Ini cerita lama yang dimainkan lagi oleh Tantowi Yahya,” kata Benny Wenda kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (29/7/2017).
Lanjut Benny Wenda, seakan Dubes Indonesia di NZ ini baru terbangun dari tidurnya sehingga terkaget-kaget melihat perkembangan di Pasifik, terutama di NZ. Ia mengatakan rakyat Pasifik dan NZ sudah mengetahui kebohongan Indonesia tentang Papua sejak lama. Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan impunitas yang dimiliki TNI dan Polri yang selama ini diduga menjadi aktor utama pelanggaran HAM Papua menjadi sorotan publik NZ.
“Saya diberitahu oleh anggota parlemen NZ, bahwa satu minggu sebelum saya tiba Dubes Indonesia melobi pihak Auckland University agar saya tidak diijinkan bicara di universitas tersebut. Tapi NZ menganut demokrasi dan kebebasan kampus, sehingga saya tidak bisa dihentikan berbicara tentang perjuangan kemerdekaan West Papua dan pelanggaran HAM yang terjadi,” jelas Benny Wenda.
Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya dari daftar Red Notice sejak tahun 2012.
“Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan West Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis. Kata buronan itu bermuatan politis untuk Indonesia. Argumen yang tidak berdasar. Sudah terbukti di pengadilan internasional,” ungkap Benny Wenda.
Pihak Indonesia berupaya memasukkan nama Benny Wenda dalam daftar International Arrest Warrant Interpol sejak tahun 2000, setelah Billy Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes Indonesia di Inggris menuduh Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi tersebut.
Tahun 2012, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control of Interpol’s Files) mengirimkan surat kepada Fair Trials International, yang berkampanye untuk Benny Wenda. Isi surat tersebut antara lain mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol.
“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu … Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol sebagaimana dilansir BBC.
Benny Wenda dalam kunjungannya ke NZ bulan Mei lalu menyempatkan dirinya berbicara dalam “public event” di beberapa kampus NZ. Dalam setiap kesempatan tersebut, Benny Wenda menyampaikan keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat sebagai negara sendiri, lepas dari Indonesia. Ia juga memaparkan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua sejak tahun 1960an.
Aktivitas Benny Wenda ini menyebabkan Dubes Indonesia untuk NZ, menyampaikan keprihatinan atas penggunaan beberapa kampus di NZ termasuk Victoria University of Wellington (VUW) oleh Benny Wenda. Bahkan saat bertemu dengan Rektor Victoria University of Wellington, Prof. Grant Guilford, Dubes Indonesia ini menyebut Benny Wenda sebagai buronan yang sebenarnya tidak berhak berbicara atas nama masyarakat Papua. Ia juga menuduh Benny Wenda menyampaikan kebohongan tentang Papua.
Namun Sesuai Undang-undang Pendidikan NZ, kampus tidak bisa melarang kebebasan civitas akademika universitas dalam menyampaikan pendapatnya (academic freedom).
Benny Wenda tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi ia juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini ia selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan. (*)
Jubi
0 komentar:
Post a Comment