Home » » Orang Papua Percaya pada Kekuatan Sendiri

Orang Papua Percaya pada Kekuatan Sendiri

Max jauwe bersama kedua cucunya
Rumah mereka di Belanda, tapi hati tetap di Papua. Lima puluh tahun silam, sekitar 500 orang Papua menginjak tanah Belanda. Mereka tidak mau hidup di bawah Indonesia, yang mengambilalih kekuasaan atas Nugini dari Belanda, tahun 1962.

Sekarang mereka sudah dikaruniai anak dan cucu. Sebuah komunitas dengan ikatan erat. Papua masih tetap tanah air mereka.


Muaha Tatipata-Ireeuw lahir dan besar di Delft. Ia tinggal di kota Belanda barat ini bersama suami, yang berdarah Maluku, dan dua putra berusia delapan dan empat tahun. Beberapa ukiran kayu terpajang di lemarinya. Muaha membelinya beberapa tahun lalu saat dia untuk pertama kali mengunjungi “tanah air”.
Di samping lemari, terlihat beberapa tombak serta bambu runcing. “Dari desa ayah saya. Dibuat oleh orang sepuh, kata ayah.” Juga terlihat sebuah perisai kayu dengan kepala laki-laki. Perisai itu pun berasal dari Papua, namun dibeli di pasar Waterlooplein, Amsterdam.

Akar

Orangtua Muaha banyak bercerita tentang kehidupan di tanah kelahiran mereka, tentang keluarga, suku dan tradisi. Muaha menyebut diri orang Papua. “Saya tak akan pernah menyebut diri orang Belanda. Saya memang berkewarganegaraan Belanda, tapi saya tidak merasa orang Belanda. Saya tidak mengidentifikasi diri dengan orang Belanda.”
Juga dua anaknya, cerita Muaha, tidak menyebut diri orang Belanda. Teman-teman mereka tahu mereka berdarah Maluku dan Papua. “Akar saya memang di sini, tapi akar orangtua di sana. Mereka mewariskannya kepada saya. Itu membuat saya orang Papua,” cerita Muaha.

Bahu

Muaha mengajak saya ke apartemen, yang mulai dihuni orangtuanya sekitar 40 tahun silam. Salah satu ruang di apartemen itu penuh berisi barang-barang dari bekas Papua Nugini. Seperti patung ukir berbentuk dua laki-laki. Satu laki-laki berdiri di bahu laki-laki lainnya.
“Patung ini berasal dari kawasan Asmat dan adalah lambang kesuburan, inti sebuah masyarakat. Masyarakatlah yang penting, bukan individu.”
Max Ireeuw berusia 20 tahun ketika pada 1962 ia bermodal berani pergi ke Belanda.
“Saya orang pertama yang menerima beasiswa dari gereja. Uang itu saya pakai untuk belajar bahasa Belanda dengan baik, kemudian mengikuti mata pelajaran. Kami selalu bisa bersandar pada apa yang kami kumpulkan di rimba. Tapi orang juga harus selalu menyesuaikan diri sehingga tetap bisa bertahan hidup. Bahasa penting. Orang harus belajar bahasa, mengetahui tradisi dan struktur sehingga merasa lebih aman.”
Ireeuw bekerja di lembaga negara hingga usia pensiun. Dengan anak-anaknya ia selalu berbicara dalam bahasa Belanda, sementara dengan isterinya bahasa Indonesia. Isteri dari suku lain, mereka tidak memahami bahasa masing-masing.

Burung cendrawasih

Melvin, cucu Max, juga merasakan pertalian yang kuat dengan Papua. Hal ini bisa dilihat dari tato di badannya. “Di punggung saya ada tato burung cendrawasih dengan bendera Papua Barat. Burung ini adalah simbol kebanggaan dan keindahan. Saya pikir, saya harus mengekspresikan arti negara dan asal-usul saya.”
Pada tahun 2011, Melvin datang ke Papua untuk pertama kalinya. Ia mengunjungi desa asal kakek dan neneknya.
“Saya berhasil menemukan sebagian besar keluarga di sana. Satu per satu potongan puzzle hidup menyatu. Hal-hal yang saya rindukan, bisa saya dapatkan. Perasaan menyayangi, kebersamaan dan keluarga. Saya justru tidak merasa asing di Belanda, saya malah tahu saya bisa diterima di berbagai tempat. Di Papua, saya menemukan kehangatan.”

Kebebasan

Kebanyakan rakyat Papua masih menetap di Papua dan di wilayah utara Papua Nugini. Banyak rakyat Papua di Belanda menuntut kemerdekaan Papua Barat, wilayah luas dengan kekayaan alam melimpah.
Marcus Kaisiepo adalah salah satu pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terkenal. Ia adalah ayah mertua Max Ireeuw. Bagi Max, Muaha dan Melvin, Papua adalah tanah air mereka dan kekuasaan Indonesia tidak bisa mereka terima. Kebebasan dan kekhasan tradisional mereka tidak diakui oleh Indonesia. Setidaknya mereka bebas di Belanda. Mereka pun telah membangun hidup mereka di Belanda.
Max Ireeuw terus memantau perkembangan situasi di tanah airnya melalui internet. Ia terus berhubungan dengan rekan-rekan setanah airnya melalui email. Rakyat Papua yang tinggal di Belanda juga sering bertemu di pesta atau acara-acara lainnya.
“Anda butuh teman senasib sepenanggungan untuk bisa bertahan hidup dan berjuang. Kami tidak pernah menerima perlakuan spesial atau fasilitas khusus. Jadi, kami lakukan semua dengan tenaga sendiri, sebagaimana di negeri sendiri.”


sumber:

 www.rnw.nl
    Frank Irving (Utrecht, 1969)<br>&copy; Foto: Bodil Anaïs  - www.bodilanais.com


Frank Irving (Utrecht, 1969)
Add caption
Add caption
    Yoesef Hanasbei (Utrecht, 1977) bersama putranya Maas<br>&copy; Foto: Bodil Anaïs  - www.bodilanais.com

    Share this video :

    0 komentar:

    Post a Comment

     
    Copyright © 2013. RASUDO FM DOGIYAI - All Rights Reserved

    Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

    Proudly powered by Blogger