JAKARTA, (PRLM).- Kaukus Parlemen Papua (KPP)
yang terdiri dari anggota DPR dan DPD RI dari Papua dan Papua Barat
menyesalkan terjadinya penembakan terhadap Ketua I Komite Nasional Papua
Barat (KNPB) Mako Tabuni, yang katanya tewas ditembak karena melakukan
perlawanan saat akan ditangkap. Namun, KPP belum meyakini kalau
tertembaknya Mako Tabuni tersebut akibat melakukan perlawanan, karena
mereka itu mahasiswa yang tidak memiliki senjata.
Demikian diungkapkan dua anggota Kaukus Papua Parlemen (KPP) dari FPD DPR Diaz Gwijangge dan FPG DPR Paskalis Kossay pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (15/6/12). “Seharusnya penembakan dan kekerasan lainnya dihindari karena tak akan menyelesaikan masalah. Harus mengedepankan pendekatan dialog, pendekatan hati dan hati-hati. Bukan malah dengan melanggar hak asasi manusia. Apalagi, penanganan terhadap korban itu tidak manusiawi,” kata Diaz.
Dengan peristiwa penembakan aparat tersebut Paskalis meminta agar Penjabat Gubernur Provinsi Papua, DR. Syamsul Arief Rivai,MS itu ditarik karena bukan warga asli Papua. Mengapa? Karena kata Paskalis, dalam aturan gubernur dan wagub Papua itu harus berasal dari Papua, dan bukannya orang lain. “Gubernur, Wagub maupun penjabat itu harus warga asli Papua. Jadi, Pak Syamsul Arief itu harus ditarik, agar kondisi Papua makin kondusif,” tambah Paskalis.
Selain itu Paskalis dan Diaz meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menganggap kasus Papua itu kecil dibanding dengan di Timur Tengah. “Ini penembakan sudah terjadi sejak dulu, dan pasca reformasi muncul otonomi khusus (Otsus) dengan anggaran triliunan ternyata tidak berpengaruh, tidak berdampak terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Sebaliknya, rakyat makin menderita, trauma dan tidak nyaman dengan banyaknya penembakan akhir-akhir ini berbarengan dengan makin banyak pengiriman TNI/Polri ke Papua,” tutur Paskalis.
Diaz menambahkan, penembakan di depan orang banyak itu merupakan teror yang bisa menjadikan trauma bagi anak-anak karena yang ditembak tersebut masih anak-anak. Rakyat Papua katanya, hanya ingin dialog dan bukannya ditembak mati. Hanya saja pemerintah ketakutan dengan dialog tersebut, yang selalu diidentikkan dengan ‘merdeka’ dari NKRI. “Permintaan Papua merdeka ketika dialog itu bukan berarti Papua harus merdeka, melainkan mencari solusi yang terbaik bagi rakyat,” ujar Diaz lagi.
Menyinggung apakah KNPB bekerjasama dengan TNI, Diaz menyatakan pihaknya belum berpikir sejauh itu. Dia pun trauma dengan apa yang disebut pengadilan untuk melakukan gugatan pelanggaran HAM oleh aparat tersebut. Sebab, sebelum pengadilan digelar, hakim dan putusannya sudah ditentukan.
“Jadi, rakyat Papua itu sudah tidak lagi percaya dengan pengadilan. Itu dianggap mubadzir, sia-sia saja. Karena itu berdialoglah dengan hati dan mereka tak akan meminta Papua merdeka. Dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh saja bisa, kenapa tidak dengan Papua,” kata Diaz mempertanyakan. (A-109/A-108)
pikiran-rakyat
Demikian diungkapkan dua anggota Kaukus Papua Parlemen (KPP) dari FPD DPR Diaz Gwijangge dan FPG DPR Paskalis Kossay pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (15/6/12). “Seharusnya penembakan dan kekerasan lainnya dihindari karena tak akan menyelesaikan masalah. Harus mengedepankan pendekatan dialog, pendekatan hati dan hati-hati. Bukan malah dengan melanggar hak asasi manusia. Apalagi, penanganan terhadap korban itu tidak manusiawi,” kata Diaz.
Dengan peristiwa penembakan aparat tersebut Paskalis meminta agar Penjabat Gubernur Provinsi Papua, DR. Syamsul Arief Rivai,MS itu ditarik karena bukan warga asli Papua. Mengapa? Karena kata Paskalis, dalam aturan gubernur dan wagub Papua itu harus berasal dari Papua, dan bukannya orang lain. “Gubernur, Wagub maupun penjabat itu harus warga asli Papua. Jadi, Pak Syamsul Arief itu harus ditarik, agar kondisi Papua makin kondusif,” tambah Paskalis.
Selain itu Paskalis dan Diaz meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menganggap kasus Papua itu kecil dibanding dengan di Timur Tengah. “Ini penembakan sudah terjadi sejak dulu, dan pasca reformasi muncul otonomi khusus (Otsus) dengan anggaran triliunan ternyata tidak berpengaruh, tidak berdampak terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Sebaliknya, rakyat makin menderita, trauma dan tidak nyaman dengan banyaknya penembakan akhir-akhir ini berbarengan dengan makin banyak pengiriman TNI/Polri ke Papua,” tutur Paskalis.
Diaz menambahkan, penembakan di depan orang banyak itu merupakan teror yang bisa menjadikan trauma bagi anak-anak karena yang ditembak tersebut masih anak-anak. Rakyat Papua katanya, hanya ingin dialog dan bukannya ditembak mati. Hanya saja pemerintah ketakutan dengan dialog tersebut, yang selalu diidentikkan dengan ‘merdeka’ dari NKRI. “Permintaan Papua merdeka ketika dialog itu bukan berarti Papua harus merdeka, melainkan mencari solusi yang terbaik bagi rakyat,” ujar Diaz lagi.
Menyinggung apakah KNPB bekerjasama dengan TNI, Diaz menyatakan pihaknya belum berpikir sejauh itu. Dia pun trauma dengan apa yang disebut pengadilan untuk melakukan gugatan pelanggaran HAM oleh aparat tersebut. Sebab, sebelum pengadilan digelar, hakim dan putusannya sudah ditentukan.
“Jadi, rakyat Papua itu sudah tidak lagi percaya dengan pengadilan. Itu dianggap mubadzir, sia-sia saja. Karena itu berdialoglah dengan hati dan mereka tak akan meminta Papua merdeka. Dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh saja bisa, kenapa tidak dengan Papua,” kata Diaz mempertanyakan. (A-109/A-108)
pikiran-rakyat
0 komentar:
Post a Comment