Kasus selalu berakhir dengan misterius.
JAYAPURA – Aparat keamanan didesak
untuk mengusut kasus penembakan warga negara Jerman Pieter Dietmar
Helmut (55) dan rentetan kasus penembakan lainnya yang menewaskan
warga di Papua. Selama ini, mayoritas penembakan yang dilakukan
kelompok bersenjata dan aparat keamanan belum pernah terungkap siapa
yang berada di belakang aksi-aksi ini.
Data yang dihimpun Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menunjukkan sepanjang
tahun ini, ada 12 kasus penembakan yang mayoritas dilakukan kelompok
bersenjata.
Alih-alih menangkap pelaku dengan bukti
yang sahih, aparat menuding Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi
Papua Merdeka (TPN/OPM) berada di belakang aksi-aksi ini. Dalam
kasus penembakan warga Jerman, Selasa (29/5) lalu, misalnya, Dandim
1701 Jayapura Letkol Inf Rano Tilaar menduga penembakan tersebut
terkait dengan rangkaian hari ulang tahun TPN/OPM di Papua 1 Juli
mendatang.
Namun, TPN/OPM wilayah Papua Barat langsung membantah
tudingan ini. Panglima TPN-OPM Papua Barat Dani Kogoya kepada SH,
Kamis (31/5) malam, beralibi bahwa senjata yang digunakan pelaku
adalah senjata otomatis dan kaliber.
TPN-OPM tidak punya senjata
dengan model seperti itu. Apalagi peristiwa itu terjadi di wilayah
Kota Jayapura. “Anggota TPN-OPM murni, tidak mungkin menggunakan
mobil dan jalan-jalan di Kota Jayapura,” ujarnya.
Aktivis HAM Papua Markus Haluk menduga
penembakan warga Jerman terkait dengan suara kritis delegasi Jerman
atas situasi HAM di Papua dalam pelaksanaan sidang XIII Komisi HAM
PBB di Jenewa pada 23 Mei lalu. Ia juga menyebut bahwa aksi
penembakan terhadap warga Jerman tersebut mirip seperti dialami
Opinus Tabuni, 9 Agustus 2008 di Wamena, saat perayaan hari
Masyarakat Pribumi Sedunia.
“Dari semua penembakan di Papua
sejauh ini aparat keamanan belum pernah mengungkap dan memproses
pelakunya secara hukum. Justru sebaliknya, kesimpulan yang selalu
diambil ialah kelompok sipil bersenjata. Kalaupun ditemukan peluru
yang ditemukan dalam tubuh korban selalu saling menyangkal dan
melempar di antara dua institusi Kepolisian RI dan TNI,” katanya.
Tarik Tentara
Pengamat Papua dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan, berbagai
kekerasan yang masih saja terjadi di Papua menunjukkan bahwa siklus
kekerasan politik belum dapat diselesaikan. Keberadaan prajurit TNI
yang tidak proporsional telah menghalangi proses damai di Papua. Oleh
karena itu, penarikan tentara dari pelbagai tempat di Papua,
terkecuali di perbatasan, menjadi syarat utama agar proses dialog
damai di Tanah Papua bisa dimulai.
"Syarat utama (memulai perdamaian)
adalah penarikan tentara yang tidak proporsional. Tidak perlu ada
tentara di semua tempat. Suasana tidak akan pernah lebih baik dengan
kehadiran tentara di semua tempat di Papua," kata Adriana saat
dihubungi SH di Jakarta, Kamis malam.
Adriana mengatakan, warga Papua
membutuhkan suasana tenang, kondusif, dan tidak merasa terancam.
Dengan begitu, kata Adriana, warga Papua sebagai warga negara dapat
bebas dan tidak merasa takut menyuarakan keinginan mereka ke
pemerintah pusat sebagai bagian dari proses awal menuju dialog damai.
Ketidakmampuan aparat kepolisian
mengungkap pelbagai aksi penembakan di Papua, kata Adriana, hanya
memperburuk situasi di Papua. Selain itu, kata dia, ketidakmampuan
aparat justru memberikan peluang bagi pihak-pihak yang memang
diuntungkan oleh situasi konflik di Papua.
Di Papua, dia melanjutkan, aksi
kekerasan tidak hanya dilakukan aparat, tapi juga warga sipil. Oleh
karena itu, kata dia, harus diungkap asal senjata yang dimiliki warga
sipil, apakah dicuri dari gudang senjata atau memang ada pihak-pihak
yang menyuplai.
Adriana mengatakan, pemerintah di
Jakarta harus memahami bahwa gerakan yang menuntut kemerdekaan di
Papua tidak akan pernah hilang. "Sejak saya meneliti Papua,
tuntutan tertinggi adalah kemerdekaan. Namun, (tuntutan kemerdekaan)
itu bukan harga mati. Seandainya pemerintah ingin berbicara dengan
damai, duduk bersama-sama, mereka akan mau berkompromi,"
ujarnya. Kebanyakan warga Papua hanya ingin hidup damai dan seluruh
hak mereka yang dirampas bisa dijamin oleh pemerintah Jakarta.
Selain itu, kata Adriana, sulitnya
memulai proses dialog karena pemerintah di Jakarta juga tidak
memiliki tujuan dan kepentingan yang sama di Papua. Ia mengatakan,
ada institusi-institusi pemerintah yang menebar jaringan intelijen
justru sengaja memelihara konflik dan separatis di Papua karena
merasa diuntungkan. Namun, kata dia, ada juga pihak di pemerintah
yang berpikiran moderat menginginkan dialog.
Utusan khusus untuk
Papua, Farid Husein, mengatakan, usaha untuk dialog tidak ada batas
waktunya. Namun, sejauh ini, ia telah mendekati akar rumput,
mahasiswa yang tersebar di berbagai kota, seperti Yogyakarta dan
Makassar. Ia juga menggali informasi dari berbagai faksi yang ada di
dalam OPM. “Banyak faksi saya ketemu
semua, tetapi hasil ini tidak tentu berdialog. Nanti mereka akan
mencari jalan. Pada dasarnya mereka semua baik-baik, tidak ada yang
kasar,” katanya.
Hasil kerjanya akan
dilaporkan kepada presiden. Selanjutnya presiden akan mengeluarkan
keputusan mengenai persoalan Papua. Meski demikian, ia mengakui
pencarian solusi di Papua jauh lebih rumit dibandingkan dengan Aceh.
“Secara medan lebih rumit. Selain itu, tidak ada pemimpin tertinggi
yang bisa mengambil keputusan dan bisa mewakili mereka untuk
berdialog, semuanya sendiri-sendiri, dan banyak faksi,” tuturnya.
(Ruhut Ambarita/Sigit Wibowo/Tutut Herlina)
Sumber: shnews.co
0 komentar:
Post a Comment