Jayapura - Sekretariat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) berada di
dalam kompleks Perumnas 3 Asrama Putera Universitas Cenderawasih unit
6,Jayapura, Papua. Untuk mencapai sekretariat KNPB, harus naik tangga
dua kali karena lahannya berbukit-bukti. Posisinya di pojok. “Vietnam
Field” satu grafiti di tembok yang menjadi pembatas dengan rumah-rumah
lainnya.
Pintu dicat dengan Bintang Kejora dan peta Papua. Sejumlah pria berusia sekitar 25-35 tahun duduk di teras sekretariat. “Biasanya jurnalis tidak mau datang ke sini kalau mau wawancara, mereka minta di tempat lain. Mereka takut distigma pendukung Papua Merdeka,”kata juru bicara KNPB, Bozoka Logo kepada Tempo, 15 Desember 2015.
Bozoka merupakan generasi muda Papua yang lahir pada tahun 90-an. Bersama anak-anak muda yang tergabung dalam KNPB, mereka menyakini masuknya Papua ke Indonesia adalah hasil ketidakjujuran yang dilakukan Indonesia, Belanda, dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang diawali dengan operasi Trikora tahun 1961.
Untuk itu, kata Bozoka, satu-satunya jalan untuk memberikan keadilan bagi orang Papua adalah melakukan referendum. Apapun hasilnya, KNPB akan menerimanya sebagai hasil demokrasi yang bersifat final. “Intinya secara demokrasi itu yang legal,” tegasnya.
Ketegasan sikap Bozoka ini merupakan salah satu indikator generasi muda Papua semakin kritis dan berani. Bozoka mengklaim KNPB punya perwakilan hampir di semua daerah di Papua. Mereka secara aktif melakukan pendidikan politik kepada anggotanya. Struktur organisasinya hingga ke unit terkecil yakni anggota keluarga asli Papua.
Menurut Koordinator Jaringan Damai Papua, Neles Tebay, rasa percaya diri generasi muda Papua untuk menuntut kemerdekaan Papua semakin menguat setelah diplomasi intens yang dilakukan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) membuahkan pengakuan dari pemimpin negara-negara Pasifik (Melanesian Spearhead Group-MSG).
ULMWP diterima secara resmi sebagai anggota MSG dengan status pengamat tahun lalu. MSG beranggotakan antara lain Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Fiji.
ULMWP merupakan organisasi payung yang lahir lewat pertemuan yang dihadiri para pemimpin organisasi perjuangan di antaranya Negara Federal Republik Papua Barat, West Papua National Coalition for Liberation dan Parliament National West Papua di Saralana, Port Vila, Vanuatu, pada 30 November hingga 6 Desember 2014. Pertemuan yang difasilitasi oleh pemerintah Vanuatu, menghasilkan satu deklarasi yang disebut Deklarasi Saralana.
Para motor penggerak lahirnya ULMWP adalah generasi kelahiran 1970-80an yang merasakan sendiri berbagai peristiwa kekerasan selama puluhan tahun yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk memberangus gerakan separatis di Papua. Mereka juga mengecap pendidikan yang baik sehingga muncul kesadaran untuk menggali sejarah masuknya Papua di Indonesia.
Neles Tebay menjelaskan, ketika ULMWP mendapat pengakuan dari MSG __organisasi ini mirip seperti ASEAN__ aksi demonstrasi besar-besaran digelar di semua wilayah Papua. “Demo satu hari penuh,” kata Neles kepada Tempo 19 Desember 2015.
Bahkan demonstrasi ini menjalar ke luar Papua seperti Yogyakarta, Manado, Makassar, dan Bali. Mereka yang berdemo mayoritas anak-anak Papua yang lahir di tahun 1990-an. Ini fakta yang menunjukkan generasi muda Papua bangkit kesadarannya atas sejarah masa lalunya. Setelah itu semakin menurun rasa tidak percaya mereka kepada niat baik pemerintah Indonesia untuk mengatasi akar masalah Papua yang sudah 54 tahun lamanya tanpa penyelesaian.
“Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia sudah di titik nadir,” kata Rektor STFT Fajar Timur Abepura.
Penggiat HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem mengatakan, persentase keinginan rakyat asli Papua untuk berpisah dari Indonesia mencapai 70-80 persen. Pemicu utama munculnya sikap ini adalah praktek pelanggaran HAM yang terjadi selama 54 tahun terakhir, tepatnya sejak Papua berintegrasi ke wilayah Indonesia.
Adapun soal ULMWP yang dianggap pendorong meningkatnya rasa percaya diri warga Papua, Theo sambil tersenyum mengatakan, selama ini pemerintah Indonesia menganggap ULMWP biasa saja. Tak ada dampak besar.”Sewaktu-waktu hal biasa bisa jadi hal luar biasa,” kata Theo.
Setelah begitu banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar Papua tetap dalam wilayah Indonesia, menurut Neles Tebay, cara yang dianggap efektif adalah menggelar dialog dengan melibatkan semua pihak yang mendukung gerakan pembebasan Papua. Sehingga semua pihak dapat mendengarkan langsung dari mereka yang pro-kemerdekaan Papua termasuk tuntutan mereka. Setelah itu, melakukan negosiasi untuk menemukan solusi terbaik.
[NewsAktual/Mds/Tempo]
Pintu dicat dengan Bintang Kejora dan peta Papua. Sejumlah pria berusia sekitar 25-35 tahun duduk di teras sekretariat. “Biasanya jurnalis tidak mau datang ke sini kalau mau wawancara, mereka minta di tempat lain. Mereka takut distigma pendukung Papua Merdeka,”kata juru bicara KNPB, Bozoka Logo kepada Tempo, 15 Desember 2015.
Bozoka merupakan generasi muda Papua yang lahir pada tahun 90-an. Bersama anak-anak muda yang tergabung dalam KNPB, mereka menyakini masuknya Papua ke Indonesia adalah hasil ketidakjujuran yang dilakukan Indonesia, Belanda, dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang diawali dengan operasi Trikora tahun 1961.
Untuk itu, kata Bozoka, satu-satunya jalan untuk memberikan keadilan bagi orang Papua adalah melakukan referendum. Apapun hasilnya, KNPB akan menerimanya sebagai hasil demokrasi yang bersifat final. “Intinya secara demokrasi itu yang legal,” tegasnya.
Ketegasan sikap Bozoka ini merupakan salah satu indikator generasi muda Papua semakin kritis dan berani. Bozoka mengklaim KNPB punya perwakilan hampir di semua daerah di Papua. Mereka secara aktif melakukan pendidikan politik kepada anggotanya. Struktur organisasinya hingga ke unit terkecil yakni anggota keluarga asli Papua.
Menurut Koordinator Jaringan Damai Papua, Neles Tebay, rasa percaya diri generasi muda Papua untuk menuntut kemerdekaan Papua semakin menguat setelah diplomasi intens yang dilakukan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) membuahkan pengakuan dari pemimpin negara-negara Pasifik (Melanesian Spearhead Group-MSG).
ULMWP diterima secara resmi sebagai anggota MSG dengan status pengamat tahun lalu. MSG beranggotakan antara lain Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Fiji.
ULMWP merupakan organisasi payung yang lahir lewat pertemuan yang dihadiri para pemimpin organisasi perjuangan di antaranya Negara Federal Republik Papua Barat, West Papua National Coalition for Liberation dan Parliament National West Papua di Saralana, Port Vila, Vanuatu, pada 30 November hingga 6 Desember 2014. Pertemuan yang difasilitasi oleh pemerintah Vanuatu, menghasilkan satu deklarasi yang disebut Deklarasi Saralana.
Para motor penggerak lahirnya ULMWP adalah generasi kelahiran 1970-80an yang merasakan sendiri berbagai peristiwa kekerasan selama puluhan tahun yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk memberangus gerakan separatis di Papua. Mereka juga mengecap pendidikan yang baik sehingga muncul kesadaran untuk menggali sejarah masuknya Papua di Indonesia.
Neles Tebay menjelaskan, ketika ULMWP mendapat pengakuan dari MSG __organisasi ini mirip seperti ASEAN__ aksi demonstrasi besar-besaran digelar di semua wilayah Papua. “Demo satu hari penuh,” kata Neles kepada Tempo 19 Desember 2015.
Bahkan demonstrasi ini menjalar ke luar Papua seperti Yogyakarta, Manado, Makassar, dan Bali. Mereka yang berdemo mayoritas anak-anak Papua yang lahir di tahun 1990-an. Ini fakta yang menunjukkan generasi muda Papua bangkit kesadarannya atas sejarah masa lalunya. Setelah itu semakin menurun rasa tidak percaya mereka kepada niat baik pemerintah Indonesia untuk mengatasi akar masalah Papua yang sudah 54 tahun lamanya tanpa penyelesaian.
“Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia sudah di titik nadir,” kata Rektor STFT Fajar Timur Abepura.
Penggiat HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem mengatakan, persentase keinginan rakyat asli Papua untuk berpisah dari Indonesia mencapai 70-80 persen. Pemicu utama munculnya sikap ini adalah praktek pelanggaran HAM yang terjadi selama 54 tahun terakhir, tepatnya sejak Papua berintegrasi ke wilayah Indonesia.
Adapun soal ULMWP yang dianggap pendorong meningkatnya rasa percaya diri warga Papua, Theo sambil tersenyum mengatakan, selama ini pemerintah Indonesia menganggap ULMWP biasa saja. Tak ada dampak besar.”Sewaktu-waktu hal biasa bisa jadi hal luar biasa,” kata Theo.
Setelah begitu banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar Papua tetap dalam wilayah Indonesia, menurut Neles Tebay, cara yang dianggap efektif adalah menggelar dialog dengan melibatkan semua pihak yang mendukung gerakan pembebasan Papua. Sehingga semua pihak dapat mendengarkan langsung dari mereka yang pro-kemerdekaan Papua termasuk tuntutan mereka. Setelah itu, melakukan negosiasi untuk menemukan solusi terbaik.
[NewsAktual/Mds/Tempo]
0 komentar:
Post a Comment