![]() |
Pengibaran Bendera Sang Bintang Kejora (foto: Dok/umaginews.com) |
Upaya
Indonesia untuk merdeka secara politik dari Pemerintah Belanda tentu
mengisahkan jalan panjang dan berliku ceritanya. Saat perjuangan menujuh
kemerdekaan orang Indonesia diperlakukan tidak layaknya seorang manusia
oleh penjajah. Ini berlaku di seluruh dunia.
Kata
separatis tentu menjadi familiar saat perjuangan karena kaum penjajah
menyebut upaya bangsa tertentu untuk membebaskan diri dari ketidakadilan
dengan kata tersebut. Adalah Separatis, sebutan bagi kaum yang berjuang
untuk membawah rakyatnya merdeka secara politik.
Belanda
menyebut Indonesia adalah separatis yang hendak keluar dari bingkai
Hindia Belanda. Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis
dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan
Belanda, diamandemen tahun 1848,1872, dan 1922 menurut perkembangan
wilayah Hindia-Belanda.
Setelah
Perang Dunia 2 selesai AS terlibat dalam konfrontasi yang serius dengan
Uni Soviet yang dalam Perang Dunia 2 merupakan sekutu melawan Jerman,
Italia dan Jepang. Setelah Perang Dunia 2 negara-negara yang menang
perang menunjukkan kepentingannya masing-masing yang amat berbeda satu
dengan lainnya. Uni Soviet yang berhaluan komunis diametral bertentangan
dengan AS yang berhaluan kapitalis. Negara lainnya memihak sesuai
dengan haluan politiknya masing-masing dan terbentuk blok Barat dengan
AS sebagai jagonya dan blok Komunis dengan Uni Soviet sebagai pusatnya.
Terjadilah persaingan yang keras dan berkembang menjadi konfrontasi
serta akhirnya menjadi Perang Dingin antara dua blok ideologi itu.
Sejak
Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945 dan Pancasila ditetapkan
sebagai Dasar Negara serta UUD 1945 menjadi konstitusi bangsa,
Indonesia telah menentukan untuk menganut politik luar negeri yang
bebas-aktif. Itu berarti bahwa Indonesia tidak berpihak kepada blok
Barat maupun blok Komunis, tetapi mengambil sikap sama jauh dengan
landasan kepentingan nasional. Sudah tentu sikap Indonesia itu tidak
disenangi AS maupun Uni Soviet, terutama karena posisi geopolitik dan
geostrategi negara Indonesia Merdeka amat berpengaruh terhadap konflik
Barat-Komunis itu yang berkembang menjadi satu Perang Dingin (Cold War). Itu merupakan alasan kuat
Memang dalam
masa pendudukan tentara Jepang atas Indonesia dalam Perang Dunia 2 Bung
Karno sering berpidato yang kurang positif terhadap AS. Hal itu antara
lain keluar dalam seruan yang cukup sering diucapkannya, yaitu Amerika Kita Seterika, Inggris Kita Linggis !. Akan
tetapi seruan demikian lebih banyak karena usaha Bung Karno untuk
mengamankan bangsa Indonesia dari tindakan dan perlakuan Jepang yang
kejam, bukan karena Bung Karno dalam hatinya juga berpikir begitu.
Setelah Perang Dunia 2 selesai Bung Karno mengalami sedikit kesulitan
karena ucapan-ucapan semacam itu menimbulkan tuduhan pihak AS dan
sekutunya bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah collaborator atau
antek Jepang. Namun pada permulaan kemerdekaan Bung Karno dan Bung
Hatta serta bangsa Indonesia yang mereka pimpin bukan bersikap
anti-Amerika, malahan mungkin lebih dekat dan percaya kepada AS dari
pada kepada Inggeris dan negara Sekutu lainnya.
Itu sebabnya
Indonesia setuju ketika pimpinan Komisi Tiga Negara yang bertugas
menengahi konflik Indonesia-Belanda dipegang AS, dengan Australia dan
Belgia sebagai anggota Komisi lainnya.
Namun
sebenarnya pandangan positif bangsa Indonesia terhadap Amerika tidak
sepenuhnya terbalas oleh sikap serta penilaian serupa dari Amerika
terhadap Indonesia.
Perlu
diketahui, Pemerintah Indonesia saat ini ingin adanya renegosiasi
Kontrak Kerja dengan Freeport Indonesia. Renegosiasi kontrak terkait
dengan rencana pemerintah menerapkan bea keluar (BK) untuk ekspor
mineral, termasuk tembaga dan emas.
Kewajiban
divestasi PTFI baru diatur di dalam Pasal 24 KK perpanjangan 1991. Di
dalam pasal tersebut menyebutkan kewajiban divestasi PTFI terdiri dari
dua tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar
9,36 persen dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban
divestasi tahap kedua mulai 2001, PTFI harus melego sahamnya sebesar 2
persen per tahun sampai kepemilikan nasional menjadi 51 persen.
Upaya Indonesia tersebut tentu tidak mudah. Apalagi Richard Adkerson, Chief Executive Officer(CEO) Freeport-McMoRan menolak melakukan divestasi.
Tentu bukan
hal baru Indonesia tidak berdaya sebagai sebuah negara terhadap
Amerika. Selain soal Freeport, Indonesia juga tidak lagi mendapat
bantuan pelatihan militer (Kopassus) lantaran pelanggaran HAM yang
dilakukan sehingga Pasukan elit militer Indonesia ini “bermesrah” dengan
musuh babuyutan Amerika yakni China.
Beberapa
waktu lalu berbagai media di Indonesia memberitakan soal penempatan
pasukan Amerika di Darwin Australia. Analisis media di Indonesia bahwa
penempatan pasukan Amerika di Darwin membahayakan Indonesia. Terkait
dukungan Amerika atas kemerdekaan Papua untuk merdeka secara politik.
Tentu paranoid.
Ichsanuddin
Noorsy, pengamat Ekonomi-Politik beberapa waktu lalu mengatakan sejak
tahun 1970-an, Darwin Australia merupakan basis intelejen Amerika
Serikat untuk wilayah Asia Pasifik.
Hal ini,
disebabkan karena China secara ekonomi dan militer menguat, dan pasukan
Amerika makin tidak populer di Jepang dan Korea Selatan.
Amerika
Serikat kemudian mengambil sikap standar ganda, mengamankan jalur laut
China Selatan dan udara Asia Pasifik karena didukung basis militer di
Hawai dengan pasukan lebih dari 42.000.
"Di sisi
lain, memantau kekuatan China di Laut China Selatan sekaligus menjadikan
Laut China Selatan sebagai kawasan yang perlu mendapat pengamanan
karena negara-negara yang berada di sekitarnya saling memperebutkan
batas wilayah ZEE," ujar Ichsanuddin Noorsy
Memang
diketahui bahwa AS menguasai Filipina setelah merebutnya dari kekuasaan
Spanyol dalam abad ke 19. Akan tetapi dalam pandangan banyak orang
Indonesia, sikap AS terhadap rakyat Filipina jauh lebih lunak
dibandingkan sikap Belanda terhadap rakyat Indonesia. Apalagi bangsa
Amerika telah merebut kemerdekaannya dari kekuasaan Inggeris, satu hal
yang merangsang para pemimpin Indonesia untuk berbuat serupa. Ir
Soekarno sebagai pemimpin bangsa Indonesia sering menggunakan Amerika
sebagai referensi, kalau bukan tauladan, bagi bangsa Indonesia dalam
usahanya membangun kemerdekaan bangsa. Bahkan ada harapan umum bahwa AS
akan membantu Indonesia mendapatkan kemerdekaan.
Dalam upaya
Indonesia merebut kemerdekaan, orang-orang Indo-Melayu dianggap
separatis sehingga ada diskriminasi, ketidakadilan, penembakan,
pemerkosaan dialami orang Indonesia saat itu.
Tentu niat
Indonesia untuk merdeka secara politik lepas dari Belanda juga memiliki
alasan tertentu. Kini orang Papua mengalami hal yang sama. Indonesia
menyebut orang Papua separatis karena hendak merdeka secara politik.
"Jadi
separatisme ini selalu lahir sebagai reaksi terhadap perlakuan yang
tidak adil di dalam suatu konteks sejarah," tutur Pendeta Benny Giay.
Pendeta Giay
secara tegas menyatakan, orang Papua tidak pernah memilih menjadi
separatis. Hal ini terjadi akibat ketidakadilan yang dilakukan
pemerintah pusat yang masih berlangsung hingga kini. Sebab, selama ini
kebijakan negara yang diberlakukan di Papua sangat diskriminatif,
menyempitkan peran dan malah menyingkirkan masyarakat asli Papua di atas
tanahnya sendiri.
Dalam sebuah
dokumen rahasia Kopassus, Mayor Jenderal Erfi Triassunu, kepada
Gubernur Barnabas Suebu tertanggal 30 April 2001. Surat itu menuduh
Gereja Kemah Injil atau Gereja Kingmi berusaha membangun organisasi
eksklusif berdasarkan etnisitas di Papua, yang dalam pandangan Mayjen
Triassunu dianggap gerakan separatis potensial, dan menyarankan militer
memediasi konflik antara Gereja Kingmi dan Gereja Kemah Injil Indonesia.
Surat itu juga mendesak jika mediasi tak bisa menyelesaikan konflik,
“tindakan sesegera mungkin”harus diambil.
Setelah surat ini terekspos, Mayjen Triassunu meminta maaf secara terbuka (http://newmatilda.com/2011/07/25/indon-army-backs-down-threat-letter) karena menuduh gereja sebagai organisasi separatis, mengklaim bahwa beberapa orang gereja telah meminta bantuan militer.
"PAK
Presiden, kami bilang separatisme ini tidak turun dari langit, sama
seperti separatisme dan nasionalisme Soekarno dan Mohammad Hatta, mereka
melawan karena mereka melihat ketidakadilan selama dua abad lebih,"
ujar Pendeta Benny Giay, seperti diberitakan PapuaTV, pada 15 Juni 2012 lalu.
Hal ini
dikatakan Ketua umum Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, menanggapi
pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu terkait
maraknya aksi penembakan yang terjadi di Papua dengan mengatakan
"Separatisme di Papua jangan dibiarkan tetapi harus dibasmi."
Indonesia lebih dahulu separatis lalu Papua” tegas Giay (John Pakage)
Sumber: catatan Facebook.com (J.P)
Sumber: catatan Facebook.com (J.P)
0 komentar:
Post a Comment