Menggenang kembali sejarah Papua yang Pernah Terajadi atas Tokoh Tanah Papua
DESEMBER 2000, seorang pria berbadan tegap tanpa
mengenakan baju berjalan sempoyongan di markas satuan tugas intelijen di
Hamadi, Jayapura. Bibirnya komat-kamit, entah apa yang diucapkan. Bagi pria
yang hanya mengenakan celana pendek dengan rambut panjang menggumpal hampir
mencapai pinggang itu, pastilah sore itu terasa nikmat karena angin bertiup
sejuk. Dari jarak satu setengah meter, bau alkohol menyebar dari mulutnya.
SEORANG prajurit berpakaian sipil membentaknya agar
menjauh. "Kamu bau. Tamu bisa terganggu. Pergi sana," hardiknya.
Pria bercambang ini tertawa dan berjalan menuju
dangau. Di situ di bawah pohon, ia merebahkan diri. Tidur pulas dengan mimpi
menakjubkan.
Beberapa bulan kemudian, Jakarta heboh setelah
muncul berita penyanderaan warga Korea Selatan dan beberapa karyawan perusahaan
industri kayu lapis di daerah Merauke, Papua. Panglima Militer Tentara
Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TNP/ OPM) Wilayah Merauke hingga
Pegunungan Tengah Kolonel William Onde menyatakan bertanggung jawab atas
penyanderaan itu. Seperti biasa, aparat keamanan segera diterbangkan dari
Jakarta dan daerah lainnya untuk membebaskan sandera, sekaligus mengembalikan
stabilitas keamanan di daerah itu.
William Onde muncul dengan peran barunya. Ia bukan
lagi seorang pemabuk yang melengos setelah dihardik seorang sersan. Kini ia
tampil sebagai kolonel TNP/OPM. Dengan gaya
seorang komandan, ia menggariskan bahwa perundingan hanya dilakukan jika yang
datang presiden direktur perusahaan tersebut.
Akan tetapi, begitu keinginannya dipenuhi, Kolonel
William Onde memerintahkan pasukannya agar menyandera bos perusahaan kayu yang
juga warga Korea Selatan. Situasinya menjadi genting karena sang kolonel
menaikkan tuntutannya. Tadinya hanya sekadar pelunasan utang-utangnya di sebuah
bar di Merauke dan perbaikan nasib, kemudian menggelembung menjadi, antara
lain, uang kontan satu juta dollar AS serta penarikan pasukan Brigade Mobil
dari wilayah Papua.
Tuntutan William Onde bergema di dunia
internasional. Sebab, uang yang dituntutnya disebut sebagai kompensasi atas
perusakan hutan yang dilakukan perusahaan tersebut. Pers Barat
mendramatisasinya, begitu juga masyarakat pencinta lingkungan. Penyanderaan ini
disebut sebagai reaksi alamiah masyarakat terpencil atas kebuasan ekonomi
masyarakat modern. Mereka mengimbau masyarakat internasional agar menekan
Pemerintah RI untuk tidak menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan masalah penyanderaan ini
SETELAH "perburuan"’ dan perundingan yang
meletihkan selama beberapa pekan, sandera akhirnya dibebaskan. Utang-utang Onde
di beberapa bar di Merauke dilunasi. Tidak jelas berapa jumlah uang yang
diterima Onde. Namun, yang menarik adalah kemunculannya di Jakarta.
Ibarat pejuang sarat pengorbanan, ia berkunjung ke
sejumlah pejabat tinggi di Jakarta. Dengan mengenakan stelan jas merah tua,
Onde bertemu dengan Ketua DPR Akbar Tandjung dan banyak pejabat tinggi negara.
Kamera dan dan kilatan lampu foto tidak henti-hentinya mengikuti langkah
kunjungan pemabuk asal Merauke ini.
Namun, seperti lazim terjadi dalam "dunia
gelap’’ yang diperankannya, hanya beberapa saat setelah kembali dari Jakarta,
ia ditemukan tewas dalam kondisi sekujur tubuh penuh luka sayatan. Dari cara
menguliti kepala sang kolonel, pelaku sangat terlatih dan kerap melakukan hal
yang sama di Aceh.
William Onde telah menjalankan misinya dengan baik
walaupun ia sendiri tidak akan pernah tahu skenario apa di balik semua itu. Ia
tidak akan pernah tahu bahwa para pembinanya tertawa puas ketika menyaksikan di
layar televisi Sang Kolonel berjabatan tangan dengan pejabat tinggi negara di
Jakarta. Elite politik sipil begitu mudah dipecundangi karena tidak punya
informasi intelijen.
William Onde tamat dan tidak akan pernah bangkit
kembali. Namun permainan tidak boleh berhenti karena manusia adalah makhluk
politik. Kali ini malah yang ditampilkan figur yang lebih besar, baik dari segi
fisik maupun pengaruhnya. Kakap ini bernama Theys Eluay, tokoh kontroversial
yang tiba- tiba meroket dan menyatakan dirinya sebagai Bapak Bangsa Papua.
Nasib Theys tidak seburuk William Onde, yang tidak
ada peduli atas kematiannya. Theys dianggap sebagai pahlawan Papua. Bahwa dia
dahulu mewakili Golkar sebagai anggota DPRD (3 periode), bukan masalah
prinsipiil. Demikian pula kedekatannya dengan satuan tugas intelijen di
Jayapura.
Theys adalah "pahlawan" yang lazim muncul
dari gejolak politik pada masa transisi sistem politik militerisme menuju
demokrasi. Diawali dengan perayaan ulang tahunnya, November 1998, atau enam
bulan setelah Presiden Soeharto lengser, ia mengumumkan akan diselenggarakannya
Kongres Rakyat Papua sebagai persiapan menuju kemerdekaan Papua. Hadir dalam
acara tersebut sejumlah pejabat lokal dan tokoh pemuda.
SEJAK saat itu Theys melambung. Ia menyatakan
dirinya sebagai Bapak Bangsa Papua. Dengan lihainya ia meramu ritus suku-suku
di Papua dalam ekspresi politik modern. Itu sebabnya, ia gemar sesuatu yang
bersifat seremonial dan glamour. Suatu hal yang, menurut Max Weber, dapat
mengencangkan legitimasi tradisional bagi penampilannya.
Theys menjelma menjadi personifikasi "ratu
adil", tokoh yang disebut dalam cargo cult. Ia seolah menjadi wujud
konkret milinearisme suku-suku di Papua. Dengan demikian, Theys akan
membebaskan rakyat Papua dari penindasan dan mengantarnya menuju pintu gerbang
kemakmuran.
Saat yang membuatnya nikmat adalah ketika ia
berjalan ke atas panggung dan melambaikan tangan sambil berucap, "Kita
dorang mau merdeka." Ribuan pendukungnya segera menyambut dengan berulang-
ulang meneriakkan, "Papua merdeka." Kata merdeka menjadi jimat yang
memukau.
Pria bertubuh tambun ini menjanjikan kemerdekaan
sudah di depan mata, tinggal masalah waktu saja. Sebab, demikian alasannya,
masyarakat internasional baru menyadari bahwa pengumpulan suara rakyat tahun
1969, sebagai mana ditetapkan PBB, sebagai cacat hukum.
Pemerintah RI
sendiri belum pernah menyelenggarakan referendum, kecuali sekadar mengumpulkan
suara para kepala suku yang berjumlah sekitar 1.005. Bahwa Theys merupakan
salah satu di antara kepala suku yang memberi suara kepada RI, bukanlah masalah
prinsipiil. Ia berdalih, jika tidak demikian, ia akan mati dibunuh tentara
Indonesia.
Namun, sejumlah penelitian yang diterbitkan menjadi
buku menyebutkan, Ali Murtopo melalui operasi khususnya membawa para kepala
suku ini berlibur keliling Pulau Jawa. Di tempat pelesiran, mereka dihibur oleh
wanita-wanita nakal. Puas dengan pelayanan itu, mereka dengan gembira memberi
suara pilihan kepada RI.
Pagi tanggal 10 November 2001, Letkol Hartomo,
Komandan SGI (satgas intelijen) yang bermarkas di Hamadi, Jayapura, mengunjungi
Theys di rumahnya. Ia membawa baju warna putih yang baru dibelinya. "Untuk
Bapak pakai nanti malam," ujar Hartomo mengingatkan malamnya akan ada
acara peringatan Hari Pahlawan di Markas SGI. Sejak acara malam itu pula berakhir
riwayat Theys.
Hartomo pernah mengatakan kepada Kompas,
hubungannya dengan Theys sangat dekat. Lantas soal mengapa ia dan anak buahnya
harus membunuh tokoh Papua ini, ia tidak akan pernah mengatakannya. Inilah
kabut hitam dunia intelijen.
Theys telanjur melambung, cepat lupa asal-usulnya.
Ia bahkan mulai melenceng keluar dari rel. Realitas politik membuatnya demikian
hingga ia kerap muncul di tayangan CNN.
BAGI kalangan "internal", Theys bukan
lagi yang dikenal dulu sebagai anak patuh. Namanya melambung membuat kepala
suku di kawasan Sentani ini dapat berhubungan langsung dengan Presiden RI, ketika itu Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Suatu hal
yang cepat memabukkannya, tetapi menyuburkan kecemburuan di kalangan yang
mengarbitnya.
Bahwa peran Theys dianggap sudah lebih dari cukup
dan harus ditamatkan, bukanlah sesuatu yang mengagetkan dalam mempercepat alur
klimaks suatu skenario besar. Tetapi yang mengagetkan justru peristiwa yang
muncul jauh melenceng dari apa yang diperkirakan.
Kematian Theys ternyata tidak mengundang badai
politik, konflik horizontal, maupun darurat militer. Sebaliknya justru Letkol
Hartomo dan sejumlah prajurit Kopassus harus memikul beban di depan mahkamah
militer di Surabaya.
"Kami di Papua tidak mengenal konflik, tapi
Jakarta terus menanamkan benih konflik," ujar Tom Beanal, Ketua Dewan Adat
Papua. Komisaris di PT Freeport Indonesia ini
menyebut kebijakan konflik itu sebagai instrumen untuk membunuh aspirasi
merdeka rakyat Papua.
Beanal mungkin benar sampai pada pemikiran
kehadiran konflik itu. Namun, ia terlalu membesar-besarkan arti Papua dalam
kepentingan geoekonomi Indonesia. Sebab, sangat sulit menemukan pejabat di
Indonesia yang sungguh- sungguh memikirkan dan mengabdi demi kepentingan
nasional, atau yang disebut geoekonomi itu.
Apa yang sebenarnya terjadi tidak lebih dari
sekadar permainan elite politik di Jakarta yang memanfaatkan Papua sebagai
teater politik. Sebagai mana halnya teater, konflik adalah hal yang harus hadir
untuk memberi karakter dan suasana. Itulah yang harus terjadi saat Theys harus
digelandang ke sel tahanan. Suatu keputusan yang penuh risiko bagi pejabat
daerah, tetapi harus dilaksanakan.
Theys yang tadinya dengan mudah berkunjung kepada
pejabat tinggi negara, atau bahkan kepala negara, tiba-tiba meringkuk di sebuah
sel sebagai pesakitan, dengan tudingan "pemimpin gerombolan" melawan
negara dan pemerintah yang sah. Dengan sendirinya pula mempermalukan dan
menggerogoti legitimasi Presiden Gus Dur dan pejabat tinggi yang pernah
menerima kunjungan Theys.
"Di mata hukum, Theys adalah pengacau
keamanan. Melawan pemerintah dan negara melalui tindakannya untuk memisahkan
Papua dari NKRI," ujar Wenas, Kepala Polda Irian Jaya masa itu. Namun,
Kepala Polda yang sangat taat beragama itu mengisyaratkan, jika Theys tidak ditahan,
kemungkinan akan terbunuh.
Dan
benar, Theys akhirnya terbunuh. (Maruli Tobing)
0 komentar:
Post a Comment