Octovianus Mote, fellow di Yale University, Amerika Serikat,
telah berbicara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat di berbagai
negara tentang apa yang terjadi di Papua. Mantan kepala biro Kompas di
Papua ini berada di Australia untuk melakukan dialog. Lily Yulianty
Farid berbicara dengannya untuk bertanya mengenai apa prospek perdamaian
di Papua.
“Yang saya lakukan dengan perjalanan ini, misalnya, mencari dukungan dari berbagai pihak di luar negeri untuk memberikan suatu penguatan kepada presiden [Susilo Bambang Yudhoyono] bahwa dialog itu amat penting, dan ini kepentingannya bukan untuk rakyat Papua saja, tapi untuk menunjukkan bangsa kita adalah negara yang demokratis, karena Indonesia juga terkenal di Asia Tenggara dalam perannya mediasi dalam masalah konflik, seperti di Bangsa Moro, Malaysia, Thailand. Jadi saya kira alasan-alasan ini yang saya sampaikan bahwa kepada saya keliling di sini, kemudian di Canberra, di Sydney, untuk mencari dukungan, bahwa it is alright, tidak takut berdialog.”
Mengenai target dialog ini, dia mengatakan banyak negara yang sudah mendukung proses dialog, dan mengkritik pemerintah Australia yang dianggapnya tidak mengakui fakta.
“Target kami minimal adalah mendapatkan dukungan dari berbagai negara di dunia yang menekan pemerintah Indonesia bahwa masalah Papua tidak akan bisa dibiarkan, dan akan berlarut, tapi perlu dialog. Contoh, misalnya, saat ini pemerintah Amerika Serikat itu soal dialog merupakan suatu keputusan Departemen Luar Negeri. Oleh karena itu siapa pun yang akan menjadi menlu berikut, tetap akan mensuarakan itu. Uni Eropa sudah menyuarakan itu. Negara-negara Pasifik Selatan menyuarakan itu, kecuali Australia yang tidak mau mengakui fakta di belahan bumi lain. Jadi kami rally untuk mencari dukungan dari masyarakat, membangun awareness, lalu mengharapkan mereka memaksa pemerintahnya untuk menekan Jakarta supaya di dalam tahun ini paling tidak agenda papua bisa menjadi salah satu agenda internasional. Jadi, minimal target kami kalau belum bisa dialog, bagaimana dia bisa menjadi perhatian dunia.
”Selain itu, menurut Octovianus Mote, proses dialog harus dimulai dengan strategis, di mana kedua belah pihak tidak memulai dengan keinginan politik, tapi berfokus kepada penciptaan kedamaian di Papua.
“Aspirasi rakyat papua yang menuntut merdeka sebagai the end, satu-satunya jalan, bisa juga oleh orang yang mempromosikan dialog banrangkali: ‘Ini kenapa kalian dialog kok menuntut merdeka lagi?’ Dialog yang kami perjuangkan adalah kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Papua, dua-duanya tidak bicara tentang keputusan politiknya. Orang Papua tidak bicara merdeka, Indonesia juga tidak bicara NKRI, tapi dua-duanya sepakat untuk bciara bagaimana kita bisa menciptakan Papua sebagai tanah damai…Jadi, dialog harus dilihat bukan bicara merdeka atau tidak merdeka. Tapi dialog yang kami minta adalah menyelesaikan masalah yang terutama adalah menciptakan Papua sebagai tanah damai, di mana rakyat bangun pagi, ke kebun, tahu pasti dia bisa pulang, tidak takut dibunuh, karena itu adalah fakta. Dan saya lihat itu ketika saya bertugas sebagai kepala biro Kompas.”
Ketika ditanya apa yang ingin dia garis bawahi soal prospek kedamaian di Papua Barat, dia menyatakan yakin bahwa dialog untuk kedamaian akan bisa terjadi.
“Saya melihat, tetap, akan ada proses menuju perdamaian. Ketika saya wartawan, saya melihat rakyat Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, bahwa ada elit politik di Jakarta dan militer serta polisi yang serakah akan kekuasaan. Tetapi kalau rakyat itu bangkit dan menekan pemerintahnya, suatu saat dialog akan dilakukan. Yang kedua, dari sisi internasional, masalah Papua tidak akan begitu saja berlalu…jadi saya yakin akan ada dialog.”
Sumber: radioaustralia.net.au
“Yang saya lakukan dengan perjalanan ini, misalnya, mencari dukungan dari berbagai pihak di luar negeri untuk memberikan suatu penguatan kepada presiden [Susilo Bambang Yudhoyono] bahwa dialog itu amat penting, dan ini kepentingannya bukan untuk rakyat Papua saja, tapi untuk menunjukkan bangsa kita adalah negara yang demokratis, karena Indonesia juga terkenal di Asia Tenggara dalam perannya mediasi dalam masalah konflik, seperti di Bangsa Moro, Malaysia, Thailand. Jadi saya kira alasan-alasan ini yang saya sampaikan bahwa kepada saya keliling di sini, kemudian di Canberra, di Sydney, untuk mencari dukungan, bahwa it is alright, tidak takut berdialog.”
Mengenai target dialog ini, dia mengatakan banyak negara yang sudah mendukung proses dialog, dan mengkritik pemerintah Australia yang dianggapnya tidak mengakui fakta.
“Target kami minimal adalah mendapatkan dukungan dari berbagai negara di dunia yang menekan pemerintah Indonesia bahwa masalah Papua tidak akan bisa dibiarkan, dan akan berlarut, tapi perlu dialog. Contoh, misalnya, saat ini pemerintah Amerika Serikat itu soal dialog merupakan suatu keputusan Departemen Luar Negeri. Oleh karena itu siapa pun yang akan menjadi menlu berikut, tetap akan mensuarakan itu. Uni Eropa sudah menyuarakan itu. Negara-negara Pasifik Selatan menyuarakan itu, kecuali Australia yang tidak mau mengakui fakta di belahan bumi lain. Jadi kami rally untuk mencari dukungan dari masyarakat, membangun awareness, lalu mengharapkan mereka memaksa pemerintahnya untuk menekan Jakarta supaya di dalam tahun ini paling tidak agenda papua bisa menjadi salah satu agenda internasional. Jadi, minimal target kami kalau belum bisa dialog, bagaimana dia bisa menjadi perhatian dunia.
”Selain itu, menurut Octovianus Mote, proses dialog harus dimulai dengan strategis, di mana kedua belah pihak tidak memulai dengan keinginan politik, tapi berfokus kepada penciptaan kedamaian di Papua.
“Aspirasi rakyat papua yang menuntut merdeka sebagai the end, satu-satunya jalan, bisa juga oleh orang yang mempromosikan dialog banrangkali: ‘Ini kenapa kalian dialog kok menuntut merdeka lagi?’ Dialog yang kami perjuangkan adalah kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Papua, dua-duanya tidak bicara tentang keputusan politiknya. Orang Papua tidak bicara merdeka, Indonesia juga tidak bicara NKRI, tapi dua-duanya sepakat untuk bciara bagaimana kita bisa menciptakan Papua sebagai tanah damai…Jadi, dialog harus dilihat bukan bicara merdeka atau tidak merdeka. Tapi dialog yang kami minta adalah menyelesaikan masalah yang terutama adalah menciptakan Papua sebagai tanah damai, di mana rakyat bangun pagi, ke kebun, tahu pasti dia bisa pulang, tidak takut dibunuh, karena itu adalah fakta. Dan saya lihat itu ketika saya bertugas sebagai kepala biro Kompas.”
Ketika ditanya apa yang ingin dia garis bawahi soal prospek kedamaian di Papua Barat, dia menyatakan yakin bahwa dialog untuk kedamaian akan bisa terjadi.
“Saya melihat, tetap, akan ada proses menuju perdamaian. Ketika saya wartawan, saya melihat rakyat Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, bahwa ada elit politik di Jakarta dan militer serta polisi yang serakah akan kekuasaan. Tetapi kalau rakyat itu bangkit dan menekan pemerintahnya, suatu saat dialog akan dilakukan. Yang kedua, dari sisi internasional, masalah Papua tidak akan begitu saja berlalu…jadi saya yakin akan ada dialog.”
Sumber: radioaustralia.net.au
0 komentar:
Post a Comment