Mengurai Pertambangan Mangan Oekopa dan Oerinbesi(Kajian-Analisis Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik)
Oleh: Herry Naif
Oleh: Herry Naif
I. Profil Oekopa
Secara historis, desa
Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi (Biboki). Suku yang dominan
ada di wilayah itu adalah Usatnesi Sonaf'Kbat, Soanbubu, Suilkono selain
itu ada suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea,
Leoklaran, Taslulu, Usboko.
Secara
Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
dimana sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan
dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu,
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tautpah. Jumlah penduduk desa
Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011). Mayoritas penduduknya
berprofesi petani sawah. Karena itu, Oekopa dikenal sebagai salah satu
pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu. Kondisi
jarak tempuh menuju Atambua lebih dekat bila dibandingkan dengan kota
Kefa, tidak heran bila kemudian para petani lebih memilih menjual panen
beras ke Atambua. Namun tidak berarti bahwa dengan kondisi ini kemudian
tanggung jawab pemerintah kabupaten TTU tidak memberikan perhatian
serius agar bagaimana mengefektifkan pola pertanian di desa tersebut.
Seyogyanya, Oekopa dan
Oerinbesi diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian (persawahan)
dalam kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan
sebagai salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU, yakni:
Program Padat Karya Pangan (PKP) yang sedang gencar dikampanyekan.
Potensi persawahan
Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana terdapat enam
sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan
Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut digunakan untuk mengairi
persawahan Oekopa seluas 840 ha.
Selain itu, kawasan itu
menjadi kawasan penyangga bagi desa Oekopa dan lima (5) Desa lainnya,
seperti: (Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga
menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik,
Inggareo, Matamaro. Kawasan ini pun menjadi kawasan penggembalaan
ternak (sapi 752 ekor) bagi warga Oekopa.
Malah secara
historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan yang
harus dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat (fatukanaf dan Oekanaf) dari beberapa suku yang ada di Oekopa.
Itu berarti, pengelolaan
lingkungan berasas pada sebuah kearifan lokal yang bernuansa nilai
perlindungan ekologis perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep
pengeloaan sumber daya alam.. Hubungan timbal-balik manusia dengan alam
dipandang dalam sebuah keadilan demi pewarisan lingkungan bagi generasi
selanjutnya.
Sejak tahun 2010,
diwacanakan akan adanya pertambangan mangan di desa Oekopa oleh PT. Gema
Energi Indonesia (GEI). Sosialisasi dilakukan sekali sebagai bentuk
perkenalan perusahan dengan warga. Setelah itu, perusahaan atau pun
pemerintah Kabaupaten TTU tidak pernah mendatangi Oekopa untuk melakukan
sosialisasi tentang adanya pertambangan tersebut.
Kendatipun demikian,
tahun 2012 perusahaan kembali ke Oekopa dengan mengantongi surat Bupati
TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik
Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.
Dari hasil pantauan
lapangan yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT
dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi (09/08/12)
di Oekopa ditemukan beberapa fakta, diantaranya:
· Pembangunan stock phile mangan di Oekopa, yang berjarak 10 M dari Pemukiman dan 30 M dari persawahan rakyat;
· Kawasan
ini oleh masyarakat adat dilihat sebagai kawasan yang perlu dijaga
(naestala) karena ada tempat-tempat ritual adat, seperti Busao, lan faot naine mnune dan Fatutasu.
Dan kemudian oleh Negara dilarang agar rakyat menebang pohon dan
merusak lingkungan. Herannya, sekarang dikampling untuk wilayah
pertambangan mangan dan Pembangunan Stok file)
· Wilayah
pertambangan (WP) seluas 200 hektare, pada kawasan penyangga dan
penggembalaan tenak warga dan kawasan itu merupakan kawasan penyangga
sosial-budaya karena terdapat tempat-tempat ritus adat masyarakat
setempat dan pekuburan warga; seperti Busao, Koi, Kukbit. Selain itu,
kawasan ini juga ada beberapa kampung lama (kuamnasi) seperti: Haubesi,
Usapi kolen, Fatule. Namun hingga hari ini, Usapikolen yang masih
didiami oleh 8 KK.
· Sosialisasi
dilakukan sekali pada tahun 2010 oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI)
yang dihadiri 22 orang dari Oekopa; Pada dokument ini membuktikan
pemalsuan dokumen karena kepala desa mengambil hak sebagai tokoh adat,
sedangkan sekretaris desa menduduki posisi sebagai kepala desa;
· Ganti-rugi
lahan dimana per/hektare 22,5 juta; Sebagai ikatan dengan setiap warga
pemilik lahan per/hektare 2 juta namun pada realisasinya 1 juta/pemilik
lahan;
· Pohon-pohon jati yang berada di lokasi pertambangan diganti dengan harga yang bervariasi Rp. 50.000 – Rp. 500.000
· Wacana pertambangan mangan di Oekopa menyebabkan ketidaknyamanan bagi warga dan malah menimbulkan pro-kontra antar warga;
· Janji perusahaan akan dibangun tangki-tangki limbah dan akan melakukan penanaman kembali pada lokasi yang telah digali;
· Adanya
penolakan warga dari suku Usatnesi sonaf'kbat yang sudah disampaikan
kepada Bupati TTU dan DPRD TTU, Sebagai respon DPRD TTU, Ketua komisi C
DPRD TTU bersama dua anggota DPRD TTU bertemu langsung dengan pihak
penolak di kantor desa Oekopa dengan tujuan menghimpun usulan penolak,
(3 Agustus 2012)
· Perusahaan
(PT. Gema Energi Indonesia – GEI) telah menurunkan 6 peralatan bor di
Oekopa dan sementara melakukan aktivitas pemboran; untuk melakukan
pencarian mangan, (Hendrikus Abatan, Kepala Desa Oekopa), Fredy Tan
(Penanggungjawab perusahaan di Kefa) dan pernyataan beberapa warga yang
ditemui di Oekopa;
· Janji perusahaan adalah membangun kapela (tempat ibadat) Oekopa;
III. Kajian – Analisis atas Fakta Pertambangan Oekopa
Sejak tahun 2007, pertambangan mangan masif dilakukan hampir di seluruh wilayah di Pulau Timor seolah menjadi leading sector dari
berbagai bidang lainnya. Pertambangan mangan di Pulau Timor dilihat
sebagai pertambangan berjemaat. Tanpa sebuah kajian-kritis atas
pertambangan yang dilakukan para pihak, tidak heran bila kemudian banyak
wilayah pertambangan yang mendapat reaksi penolakan dari warga
setempat.
Beberapa temuan lapangan
di Oekopa yang disampaikan sebelumnya, tentunya tidak jauh berbeda
dengan fakta pertambangan lain di Indonesia dan NTT.
Dengan demikian, kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (LAKMAS)
mencoba membuat analisa dan kajian atas beberapa fakta yang ditemukan
09 Agustus dan 18 Agustus 2012 sebagai pertimbangan kritis untuk kembali
melihat dan meninjau kebijakan pertambangan Oekopa dan Oerinbesi yang
sedang ramai dibicarakan.
3.1. Apa itu Pertambangan
· Pertambangan
adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara
bongkar: gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung.
· Pertambangan
adalah kegiatan paling merusak (alam dan kehidupan sosial) yang
dimiliki orang kaya dan hanya menguntungan orang kaya.
· Pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para pembohong (Mark Twian)
· Pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan:
Dari
beberapa defenisi ini tidak jarang menimbulkan perdebatan mengenai
kegiatan pertambangan itu sendiri karena akan menimbulkan peluang
kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi
dikarenakan adanya penggerukan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan
telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam akan
terganggu.
3.2. Dampak Ekologi
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum, (Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), Pasal 1 (2).
Topografi
wilayah Oekopa sangat mendukung pengembangan persawahan. Sejak tahun
1970-an warga Oekopa mulai mengenal sebuah pola pengelolaan persawahan
yang baik. Kehidupan mereka ditopang oleh persawahan dan pengembangan
peternakan.
Apabila kebijakan diarahkan pada pertambangan mangan dengan dibangun stok file dan wilayah pertambangan seluas 200 hektare pada wilayah yang sama maka akan berakibat pada:
a) Perubahan Bentangan Alam (land-scape)
Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi tentunya membawa perubahan land-scape yang berakibat
pada penyempitan lahan pertanian, dan penghilangan padang
penggembalaan. Lebih dari itu akan berakibat pada terganggunya ekosistem
di wilayah tersebut seiring dengan berubahnya land-scape wilayah itu.
Apalagi
pembongkaran permukaan tanah itu dilakukan di kawasan penyangga
tentunya akan berakibat fatal pada pengembangan persawahan dan
peternakan yang selama ini menjadi penopang hidup warga.
b) Mengganggu Tata Hidrologi air
Kenyataannya
pada wilayah itu terdapat 6 sumber mata air, seperti: Oetobe, Oenenas,
Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Itu berarti wilayah tersebut
adalah water scathman area (daerah tangkapan air) yang
dimanfaatkan mengairi persawahan yang selama ini menjadi sumber
penghidupan warga. Dikhatirkan bahwa konversi wilayah penyangga ini pun
dapat berakibat pada kekeringan sumber mata air karena terjadi perubahan
tata hidrologi air.
Karena
itu, pembangunan pabrik pengolahan biji mangan di Oekopa harus mendapat
kajian serius, terutama mempertimbangkan ketersedian air.
Apakah
ketersedian air di wilayah Oekopa dan Oerinbesi akan mampu mengairi
persawahan bila air itu harus didistribusikan lagi untuk kepentingan
proses pemurnian mangan. Sebab, kebutuhan pabrik akan air untuk proses
pemurnian mineral mangan (Mn) tidak seperti yang dibayangkan mencuci
perabot rumah tangga.
c) Harus ada Kajian Analisa Resiko
Pertambangan
mangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus berbasis
analisa resiko. Pembongkaran permukaan tanah yang luas dapat menimbulkan
tanah longsor. Selain itu, ledakan tambang, keruntuhan tambang serta
keselamatan warga pekerja apa sudah dipertimbangkan.
Tanpa
pembongkaran tanah saja, Kabupaten TTU sering mengalami bencana longor
saat hujan dan kekeringan pada musim panas. Malah menurut beberapa
warga Oekopa bahwa sering terjadi longsor ketika musim hujan.
Padahal dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tengan Penanggulangan Bencana, Pasal 6 (a dan b) menyatakan bahwa “Tanggung
jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan; b.Perlindungan Masyarakat dari dampak
bencana;
Dalam
kaitan dengan pertambangan Oekopa dan sesuai perintah Undang-Undang
dilihat bahwa secara faktual negara tidak melakukan tindakan mitigatif
dengan melakukan analisa resiko bencana. Hal ini secara jelas diungkap
dalam Pasal 7 (b) yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan yang memasuk unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
Atau dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 13 yang mengatur soal
pengendalian kerusakan lingkungan itu meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
Itu
berarti, Pemerintah Kabupaten TTU belum memiliki kajian analisa resiko
dalam kasus pertambangan Oekopa dan Oerinbesi; Pertanyaannya, siapa yang
harus melakukan undang-undang ini? Bila ada bencana longsor pada musim
hujan dan kekeringan pada musim panas yang berdampak pada persawahan
rakyat siapa yang harus bertanggung jawab?
d) Harus Diasaskan pada Kebijakan Tata Ruang
Kebijakan
penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian
diperbaharui dengan Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kualitas tata ruang yang semakin baik, yang oleh undang-undang
dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Dalam
konteks itu, apakah pertambangan Oekopa dan Oerinbesi sudah melalui
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak mengganggu ruang
persawahan dan peternakan warga sebagai sumber penghidupan warga.
Apabila
pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi diberlakukannya sesuai
dengan kebijakan penataan ruang, semstinya tidak mengganggu ruang hidup
rakyat. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sehingga
tidak menimbulkan over-lap pengelolaan.
Kebijakan
tata ruang berguna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana
tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau
Strategic Environmental Assessment (SEA).
Pemerintah Kabupaten TTU menjadikan KLH dan SEA sebagai salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of thinking) perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup di Kabupaten TTU.
Pemerintah
Kabupaten TTU perlu melakukan penataan ruang (Rencana Tata Ruang
Wilayah) sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Hanya
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif Pemkab TTU
mampu memetakan seluruh potensinya, baik di bidang pertanian,
peternakan, pariwisata, kehutanan, dll yang dilandasi pada analisa keseimbangan ekologi dan analisa resiko ancaman.
Padahal,
masyarakat Oekopa sendiri sudah memiliki konsep perlindungan ekologi
yang mestinya diadopsi pemerintah kabupaten TTU. Kearifan lokal mereka
telah melakukan penataan ruang dimana kawasan lindung, mata air yang
mana melindungi wilayah kelola rakyat.
Sebetulnya
hal ini pun telah diatur dalam Udang-Uundang No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang terutama Pasal 34 (1), yang menyatakan bahwa “Dalam
pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana
tata ruang kawasan strategis; b. perumusan program sektoral dalam
rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan
strategis; dan c.pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program
pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis. Hal ini
dipertegas dalam (ayat 4) bahwa penataan ruang harus dilaksakan sesuai
dengan standar kualitas lingkungan; dan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
Dengan
dasar ini, kita bisa melihat bahwa apakah ijin pertambangan oekopa dan
oerinbesi sudah dilandaskan pada Penataan Ruang, sehingga kemudina tidak
mengganggu kualitas lingkungna dan daya dukung lingkungan terutama
oekopa dan oerinbesi sebagai kawasan strategis persawahan.
3.3. Dampak Limba Industri
Setiap
usaha pertambangan memiliki karakter yang berbeda antara mineral yang
satu dengan mineral yang lainnya. Namun prinsipnya pertambangan dilihat
sebagai aktivitas yang sangat beresiko terhadap ekosistem dan lingkungan
hidup.
Begitu
pun usaha pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus dilihat
dari dampak industri yang mana dapat menimbulkan potensi gangguan
antara lain;
· Pencemaran
akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air limbah dari buangan
tambang yang mengandung zat-zat beracun. Hal ini dapat menyebabkan
pencemaran air. Dengan demikian, pertambangan mangan Oekopa dan
Oerinbesi akan berdampak buruk pada persawahan dan peternakan akibat
pencemaran air dan udara yang ditimbulkan dari proses pencucian mangan
tersebut.
· Gangguan berupa suara bising dari berbagai alat berat, berupa suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan terhadap kesehatan masyarakat sehingga dapat muncul jenis penyakit baru yang bersifat endemik dan epidemik;
Karena itu, kajian
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kiranya menjadi fundamen
dalam mengevaluasi kebijakan tersebut. Bukannya AMDAL dilihat sebagai legal formal yang
akan meligitimasi sebuah prosudure formal dalam memenuhi ketentuan
formal. Tetapi harus dilakukan sebagai kiat baik dalam upaya menjaga
keseimbangan ekologi di setiap wilayah.
· Pertambangan
Oekopa dan Oerinbesi belum mendapat kajian AMDAL secara serius. Malah,
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah Kabupaten TTU belum mengetahui
tentang adanya perijinan tersebut. Dan itu dapat dibenarkan karena dari
Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan Mangan itu diketahui oleh BLH
Daerah Kabupaten TTU. Padahal, Badan Lingkungan Hidup Daerah adalah
sebuah instansi yang ada dikabupaten TTU yang memiliki kewenangan untuk
merekomendasikan layak tidaknya sebuah proses pengelolaan lingkungan
hidup apalagi pertambangan.
Berlandas pada beberapa
fakta ini dapat disimpulkan sementara bahwa pertambangan mangan Oekopa
dan Oerinbesi belum dilakukan secara transparan agar dilakukan upaya
minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.
Pertambangan
adalah sebuah usaha yang tidak ramah lingkungan dan berakibat fatal
bagi kesehatan manusia. Karena itu, pertambangan mangan di Oekopa dan
Oerinbesi perlu dilihat dampak kesehatan yang tentunya akan dialami
warga. Sebab dampak Mangan terutama terjadi di
saluran pernapasan dan otak. Gejala keracunan mangan adalah halusinasi,
pelupa dan kerusakan saraf. Manganese can also cause Parkinson, lung embolism and bronchitis.Mangan juga dapat menyebabkan Parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis. When men are exposed to manganese for a longer period of time they may become impotent. Ketika orang-orang yang terkena mangan untuk jangka waktu yang lebih lama mereka menjadi impoten.
Suatu sindrom yang disebabkan oleh mangan memiliki gejala seperti schizophrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala dan insomnia.
Mangan senyawa alami ada di lingkungan sebagai padatan di tanah dan partikel kecil di dalam air. Manganese particles in air are present in dust particles. Mangan partikel di udara yang hadir dalam partikel debu. These usually settle to earth within a few days. Ini biasanya menetap ke bumi dalam waktu beberapa hari. Humans enhance manganese concentrations in the air by industrial activities and through burning fossil fuels.Manusia meningkatkan konsentrasi mangan di udara oleh aktivitas industri dan melalui pembakaran bahan bakar fosil. Manganese that derives from human sources can also enter surface water, groundwater and sewage water.
Mangan yang berasal dari sumber manusia juga dapat memasukkan air permukaan, air tanah dan air limbah. Through the application of manganese pesticides, manganese will enter soils. Melalui penerapan pestisida mangan, sehingga mangan akan memasuki tanah.
Pertambangan Mangan dapat mengancam kesehatan dengan berbagai cara:
· Debu, tumpahan bahan kimia/limbah, asap-asap yang beracun, logam-logam berat dan radiasi dapat meracuni penambang dan menyebabkan gangguan kesehatan sepanjang hidup mereka;
· Mengangkat peralatan berat dan bekerja dengan posisi tubuh yang janggal dapat menyebabkan luka-luka pada tangan, kaki, dan punggung;
· Penggunaan bor batu dan mesin-mesin vibrasi dapat
menyebabkan kerusakan pada urat syaraf serta peredaran darah, dan dapat
menimbulkan kehilangan rasa, kemudian jika ada infeksi yang sangat
berbahaya seperti gangrene, bisa mengakibatkan kematian;
· Bunyi yang keras dan konstan dari peralatan dapat menyebabkan masalah pendengaran, termasuk kehilangan pendengaran;
· Jam kerja yang lama di bawah tanah dengan cahaya yang redup dapat merusak penglihatan;
· Bekerja di kondisi yang panas terik tanpa
minum air yang cukup dapat menyebabkan stres kepanasan.Gejala-gejala
dari stres kepanasan berupa pusing-pusing, lemah, dan detak jantung yang
cepat, kehausan yang sangat, dan jatuh pingsan;
· Pencemaran air dan penggunaan sumberdaya air berlebihan dapat menyebabkan banyak masalah-masalah kesehatan
· Lahan dan tanah menjadi rusak, menyebabkan kesulitan pangan dan kelaparan.
· Pencemaran udara dari
pembangkit listrik yang dibangun dekat dengan daerah pertambangan dan
mobilisasi transportasi dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang serius
Dari beberapa fakta yang diperkirakan dapat terjadi ini, apakah pernah dipertimbangkan secara serius oleh Pemerintah Kabupaten TTU? Ataukah dengan alasan ekonomi kemudian semua dampak ini dibiarkan atau seolah tidak diketahui.
Karena
itu sejak awal, pemerintah kabupaten terutama dinas kesehatan mestinya
melakukan studi dan analisis kesehatan agar dapat dilihat dan
diminimalisir dampak kesehatan agar semua fakta itu tidak menimpah warga
Oekopa dan Oerinbesi bahkan masyarakat yang sedang gencar melakukan
pertambangan mangan di wilayahnya.
3.5. Dampak Sosial-Budaya
Setiap wilayah memiliki
sebuah norma dan budaya yang dianut dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks pengelolaan Sumber Daya Alam pun pasti setiap wilayah
memiliki konsep dasar pengelolaan atau yang dikenal dengan istilah
kearifan lokal (local wisdom).
Secara historis, kabupaten TTU dikenal dengan istilah salu miomaffo, kulun maubes yang
berarti bahwa Miomaffo, Insana dan Biboki memiliki kedekatan historis.
Ketiga kevetoran ini secara historis memiliki beberapa kesepakatan
sejarah dan kesamaan nilai dan budaya yang dianut bersama.
Dalam kaitan dengan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, mereka mengelolanya sesuia dengan zonasi
yang disepakati. Untuk kawasan-kawasan tertentu yang ingin dilindungi
maka dianggap keramat atau sakral yang tidak bisa diganggu. Misalnya Naesleu (hutan adat), Naes tala (hutan larangan) dan kemudian dikenal istilah oekanaf dan faot kanaf dan demi pengawasan kemudian dibagi seturut suku-suku yang ada.
Tidak heran di setiap
kampung di Timor pasti setiap suku memiliki faot kanaf dan oe kanaf
yang mana menjadi tempat pemujaan leluhur dan terintegrasinya suku
tersebut.
Begitu pun dengan desa
Oekopa, Suku Usatnesi Sonaf'kbat dan beberapa suku lainnya menganggap
kawasan itu sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan tidak boleh
diganggu oleh siapa pun.
Sistem kepemilikan lahan adalah sistem kolektif artinya
dimiliki bersama oleh suku tersebut. Tidak benar bila kemudian
dikampling oleh turunannya sebagai milik pribadi, karena setiap turunan
hanya diberi hak untuk mengelola.
Hanya saja sistem ini
kemudian tergerus oleh perkembangan zaman yang bernuansa individualistik
dan kapitalistik. Sehingga segala keputusan kemudian tunduk dengan
modal dan kepentingan pribadi.
Berpijak pada beberapa pemikiran ini, dari hasil pantauan kami menemukan, bahwa:
· Kehadiran
Pertambangan di desa Oekopa dan Oerinbesi menciptakan hubungan
kekeluargaan menjadi renggang atau kurang harmonis; Atau merusak
hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam masyarakat;
· Belum ada suatu rumusan kesepakatan yang baik dengan masyarakat (community attribute):
peran lembaga adat atau dewan pemangku adat, peran serta masyarakat
lokal tentang upaya pengelolaan dan perlindungan LH dalam usaha
pertambangan;
Padahal masyarakat di
Oekopa sejak dulu punya kearifan lokal untuk melindungi dan
menyelamatkan lingkungan hidup dengan melakukan zonasi pengelolaan.
Malah, menurut apao ume adat (penjaga rumah adat) suku usatnesi
sonaf'kbat mengatakan bahwa masyarkat dilarang menebang pohon dan
merusak wilayah itu tetapi pertambangan dibolehkan.
· Belum ada kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten TTU, pengusaha dengan masyarakat lokal Lembaga Adat/Pemangku Adat- Tobe);
Padahal
perintah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara jelas, bahwa Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan
bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari
instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan;
dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.
· Pertambangan
Mangan di Oekopa dan Oerinbesi membawa dampak konflik agraria, karena
sejak dulu sistem kepemilikan lahan itu adalah kolektif, tetapi kemudian
dengan pertambangan tanah dikapling sebagian warga.
3.6. Dampak Kebijakan dan Politik
Pertambangan
yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi adalah sebuah kebijakan yang
tentunya memiliki keterkaitan dengan keputusan politik. Untuk itu,
kebijakan ini perlu dicermati dalam kacamata politik yang lebih detail
agar kemudian tidak berimplikasi buruk bagi warga.
Pertambangan selalu menjadi arena perjudian dalam kanca perpolitikan. Sering sumber daya alam menjadi bargaining potition
dalam membuat kesepakatan-kesepakatan. Alasan peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) hanyalah sebuah rasionalisasi pembenaran atas
kerusakan lingkungan. Mengapa? Karena selama sistem politik yang
dijalankan itu mementingkan kekuasaan dan modal maka rakyat hanyalah
sebagai tumbal.
Dalam
kaitan dengan itu, kebijakan pertambangan yang digelontarkan pemerintah
Kabupaten TTU dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang
Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan
kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi perlu
dicermati dan dianalisa secara cermat.
Beberapa hal yang perlu dilihat sebagai evaluasi atas kinerja pemerintahan kabupaten TTU, diantaranya:
· Berasas
pada Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip
Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema
Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi.
Eksplorasi adalah
tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas
dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai
lingkungan sosial dan lingkungan hidup. sedangkan Tahap Produksi/Eksploitasi
adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan,
serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi
kelayakan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara, Psl. 1 (15 & 17).
Dari
dua terminologi atau tahapan ini kami menilai bahwa Ijin Usaha
Pertambangan dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin
Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada
PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi, tidak
sesuai dengan tahapan pertambangan karena kenyataan di lapangan masih
melakukan pencarian dengan pemboran untuk mengetahui lokasi dan sebaran
mangan di Oekopa.
Padahal
bila perijinan itu sejalan dengan kenyataan di lapangan maka sudah ada
konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan
dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan
hasil studi kelayakan.
· Kebijakan
ini dinilai tidak populis dan tidak sinkron dengan skala prioritas
program strategis yang sementara dilakoni dimana pertanian menjadi salah
satu program strategis. Apabila pemerintah kabupaten TTU serius
menjalankan RPJMD dan Visi-Misi sertaProgram Padat Karya Pangan (PKP),
maka Oekopa, Oerinbesi dan
beberapa wilayah sentral persawahan harus dijadikan sebagai pemasuk
pangan terutama beras agar tidak terus mengharapkan pasokan pangan dari
luar misalnya RASKIN (Beras Miskin)
Karena
itu semestinya Pemkab TTU perlu diidentifikasi wilayah-wilayah
potensial pertanian karena tanpa didorong pemerintah pun telah
berkontribusi sebagai pemasok pangan.
· Sejak
tahun 2010, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratirium pertambangan
tetapi kemudian hasil moratorium itu tidak dipublikasikan agar publik
mengetahui apa hasil evaluasi dan apa solusi dari permasalahan tersebut.
· Pertambangan
mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak berasaskan pada Kebijakan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal kawasan yang dijadikan sebagai
wilayah pertambangan tersebut sejak dulu warga dilarang untuk menebang
pohon atau merusakannya;
3.7. Dampak Ekonomi
Hampir
semua aktivitas pertambangan dilandaskan pada analisis ekonomi.
Argumentasi peningkatan ekonomi warga dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dipandang sebagai alasan mumpuni dari pertambangan. Dengan pertambangan
akan diserap tenaga kerja dan perubahan kualitas hidup masyarakat
sekitar wilayah pertambangan.
Argumentasi
yang sama pun ditemukan di Oekopa dan Oerinbesi bahwa dengan
pertambangan mangan akan menyerap tenaga kerja dan memberikan dampak
positif bagi kehidupan rakyat.
Padahal, secara ekonomi yang perlu dikaji lebih jauh adalah kegiatan Produksi, Distribusi dan Konsumsi.
Untuk
pertambangan Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati daya rusak tambang
pada ekonomi warga setempat, apakah terjadi penghancuran pada tata
produksi, distribusi dan konsumsi lokal.
◦ Rusaknya Tata Produksi
Masyarakat Oekopa dan
Oerinbesi sejak keberadaannya, persawahan menjadi sumber penghidupan
utama disamping peternakan. Apabila pemerintah berinisiasi untuk
meningkatkan pendapatan mereka mestinya yang dilakukan adalah kembali
menata dan memulihkan lokasi-lokasi penyanggah agar debit air semakin
memadai agar seluruh hamparan itu dimanfaatkan secara efektif untuk
persawahan. Malah yang harus dipikirkan adalah pascah panen apa yang
harus dilakukan petani dan bagaimana mengentaskan sistem ijon yang ramai
dilakoni petani.
Bila kawasan itu
dikonversi menjadi pertambangan, akan terjadi rusaknya tata produksi.
Karena operasi pertambangan membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan
cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Kehilangan sumber
produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat
Oekopa dan Oerinbesi yang selama ini menghasilkan beras (pangan) untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Bagi warga Oekopa dan Oerinbesi tanah dan persawahan adalah sumber penghidupan yang tidak bisa ditukarkan/digadaikan.
◦ Rusaknya tata konsumsi,
Lumpuhnya tata produksi
(persawahan dan peternakan) menjadikan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi
makin tergantung pada barang dan jasa dari luar. Untuk kebutuhan
sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi.
Uang tunai yang cendrung
dilihat besar, tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi dan bisa
ditukar dengan sejumlah uang untuk sementara waktu (instant) tetapi apa
pernah dipikirkan tentang rusaknya lahan dan tata konsumsi wargayang
selama ini mengalami kedaulatan pangan;
◦ Rusaknya tata distribusi,
Kegiatan distribusi
setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke dalam
komunitas termasuk beras (pangan) yang merupakan kebutuhan paling pokok.
Padahal, biasanya pada
awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa
pertambangan akan membawa kesejateraan dengan meningkatkan pendapatan
ekonomi masyarakat setempat.
Tetapi yang terjadi
warga Oekopa dan Oerinbesi menjadi kuli di negeri sendiri, bila ia
menjadi seorang petani, ia akan berdaulat dengan dirinya.
Tawaran
akan pertambangan perlu dikaji secara cermat dengan melihat fakta-takta
yang sudah ada. Bukan dengan pragramtis lalu pertambangan disetujui,
setelah itu baru diakhiri dengan kekesalan.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi:
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan dan direkomendasikan beberapa hal diantaranya:
· Pertambangan
Mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak layak dilakukan, segera dihentikan
karena sedikit memiliki manfaat positif bagi warga dibanding
dampak-dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan dan warga;
· Pulihkan
kawasan penyangga agar Oekopa dan Oerinbesi agar terus menjadi daerah
pemasok beras bagi Kabupaten TTU, begitupun dengan kawasan persawahan
lain agar TTU memiliki daerah pemasok beras;
· Perijinan
pertambangan itu dinilai cacat hukum, karena tidak sesuai dengan
prosedur tahapan pertambangan antara status perijinan dan kenyataan di
lapangan;
· Pemkab
TTU semestinya secara transparan dan akuntable membuat kajian dan
analisis agar pembangunan tidak bias program dari apa yang sudah
direncanakan;
KRONOLOGI
1. Perjalanan
pertambangan mangan di desa Oekopa, kami dari sonaf'kbat dan forum
masyarakat peduli kelestarian alam budaya sudah melakukan penolakan
pada:
2. Pada tanggal 21 Mei 2012 mengeluarkan surat pembatalan yang pertama yang ditunjukkan kepada pemerintah desa Oekopa
3. Pada
tanggal 6 Juni 2012 mendapatkan tanggapan dari pemerintah desa dan
mengundang khusus Suku Usatnesi Sonaf'kbat dengan perihal sosialisasi
dengar pendapat bersama camat Biboki Tanpah dan selanjutnya tidak
menemukan penyelesaian;
4. Pada
tanggal 25 Juni 2012 pemerintah desa mengeluarkan surat undangan dengan
perihal sosialisasi AMDAL akan tetapi sosialisasi tersebut tidak
terlaksana, karena dari pihak penolak langsung bertindak dengan tegas
menolak sosialisasi AMDAL. Dan pihak pemerintah desa dan tidak
melanjutkan janjinya sehingga pada saat itu, perusahaan langsung
meninggalkan lokasi desa Oekopa dengan janji tidak akan kembali lagi
untuk melakukan pertambangan ternyata;
5. Pada
tanggal 27 Juni 2012 dari Pihak Perusahaan mengingkari janji dan
kembali ke lokasi pertambangan di desa Oekopa dan esok harinya;
6. Pada
tanggal 28 Juni 2012 Perusahaan langsung mengadakan aktivitas dengan
cara mengukur lahan langsung membayar lahan dengan luas areal 25 are
sampai 1 ha dibayar dengan harga sebesar 2 juta rupiah. Pada tanggal
yang sama Kami dari Usatnesi dan Forum melakukan peneguran terhadap
investor pertambangan mangan akan tetapi tanggapan dari perusahaan
mengatakan bahwa kami mendapat kuasa dari pemerintah desa untuk terus
melakukan aktivitas selanjutnya walaupun ada penolakan
7. Pada
tanggal 1 Juli 2012 dari pihak perusahaan mencoba mengadakan Upacara
Adat di rumah adat Usatnesi sonaf'kbat dan ternyata kedatangan
perusahaan langsung ditindaki dengan tegas karena dinilai tidak sesuai
dengan prosedure budaya orang biboki
8. Pada
tanggal 14 Juli 2012 keterwakilan 3 orang dari perusahaan untuk
mengklarifikasi bersama Usatnes Sonaf'kbat dan janjinya dari ketiga
orang utusan perusahaan itu menyatakan esok harinya aktivitas perusahaan
akan dihentikan sementara sambil menunggu keputusan yang jelas akan
tetapi perusahaan terus mengingkari janjinya dengan aktivitasnya terus
berlanjut;
9. Pada
tanggal 19 Juli 2012 camat Biboki Tanpah mengambil data atau
pertimbangan bersama penolak dan data tersebut akan disampaikan pada
Bupati Timor Tengah Utara
10. Pada
tanggal 3 agustus 2012 ketua komisi C DPRD TTU bersama dua anggota
bertemu langsung dengan pihak penolak di kantor desa Oekopa dengan
tujuan menghimpun usulan penolak.
Tulisan ini dipersiapkan
sebagai bahan presentasi JPIC SVD Timor, Lakmas Cendana Wangi, WALHI NTT
dengan Komisi C, DPRD Kabupaten TTU, Rabu, 22 Agustus 2012 di Kantor
DPRD TTU
Aktifis lingkungan yang sedang
dipercaya menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT
dan menjadi kontak person Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Pernyataan Gabriel Manek, tokoh masyarakat desa Oekopa dan Ketua Forum Peduli Kelestarian Lingkungan, Alam dan Budaya Oekopa
Hasil Wawancara dengan beberapa masyarakat Oekopa dan Data Statistik Desa Oekopa yang diambil, Kamis 09 Agustus 2012
Fatukanaf (batu nama) dalam
budaya orang timor, batu itu memiliki nama seturut suku yang ada dan itu
dihormati dan mendapat perlindungan. Sedangkan Oekanaf (air pemali),
dalam budaya orang Timor air dihormati dan dilindungi oleh suku-suku
yang ada. Oekanaf ini menjadi tempat ritus bagi suku tertentu sebagai
bentuk pemujaan mereka terhadap leluhur
Hasil temuan lapangan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah NTT dan Lembaga Advokasi
Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi NTT, Kamis 09 Agustus 2012
Busao, tempat merayakan ritual
adat bagi suku Usatnesi, Lan faot naine mnune, tempat ritual adat untuk
menghubungkan Tamkesi dan Mandeu dan Fatu Tasu itu untuk Monemnasi,
Taekab, Amteme, Tasi
WALHI – (Walhana Lingkungan
Hidup Indonesia – Friends of The Earth Indonesia) adalah forum
organisasi non pemerintah dan kelompok pencinta alam terbesar di
Indonesia dengan 26 Perwakilan di 26 Propinsi dan 436 Anggota. Sedangkan
WALHI NTT didirikan 1996 yang kini memiliki 43 lembaga anggota tersebar
di seluruh NTT;
0 komentar:
Post a Comment