Posted by Admin RASUDO FM
Posted on 01:07:00
with No comments
|
Honaratus Pigai,
Pemuda Papua
(Foto Facebook) |
Kemarginalan Orang asli Papua.
Orang asli Papua benar-benar terpinggirkan dan dikuasai dari tanah
leluhurnya sendiri. Hal ini, dapat dilihat dari contoh, mama-mama
pedagang asli Papua yang hingga kini berjualan di pinggir jalan dan
emperan-emperan tokoh. Mereka menahan hantaman teriknya matahari dan
derasnya hujan dengan beralaskan lantai tanah dan beratap langit. Hanya
demi mencari nafkah hidup sehari-hari. Begitu banyak kebijakan dari
pemerintahan pusat hingga daerah pun belum dan bahkan tidak menyentuh
kehidupan pasar mama-mama Papua.
Untuk menanggapi hak hidup
mereka, Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), yang terdiri dari
organisasi-organisasi telah berupaya untuk menuntut hak hidup mama-mama
ini. SOLPAP berjuag ke pemerintah dan meminta pembangunan pasar yang
layak bagi mama-mama Papua, namun sampai saat ini pasar tersebut belum
jadi. Pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah Indonesia di Papua
(Gubernur, DPRP, Walikota Jayapura dan jajarannya) tak pernah menanggapi
usulan ini secara serius. Malah usaha yang dilakukan tim SOLPAP
seringkali mendapat tantangan. Karena antara pihak pemerintah sendiri
saling melempar dan mengaburkan. Janji-janji pun tidak terjawab dan
bahkan kadang-kala janji itu hanya bohong. Akibatnya, mama-mama Papua
masih berdagang di tempat yang tidak layak.
Sementara orang
BBMJ (Bugis, Buton, Makasar dan Jawa) mendapatkan tempat yang layak.
Mereka benar-benar menikmati fasilitas pemerintah Indonesia di Papua
dalam kerangka Otsus di Papua. Itu wajar, karena orang asli Papua bukan
orang Indonesia, sehingga fasilitas yang disiapkan Indonesia dinikmati
oleh rakyat Indonesia yang berada di negri Papua ini. Katanya para
pendatang dan Otsus memberdayakan orang asli Papua. Realitasnya tidak
seperti itu. Kaum non Papua dan Otsus menjadi penguasa yang menguasai
orang asli Papua dengan segala macam trik. (Socratez Sofyan Yoman, Pintu
Menuju Papua Merdeka: Pejanju=ian New York 15 Agustus 1962 dan PEPERA
1969 Hanya Sandiwara Politik Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB, 2000)
Dengan termarginalnya rakyat asli Papua di tanahnya sendiri adalah
tidak mendapatkan fasilitas yang layak, namun tetap semangat berjualan
di berjualan di tempat yang seadanya. Ini merupakan penindasan dan tidak
adanya keadilan juga pemerataan. Apakah ini kalah saing? (Yoman, 2000).
Bukan hanya dalam hal ekonomi saja, melainkan dalam segala segi
kehidupan; politik, kebudayaan, sosial, dan sebagainya. Orang asli Papua
mendapatkan tekanan mental maupun fisik yang dahsyat. Mereka
diperlakukan tidak adil dan benar. Sampai diperbodohi secara licik
dengan berbagai strategi yang dimaikan. Yang membuat orang asli Papua
“bimbang” dan bahkan tidak percaya kepada pemerintah yang selalu
manipulatif. Dalam hal ini pemerintah semacam “latihan lain main lain”.
Pemerintah sering berjanji akan berikan ini atau itu, tetapi tidak
terlaksana. Inilah janji yang membohongi dan janji-janji palsu yang
sering terdengar dari mulut pemerintah.
Contoh singkat janji
bohong yang dialami mama-mama Papua bisa disimak seperti berikut: Bapak
kita, yang mulia Barnabas Suebu, pernah berjanji dengan mulutnya sendiri
bahwa mulutnya adalah SK. Ia pernah berjanji akan membangun pasar
mama-mama tetapi sampai kini hal itu tidak pernah terjawab.
Sekarang juga mulai muncul masalah ketidak jelasan dana awal pembangunan
yang dijanjikan Pjs. Hatari sebesar 10 milyar. Dana tersebut oleh badan
keuangan provinsi pendahkan ke PU provinsi untuk pekerjaan pembangunan
pasar, sementara lokasi yang mau direncanakan untuk pembangunan itu
belum dibereskan secara tuntas. Sementara kantanya ada 15 milyar untuk
membereskan lokasi tersebut, padahal pada bulan juni lalu pemerintah
berjanji akan bereskan lokasi pembangunan tersebut. Maka di sini ada
sikap pembiaran dan terkesan pemerintah yang adalah orang asli Papua
sedang mempermainkan mama-mama Papua dengan janji-janji yang tidak
benar.
= Kesenjangan antara Penguasa dan Dikuasa
Kesenjangan ini dinilai sebagai potensi kebohongan dan ketidakadilan.
Ini merupakan ketimpangan yang cukup serius di Papua. Pembangunan di
Papua umumnya mengarah ke ketimpangan ini. Orang mulai membedakan antara
penguasa dan dikuasa. Sang penguasa mulai menari-nari di atas mimbar,
atas tingkahlaku yang konyol. Ia merasa berhasil bahwa bisa menguasa
manusia, alam dan kekayaan yang ada di Papua. Lebih sadis, sikap
otoriter dan membunuh bila ada yang menyeleweng dari padanya.
Misalnya dalam segi ekonomi, bila dibandingkan dengan negara lain,
Indonesia tergolong miskin. Pertumbuhan ekonomi telah melahirkan
kesenjangan sosial antara penguasa dan dikuasa. Kebijaksanaan
pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi belum berhasil
meningkatkan keberhasilan yang memadai. Sehingga seantero daerah di
negara kesatuan republik Indonesia mengalami upah buruk.
Di
Papua khususnya. Bagi orang lain, Papua dipandang kaya. Namun, yang kaya
bukan orang asli Papua, tapi alam Papua. Alam Papua memang terkenal
kaya, tapi alam Papua memperkaya orang non Papua yang ada di Papua.
Orang asli Papua sendiri miskin di atas kekayaannya. Antara penguasa dan
dikuasa memainkan peran, sehingga yang dikuasa mengalami nasip buruk
atas ulah penguasa yang tidak adil dan bijaksana. Orang asli Papua
mengalami situasi dikuasa oleh yang penguasa. Mereka bagaikan seorang
penonton atas pengurasan kekayaan alamnya. Mulut mereka ditutup
rapat-rapat. Mereja mau menurunkan penguasa dari mimbar kekayaan, tetapi
semuanya ditanggapi dengan ancaman.
Otonomi Khusus (Otsus)
misalnya, yang diberlakukan di Papua sejak 2001, diharapkan dapat
menjadi pedang yang memberantas kesenjangan ini dan dapat menyamakan
antara penguasa dan dikuasa. Namun tidak mencapai harapan itu. Malah
dengan adanya Otsus menimbulkan kesenjangan yang lebih besar. Sehingga
penguasa tetap menari terus-menerus di mimbar kekayaan dan yang dikuasa
meratap atas kekayaan yang semakin hari hilang dibawa.
Kebanyakan orang asli Papua yang menyuarakan bahwa Otus gagal, karena
tidak menjawab kebutuhan rakyat yang dikuasa adalah pernyataan yang
sesungguhnya benar. Atas realitas di Papua pernyataan ini tidak dapat
dibantah, oleh seribu satu kebohongan. Papua sedang berada dalam
penguasaan raja negara. Semena-mena ia mengatur segalanya, sampai
melupakan yang tidak seharusnya dilupakan. UP4B sekalipun hanya kebijkan
semu dan hanya mau mendatangkan malapetaka.
Ketika orang asli
Papua menyampaikan pendapatnya atas nasib hidupnya. Tidak ditanggapi
serius. Pemerintah menganggap bahwa yang dikuasa tidak perlu mengangkat
suara banyak. Yang mengangkat suara harus ditindas dan dianiaya. Karena
yang dikuasa tidak dapat mengatur penguasa.
Salah seorang teman
(JB) pernah mengatakan dalam diskusi tentang realitas kehidupan
mama-mama Papua, bahwa “orang kaya menjadi tetap kaya dan orang miskin
tetap menjadi miskin”. Rasanya ungkapan ini benar. Realitas Papua sedang
menuju ke arah itu. Orang yang kaya menjadi penguasa, sedangkan orang
miskin menjadi yang dikuasa. Sehingga orang kaya tidak peduli lagi
dengan orang miskin. Dibiarkan seorang miskin merana mencari kebutuhan
tiap harinya, dengan mengumpulkan barang-barang bekas (botol aqua,
fanta, cocacola, besi tua dan sebagainya). Apakah ini sikap adil dan
memanusiakan manusia? Atau melihat manusia sebagai “sampah/binatang”?
= Perlu Kesadaran
Antara penguasa dan dikuasa adalah dua subjek, yang sama-sama manusia.
Tidak satu pun yang melebihi yang lain. Keduanya memiliki martabat yang
sama yakni manusia. penguasa juga manusia dan yang dikuasa pun manusia.
Ini sebenarnya harus menjadi modal dasar untuk saling membangun dan
melengkapi kekurangan antar sesama manusia.
Label penguasa dan
dikuasa seharusnya dihapuskan dan harus saling melengkapi sebagai
manusia. maka pemerintah seharusnya mendengar dan sadar bahwa rakyat
sedang membutuhkan sesuatu sehingga harus melengkapi kebutuhan umum yang
dibutuhkan. Bukan membohongi dengan berbagai macam tindakan dan
ungkapan yang berujung pada merugikan yang lain. Seharusnya pemerintah
yang adalah orang asli Papua sendiri harus sadar dan mendukung kebutuhan
umum dari mama-mama Papua ini. pasar yang diminta bukan untuk pribadi
dan lembaga yang sedang berjuang, melainkan demi kepentingan dan
kehidupan mama-mama pasar.
Mungkin saja pemerintah masih
meragukan untuk membangun pasar, dengan pertimbangan mama-mama Papua
tidak akan merawat gedung dengan baik. Tetapi kita bisa mengambil contoh
bahwa ketika mama-mama Papua sehabis jualan di penggir jalan mereka
selalu membersihkan dan menata kembali tempat jualan mereka sebelum
pulang ke rumah. Maka bagi saya ini bukan alasan yang mendasar. Atau kah
mungkin ada alasan lain yang membuat pemerintah tidak ingin membangun
pasar, padahal perjuangan mama-mama Papua untuk meminta pembangunan
pasar sudah sejak 2004 lalu. Alasan-alasan yang membuat pemikiran
pemerintah terganjal ini harus dihapuskan dari benak dan menyadari bahwa
mama-mama Papua adalah mama-mama kita bersama. Merekalah yang
melahirkan kita sehingga bisa menduduki jabatan-jabatan tinggi seperti
demikian, maka seharusnya disadari oleh kita semua sebagai manusia yang
terlahir dari mama-mama.
Penulis: Honaratus Pigai Adalah mahasiswa STFT ‘Fajar Timur’ Abepura-Papua.
Sumber: Facebook
0 komentar:
Post a Comment