Undang Pelapor HAM PBB atas Kekerasan yang terus Meningkat di Papua
Dengan tetap membiarkan Papua tertutup, pemerintah
Indonesia memelihara kebiasaan kebal-hukum di antara aparat keamanan dan
kemarahan di antara warga Papua. Perlu mengizinkan media dan masyarakat
sipil membuka informasi atas kondisi daerah ini.
Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch
(New York) – Pemerintah Indonesia harus
mengizinkan akses media dan kelompok masyarakat sipil internasional ke
Papua guna melaporkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang
sedikitnya telah menewaskan 14 orang sejak Mei lalu, demikian Human
Rights Watch pada June 14, 2012.
Human Rights Watch mendesak Indonesia menerima seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses dan mengundang pelapor HAM PBB ke provinsi ini.
“Dengan tetap membiarkan Papua tertutup, pemerintah Indonesia memelihara kebiasaan kebal-hukum di antara aparat keamanan dan kemarahan di antara warga Papua,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch. “Perlu mengizinkan media dan masyarakat sipil membuka informasi atas kondisi daerah ini.”
Human Rights Watch berpendapat pemerintah Indonesia telah gagal memegang kendali atas mereka yang bertanggung-jawab terhadap kekerasan terakhir di Papua. Pada 6 Juni 2012, sekitar 10 orang mengeroyok dan menikam seorang tentara Indonesia sampai tewas dan seorang lagi luka parah setelah sepeda motor, yang dikendarai tentara tersebut, menabrak seorang anak Papua di Distrik Honai Lama, Wamena, sebuah kota di Pegunungan Tengah Papua.
Balasannya, ratusan prajurit dari Batalyon 756/Wamena menyisir Honai Lama dan kampung-kampung tetangga di Wamena, memukul dan menikam penduduk serta membakar rumah. Seorang pegawai negeri Papua, Elianus Yoman, dilaporkan tewas karena luka tusukan. Tujuh warga Papua lain terluka dan dirawat di rumahsakit. Serdadu-serdadu ini membakar sejumlah bangunan dan kendaraan motor, mendorong penduduk desa lari ke hutan terdekat.
Jurubicara militer Indonesia di Jayapura, ibukota provinsi Papua, mulanya membantah kejadian bahwa ada tentara melukai warga Papua. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui pasukan keamanan Indonesia bertindak berlebihan dalam menanggapi peristiwa di Honai Lama.
Ada beberapa laporan insiden kekerasan terakhir di ibukota Papua. Sejak 23 Mei, “orang tak dikenal” membunuh beberapa warga pendatang. Seorang turis Jerman ditembak pada 29 Mei dan menjalani perawatan di Singapura. Pada 4 Juni, kepolisian Indonesia secara paksa membubarkan demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi mahasiswa radikal, dimana buntutna tiga mahasiswa terbunuh. Anggota KNPB juga dilaporkan ditembak hingga tewas pada 1 Mei.
Tanggapan pemerintah pusat atas kekerasan yang meningkat di Papua mengecewakan, demikian Human Rights Watch. Yudhoyono berkata kepada para media pada 12 Juni, “Aksi [serangan di Papua] dapat dianggap kecil, dengan sejumlah korban. … Mereka terlalu [kecil] jika dibandingkan dengan kekerasan di Timur Tengah, [di mana] kita dapat menyaksikan, setiap hari, serangan dan kekerasan dengan korban jiwa begitu banyak.”
“Presiden Yudhoyono harus berhenti bikin alasan atas kegagalan pemerintahannya menyelidiki kekerasan,” kata Pearson. “Mengizinkan akses penuh dan terbuka ke provinsi ini bagi pelapor HAM PBB, pers, dan pengawas lain dapat mengatasi rumor dan misinformasi yang sering meletupkan pelanggaran.”
Pemerintah Indonesia dengan ketat membatasi akses ke provinsi paling timur ini, Papua dan Papua Barat. Indonesia mengirim pasukan ke Papua sejak 1963 guna melawan gerakan kemerdekaan yang terus membara. Orang asing diharuskan memegang surat izin khusus untuk datang ke Papua.Surat izin macam ini secara rutin kerap ditolak atau diproses dengan lambat di Jakarta, menghambat upaya wartawan internasional dan organisasi masyarakat sipil melaporkan kejadian-kejadian terkini.
Selama Universal Periodic Review(Tinjauan Periodik Universal) atas Indonesia di Dewan HAM PBB, 23 Mei, negara Perancis minta Indonesia memberi akses bebas kepada masyarakat sipil dan jurnalis ke Papua dan Papua Barat. Pemerintah Britania Raya mencatat “peningkatan kekerasan” di Papua dan “mendukung Indonesia untuk mengatasi kekerasan terhadap keyakinan minoritas serta menerima permohonon kunjungan Pelapor Khusus.” Negara Austria, Chile, Maldives, dan Korea Selatan mendesak Indonesia agar menerima permintaan pelapor HAM PBB dan badan-badan prosedur khusus PBB. Meksiko secara khusus minta pemerintah Indonesia mengundanng pelapor khusus PBB ke Papua.
Sebelumnya, Pelapor Khusus PBB untuk pembunuhan sewenang-wenang, Philip Alston, membuat permohonan berkunjung ke Indonesia pada 2004 dan berikutnya 2008, yang tak pernah sekali pun direspon.
“Beberapa negara menyatakan keprihatinan di Dewan HAM PBB tentang kegagalan Indonesia mengundang pelapor PBB ke negara itu,” kata Pearson. “Bila ingin dianggap serius di Geneva, pemerintah Indonesia seharusnya tidak terus-menerus mengabaikan permohonan ini.”
Human Rights Watch mendesak Indonesia menerima seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses dan mengundang pelapor HAM PBB ke provinsi ini.
“Dengan tetap membiarkan Papua tertutup, pemerintah Indonesia memelihara kebiasaan kebal-hukum di antara aparat keamanan dan kemarahan di antara warga Papua,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch. “Perlu mengizinkan media dan masyarakat sipil membuka informasi atas kondisi daerah ini.”
Human Rights Watch berpendapat pemerintah Indonesia telah gagal memegang kendali atas mereka yang bertanggung-jawab terhadap kekerasan terakhir di Papua. Pada 6 Juni 2012, sekitar 10 orang mengeroyok dan menikam seorang tentara Indonesia sampai tewas dan seorang lagi luka parah setelah sepeda motor, yang dikendarai tentara tersebut, menabrak seorang anak Papua di Distrik Honai Lama, Wamena, sebuah kota di Pegunungan Tengah Papua.
Balasannya, ratusan prajurit dari Batalyon 756/Wamena menyisir Honai Lama dan kampung-kampung tetangga di Wamena, memukul dan menikam penduduk serta membakar rumah. Seorang pegawai negeri Papua, Elianus Yoman, dilaporkan tewas karena luka tusukan. Tujuh warga Papua lain terluka dan dirawat di rumahsakit. Serdadu-serdadu ini membakar sejumlah bangunan dan kendaraan motor, mendorong penduduk desa lari ke hutan terdekat.
Jurubicara militer Indonesia di Jayapura, ibukota provinsi Papua, mulanya membantah kejadian bahwa ada tentara melukai warga Papua. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui pasukan keamanan Indonesia bertindak berlebihan dalam menanggapi peristiwa di Honai Lama.
Ada beberapa laporan insiden kekerasan terakhir di ibukota Papua. Sejak 23 Mei, “orang tak dikenal” membunuh beberapa warga pendatang. Seorang turis Jerman ditembak pada 29 Mei dan menjalani perawatan di Singapura. Pada 4 Juni, kepolisian Indonesia secara paksa membubarkan demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi mahasiswa radikal, dimana buntutna tiga mahasiswa terbunuh. Anggota KNPB juga dilaporkan ditembak hingga tewas pada 1 Mei.
Tanggapan pemerintah pusat atas kekerasan yang meningkat di Papua mengecewakan, demikian Human Rights Watch. Yudhoyono berkata kepada para media pada 12 Juni, “Aksi [serangan di Papua] dapat dianggap kecil, dengan sejumlah korban. … Mereka terlalu [kecil] jika dibandingkan dengan kekerasan di Timur Tengah, [di mana] kita dapat menyaksikan, setiap hari, serangan dan kekerasan dengan korban jiwa begitu banyak.”
“Presiden Yudhoyono harus berhenti bikin alasan atas kegagalan pemerintahannya menyelidiki kekerasan,” kata Pearson. “Mengizinkan akses penuh dan terbuka ke provinsi ini bagi pelapor HAM PBB, pers, dan pengawas lain dapat mengatasi rumor dan misinformasi yang sering meletupkan pelanggaran.”
Pemerintah Indonesia dengan ketat membatasi akses ke provinsi paling timur ini, Papua dan Papua Barat. Indonesia mengirim pasukan ke Papua sejak 1963 guna melawan gerakan kemerdekaan yang terus membara. Orang asing diharuskan memegang surat izin khusus untuk datang ke Papua.Surat izin macam ini secara rutin kerap ditolak atau diproses dengan lambat di Jakarta, menghambat upaya wartawan internasional dan organisasi masyarakat sipil melaporkan kejadian-kejadian terkini.
Selama Universal Periodic Review(Tinjauan Periodik Universal) atas Indonesia di Dewan HAM PBB, 23 Mei, negara Perancis minta Indonesia memberi akses bebas kepada masyarakat sipil dan jurnalis ke Papua dan Papua Barat. Pemerintah Britania Raya mencatat “peningkatan kekerasan” di Papua dan “mendukung Indonesia untuk mengatasi kekerasan terhadap keyakinan minoritas serta menerima permohonon kunjungan Pelapor Khusus.” Negara Austria, Chile, Maldives, dan Korea Selatan mendesak Indonesia agar menerima permintaan pelapor HAM PBB dan badan-badan prosedur khusus PBB. Meksiko secara khusus minta pemerintah Indonesia mengundanng pelapor khusus PBB ke Papua.
Sebelumnya, Pelapor Khusus PBB untuk pembunuhan sewenang-wenang, Philip Alston, membuat permohonan berkunjung ke Indonesia pada 2004 dan berikutnya 2008, yang tak pernah sekali pun direspon.
“Beberapa negara menyatakan keprihatinan di Dewan HAM PBB tentang kegagalan Indonesia mengundang pelapor PBB ke negara itu,” kata Pearson. “Bila ingin dianggap serius di Geneva, pemerintah Indonesia seharusnya tidak terus-menerus mengabaikan permohonan ini.”
0 komentar:
Post a Comment