SETELAH sekian lama larut
dalam persoalan keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan, kini baru
ada kemauan dari pemerintah untuk memberikan bantuan pendidikan tinggi
bagi masyarakat Papua.
Melalui Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (Dikti), sebanyak 569 putra/putri asal Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah diterima di 32 perguruan tinggi negeri (PTN) untuk tahun ajaran 2012/2013. Mereka akan mengenyam pendidikan tinggi di 40 program pendidikan strata 1 (S1), seperti Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Teknik Sipil, Teknik Mesin, Statistika, Pertanian, Peternakan, Akuntansi, Arsitektur Lanskap, dan lain-lain (Kompas.com/24/10/12).
Program afirmasi ini diberikan kepada siswa SMA/SMK/MA/MAK dan sederajat dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk memperoleh pendidikan tinggi, tanpa melalui proses SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri). Mereka hanya mengikuti seleksi khusus terbatas berdasarkan nilai rapor dan ijazah, persyaratan administrasi, dan Tes Potensi Akademik (TPA).
Serangkaian tes tersebut sifatnya bukan untuk menggugurkan, namun untuk mengukur potensi dasar dan menentukan, apakah calon mahasiswa tersebut akan langsung diikutkan dalam perkuliahan atau harus melalui pra-universitas (matrikulasi) selama satu sampai dua semester terlebih dahulu sebagai bentuk adaptasi.
Kita tentu sadar, bahwa disparitas pendidikan di Papua dengan daerah-daerah lain (Jawa terutama) masih sangat lebar, maka logis apabila sistem penerimaan mahasiswa asal Papua tersebut tidak melalui jalur SNMPTN ataupun jalur mandiri kampus, namun melalui jalur khusus yang diputuskan oleh Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI).
Keistimewaan lain dari program afirmasi ini adalah adanya bantuan Beasiswa Afirmasi Dikti bagi Putra-Putri Asli Papua
yang ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), serta Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Kebijakan ini tentu menjadi kabar baik bagi warga Papua dan bagi siapa pun yang prihatin terhadap kondisi Papua selama ini. Betapa tidak, jika kita cermati, jarang sekali pemuda-pemuda asli Papua mendapatkan pendidikan berkualitas di PTN-PTN favorit seperti UI, ITB, UGM, IPB dan lain-lain, apalagi masuk program unggulan, seperti Fakultas Kedokteran. Maka itu, kebijakan ini diharapkan akan berimplikasi positif untuk kemajuan Papua ke depannya.
Pada kenyataannya, setelah sekian waktu berjalan, usaha pengintegrasian Papua tersebut ternyata tidak diikuti dengan usaha pembanguan yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Buktinya, wajah Papua hari ini masih belum berubah, bahkan kian kelam dan babak-belur oleh masalah yang kian kompleks. Tidak pernah luput dari pemberitaan mengenai gerakan separatis yang berkecamuk menuntut Papua merdeka, perang antarsuku yang tak kunjung usai, angka HIV/AIDS yang kian meningkat, malaria, masalah gizi buruk, tingginya angka kematian ibu dan bayi, dominasi PT Freeport Indonesia yang kian mencederai rasa keadilan dan kearifan lokal, dan sebagainya.
Meski Otonomi Khusus Papua telah berjalan selama 11 tahun, belum juga ada tanda-tanda ke arah kemajuan yang signifikan. Hal ini berdasarkan data BPS tahun 2010, bawa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua masih berada pada urutan terendah di Indonesia, yaitu sebesar 64,94. Ironisnya, urutan tersebut tidak berubah dari waktu ke waktu.
Kegagalan pembangunan di Papua tersebut patut diduga salah satunya karena kelalaian negara dalam memfasilitasi dan menyelenggarakan pendidikan yang layak dan berkualitas.
Maka itu, pemerintah sudah selayaknya menerapkan kebijakan diskriminasi positif untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Papua dari daerah-daerah lain.
Diskriminasi positif melalui program afirmasi ini merupakan model pendekatan kebijakan baru yang dapat juga diterapkan untuk percepatan pendidikan bagi daerah-daerah lain, terutama yang masuk dalam kategori daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Prinsipnya di sini adalah, bahwa untuk mengubah sebuah keadaan dari keterpurukan, haruslah dimulai melalui penguasaan ilmu pengetahuan yang memadai.
Pengetahuan tersebut tentu saja diperoleh dari proses pendidikan. Melalui proses pendidikan, akan terbentuk kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional. Pendidikan di sini menjadi kata kunci yang utama serta langkah awal untuk memajukan Papua. Karena, hanya melalui pendidikan yang berkualitaslah, seseorang atau suatu masyarakat akan mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, menjawab dan mengatasi tantangan yang ada, melakukan inovasi-inovasi baru, serta akan lebih mengerti hak dan kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga negara.
Akhirnya, akses pendidikan tinggi melalui program afirmasi yang diberikan pemerintah kepada putra/putri asli Papua ini sangat tepat, karena merekalah yang telah melihat, mengalami dan merasakan keterpurukan Papua secara langsung. Di pundak merekalah ke depannya, tumpuan harapan perubahan Papua itu disematkan. (24)
—Gery Sulaksono SSos, alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.(/)
Sumber: suaramerdeka.com
Melalui Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (Dikti), sebanyak 569 putra/putri asal Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah diterima di 32 perguruan tinggi negeri (PTN) untuk tahun ajaran 2012/2013. Mereka akan mengenyam pendidikan tinggi di 40 program pendidikan strata 1 (S1), seperti Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Teknik Sipil, Teknik Mesin, Statistika, Pertanian, Peternakan, Akuntansi, Arsitektur Lanskap, dan lain-lain (Kompas.com/24/10/12).
Program afirmasi ini diberikan kepada siswa SMA/SMK/MA/MAK dan sederajat dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk memperoleh pendidikan tinggi, tanpa melalui proses SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri). Mereka hanya mengikuti seleksi khusus terbatas berdasarkan nilai rapor dan ijazah, persyaratan administrasi, dan Tes Potensi Akademik (TPA).
Serangkaian tes tersebut sifatnya bukan untuk menggugurkan, namun untuk mengukur potensi dasar dan menentukan, apakah calon mahasiswa tersebut akan langsung diikutkan dalam perkuliahan atau harus melalui pra-universitas (matrikulasi) selama satu sampai dua semester terlebih dahulu sebagai bentuk adaptasi.
Kita tentu sadar, bahwa disparitas pendidikan di Papua dengan daerah-daerah lain (Jawa terutama) masih sangat lebar, maka logis apabila sistem penerimaan mahasiswa asal Papua tersebut tidak melalui jalur SNMPTN ataupun jalur mandiri kampus, namun melalui jalur khusus yang diputuskan oleh Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI).
Keistimewaan lain dari program afirmasi ini adalah adanya bantuan Beasiswa Afirmasi Dikti bagi Putra-Putri Asli Papua
yang ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), serta Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Kebijakan ini tentu menjadi kabar baik bagi warga Papua dan bagi siapa pun yang prihatin terhadap kondisi Papua selama ini. Betapa tidak, jika kita cermati, jarang sekali pemuda-pemuda asli Papua mendapatkan pendidikan berkualitas di PTN-PTN favorit seperti UI, ITB, UGM, IPB dan lain-lain, apalagi masuk program unggulan, seperti Fakultas Kedokteran. Maka itu, kebijakan ini diharapkan akan berimplikasi positif untuk kemajuan Papua ke depannya.
Diskriminasi Positif
Kita perlu mengingat, bahwa usaha penggabungan Papua ke dalam wilayah
NKRI tidak diraih dengan cara yang mudah, namun dicapai melalui usaha
yang panjang dan penuh pengorbanan. Mulai dari Konferensi Meja Bundar
(1949), Operasi Trikora (1961), Persetujuan New York (1962) hingga
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Melalui Pepera inilah,
akhirnya Papua bergabung ke dalam pangkuan NKRI dan menjadi provinsi
ke-26 yang tercatat dalam Resolusi PBB Nomor 2505 tanggal 19 November
1969 tentang integrasi Papua dalam NKRI.Pada kenyataannya, setelah sekian waktu berjalan, usaha pengintegrasian Papua tersebut ternyata tidak diikuti dengan usaha pembanguan yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Buktinya, wajah Papua hari ini masih belum berubah, bahkan kian kelam dan babak-belur oleh masalah yang kian kompleks. Tidak pernah luput dari pemberitaan mengenai gerakan separatis yang berkecamuk menuntut Papua merdeka, perang antarsuku yang tak kunjung usai, angka HIV/AIDS yang kian meningkat, malaria, masalah gizi buruk, tingginya angka kematian ibu dan bayi, dominasi PT Freeport Indonesia yang kian mencederai rasa keadilan dan kearifan lokal, dan sebagainya.
Meski Otonomi Khusus Papua telah berjalan selama 11 tahun, belum juga ada tanda-tanda ke arah kemajuan yang signifikan. Hal ini berdasarkan data BPS tahun 2010, bawa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua masih berada pada urutan terendah di Indonesia, yaitu sebesar 64,94. Ironisnya, urutan tersebut tidak berubah dari waktu ke waktu.
Kegagalan pembangunan di Papua tersebut patut diduga salah satunya karena kelalaian negara dalam memfasilitasi dan menyelenggarakan pendidikan yang layak dan berkualitas.
Maka itu, pemerintah sudah selayaknya menerapkan kebijakan diskriminasi positif untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Papua dari daerah-daerah lain.
Diskriminasi positif melalui program afirmasi ini merupakan model pendekatan kebijakan baru yang dapat juga diterapkan untuk percepatan pendidikan bagi daerah-daerah lain, terutama yang masuk dalam kategori daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Prinsipnya di sini adalah, bahwa untuk mengubah sebuah keadaan dari keterpurukan, haruslah dimulai melalui penguasaan ilmu pengetahuan yang memadai.
Pengetahuan tersebut tentu saja diperoleh dari proses pendidikan. Melalui proses pendidikan, akan terbentuk kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional. Pendidikan di sini menjadi kata kunci yang utama serta langkah awal untuk memajukan Papua. Karena, hanya melalui pendidikan yang berkualitaslah, seseorang atau suatu masyarakat akan mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, menjawab dan mengatasi tantangan yang ada, melakukan inovasi-inovasi baru, serta akan lebih mengerti hak dan kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga negara.
Akhirnya, akses pendidikan tinggi melalui program afirmasi yang diberikan pemerintah kepada putra/putri asli Papua ini sangat tepat, karena merekalah yang telah melihat, mengalami dan merasakan keterpurukan Papua secara langsung. Di pundak merekalah ke depannya, tumpuan harapan perubahan Papua itu disematkan. (24)
—Gery Sulaksono SSos, alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.(/)
Sumber: suaramerdeka.com
0 komentar:
Post a Comment