Foto, tpn: Potret Dua Siswi SD/Dok. Google/ |
Sore itu Neli Nawipa mengisahkan pengalamannya sebagai guru di daerah terpencil, di Kabupaten Jayawijaya. Saya sangat termotivasi dengan suasana ini, karena dengan demikian, setiap pelajaran yang saya berikan, selalu diikuti denagn riang gembira. Ketika melihat anak-anak mulai jenuh di dalam kelas, saya ajak mereka keluar ruangan dan menggelar proses belajar-mengajar di halaman, diselingi permainan yang menyenangkan. Saya memanfaatkan apa saja yang ada di pekarangan sekolah untuk bahan simulasi. Neli mengawali ceritanya sambil membayangkan situasi di tempatnya bertugas.
Sebagai seorang
guru, saya sudah lama mendambahkan penyegaran, terutama berkaitan dengan
materi-materi pembelajaran dan metodologinya. Penyegaran ini saya
butuhkan karena saya bertugas di sebuah wilayah yang sangat jauh dari
pusat informasi. Terpencil.
Ternyata, mengusai
metode pembelajaran yang baik itu sangat menyenangkan, bahkan suasana
bisa menjadi sangat komunikatif antara saya sebagai guru dengan
anak-anak. Bahkan, anak-anak sangat rindu akan kehadiran saya, sehingga
ketika saya tidak hadir ke kelas untuk mengajar mereka. Pada keesokan
harinya, mereka selalu bertanya, “Ibu, kenapa ibu guru tra masuk sekolah
kemarin?”
Wamena, Kabupaten
Jayawijaya, itulah tempat aku mengabdi, tepatnya di SD Negeri Wamena.
Sebelum mengabdi di situ, saya ditempatkan di SD Inpres Yanengga. Kini
20 tahun sudah saya meniti karier sebagai guru.
Saya terpanggil
menjadi guru karena terinspirasi oleh ayah saya yang juga seorang guru
di Wamena. Ayah bagi saya adalah sang guru yang berwibabwa. Apa yang
diajarkan, selalu didengar oleh anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil,
saya terinspirasi dengan ayah dan bercita-cita menjadi guru. Saya ingin
mendidik anak-anak Papua nun jauh di pegunungan, membimbing dan
membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang siap di kemudian hari
untuk menghadapi masa depan penuh tantangan.
Jayawijaya adalah
sebuah kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sangat terisolir secara
geografis. Untuk menjangkau kabupaten tersebut, saya harus menumpang
pesawat dari Jayapura. Namun saya tidak gentar karena saya juga berasal
dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya Paniai. Karena itu,
dengan senang hati saya menerima tugas sebagai guru di Jayawijaya.
Seperti kebanyakan
guru di pedalaman, tantangan memang luar biasa berat. Tidak hanya soal
jarak, tetapi juga mentalitas masyarakat untuk menyekolahkan anak.
Gedung sekolah, ruang kelas, dan buku-buku pelajaran masih sangat
terbatas.
Setiap hari, selama
dua jam saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan kendaraan roda
empat dari rumah menuju tempat tugas saya di SD INPRES Yanengga,
Disktrik Bolakme. Bila terlampau sore, tidak ada kendaraan yang menuju
Yanengga, semuanya parkir menunggu penumpang di Wosi, saya harus
berjalan kaki 10 kilometer menuju Wosi untuk pulang ke Wamena.
Dari begitu banyak
persoalan yang dihadapi, saya terus berusaha mencari metode paling ampuh
untuk membuat murid-murid betah bersekolah. Saya juga terus menyadarkan
para orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anak mereka, terutama anak
perempuan.
Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.
Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.
Ada penggalan kisah
yang jika saya ingat, selalu membuatku terharu dan meneteskan air mata.
Kisah tentang seorang anak perempuan bernama Marina Wandikbo, murid
saya yang cacat pada salah satu kakinya. Namun, saat baru naik kelas
V21SD, orangtuanya menikahkan anak itu. Kegetiran hidup pun mulai
menghampiri gadis putus sekolah itu, ketika sang suami meninggalkannya.
Penderitaan Marina
kian memuncak. Sudah cacat fisik, menanggung status janda pula. Saat
mendengar ada guru perempuan yang baru datang dari kota untuk mengajar
di kampungnya, ia dengan bersusah payah berenang menyeberangi Sungai
Baliem untuk bertemu saya. “Ibu saya senang ada guru perempuan, di sini
semua guru laki-laki, saya mau sekolah,” begitu pinta Marina pada saya.
“Kenapa kau berhenti sekolah?”
“Orang tua kasih kawin saya, tapi sa punya suami kasih tinggal saya”
Saya katakan
padanya, “Perempuan normal saja ditinggalkan para suami, apalagi kamu
perempuan cacat. Kau masuk kembali ke sekolah. Kau pasti bisa dan akan
menjadi orang yang berhasil!” Perempuan itu pun kembali ke bangku
pendidikan SD sampai tamat.
Belakangan ini,
hati saya berbunga-bunga, karena pada musim testing masuk Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) tahun ini di lingkup Kabupaten Jayawijaya , Marina
lulus sebagai guru Bahasa Indonesia. Ketika ia datang menyampaikan warta
kelulusannya, ia mengatakan dengan jujur tentang kekurangannya.
“Ibu dengan kondisi
kaki saya yang cacat ini, saya tidak kuat berdiri di depan kelas.” Saya
terharu. Saya langsung bergegas ke Kepala Dinas Pendidikan Jayawijaya,
memohon agar Marina tidak ditugaskan sebagai guru, karena kondisi
fisiknya. Kepala dinas memahami dan memperbolehkan Marina bekerja di
Dinas Pendidikan.
Kini Marina bangga menjadi CPNS. Sebuah perjuangan sukses telah ia raih setelah bangkit dari kejatuhannya.
Apa yang saya
lakukan mungkin dilihat sebagai tindakan sepele, tetapi dampaknya akan
jauh ke depan. Perempuan itu akan bercerita bahwa ia pernah jatuh
terjerembab dalam kungkungan adat istiadat, namun berhasil bangkit untuk
meniti masa depannya sebagai perempuan karier. Apalagi ia perempuan
cacat.
Saya merasa, Marina
hanyalah satu dari begitu banyak gadis-gadis di seluruh Tanah Papua
yang bernasib sama. Ada yang mirip sama sekali tapi dalam bentuk dan
jubah yang berbeda. Namun, yang penting, harus ada keberanian untuk
mendobrak kemapanan budaya, salah pandang dalam masyarakat dan kebijakan
yang kurang memihak perempuan dan anak-anak, agar lebih banyak lagi
“Marina-Marina” lain yang terselamatkan dari tindakan mengawinkan mereka
saat masih gadis remaja, memperkerjakan mereka di ladang atau bentuk
eksploitasi lain, tanpa memperhatikan pendidikan sebagai bekal hidup di
kemudian hari.
Saya mengaku,
ketika menulis surat ini, saya terus meneteskan air mata, mengenang
perjuangan Marina dan keberanian saya mendobrak tradisi. Semoga hikmah
dari cerita mengenai Marina ini bisa memotivasi perempuan-perempuan
Papua lainnya untuk sekolah, maju dan berkembang seperti laki-laki.
Kedekatan saya
dengan Marina, setipis kulit bawang, sampai-sampai dia memperlakukan
saya tidak hanya sebagai guru, tetapi juga kawan sejati, teman curhat,
sekaligus orangtua. “Saya yakin, jika dengan metode pembelajaran yang
baik, akan lebih banyak perempuan Papua yang betah di sekolah. Dan
dengan bekal ilmu dan pengetahuan, mereka bisa merajut hari esok dengan
pasti.” Neli mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
Oleh Andy Tagihuma di Facebook Ibiroma Wamla
Oleh Andy Tagihuma di Facebook Ibiroma Wamla
Via: TPN
0 komentar:
Post a Comment