“Masyarakat asli Papua hanya bisa protes
dan kemudian diam,” kata Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua Sayid
Fadhal Alhamid saat membuka pembicaraan terkait kondisi hutan yang mulai
rusak akibat maraknya kegiatan perusahaan pertambangan dan perkebunan.
Dia bilang, keterbukaan investasi sangat penting untuk meningkatkan
pembangunan dan perekonomian masyarakat khususnya daerah yang kaya akan
sumber daya alam.
Provinsi Papua merupakan sebuah daerah
yang memiliki sumber daya alam melimpah namun juga banyak konflik, salah
satunya adalah tuntutan pengakuan hak-hak masyarakat adat yang selama
ini merasa seperti tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Ribuan
mata bangsa asing banyak melirik provinsi yang kaya akan sumber daya
alam itu, namun karena keterbukaan investasi tersebut masyarakat adat
Papua harus membayar mahal mengingat hutan lebat menjadi gundul.
Kerusakan hutan terjadi secara besar-besaran oleh aktivitas
perusahaan-perusahaan ketika melaksanakan pembukaan lahan untuk kegiatan
pertambangan atau perkebunan.
Konflik terjadi diakibatkan maraknya
perusakan lingkungan di hutan-hutan Papua yang diakui masyarakat
setempat adalah hutan adat milik nenek moyangnya. Masyarakat adat yang
selama ini hidup bergantung pada sumber daya alam sekarang hidupnya
merasa diasingkan, dimarjinalkan, karena aktivitas bangsa asing dalam
mengeksploitasi kekayaan alam provinsi paling Timur di Indonesia itu.
Masyarakat adat Papua saat ini merasa
harus mencari jatidiri kembali, sehingga berbagai pemikiran yang juga
dicampuri dengan kepentingan tertentu membuat perpecahan di dalam
masyarakat adat itu sendiri. Tidak salah ketika ada sebagian rakyat
Papua yang ingin provinsinya merdeka dan melepaskan diri dari NKRI
karena tidak ada lagi kepercayaan terhadap pemerintahnya.
Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua
Sayid Fadhal Alhamid menilai permasalahan kerusakan lingkungan di Papua
akibat kesalahan dari pemerintah sendiri yang dengan mudahnya memberikan
perizinan kepada investor bahkan tanpa memperhatikan keberadaan
masyarakat adat. “Selama ini masyarakat asli Papua hanya bisa protes dan
kemudian diam ketika melihat hutan adat yang merupakan hak ulayat
mereka dihancurkan, dibabat oleh perusahaan tanpa memberikan kompensasi
yang layak,” ucap Fadhal.
Lucunya, kata Fadhal, ketika kerusakan
lingkungan sudah terjadi di mana-mana dan mengancam kehidupan umat
manusia, khususnya terkait dengan isu perubahan iklim yang terjadi
akibat deforestasi dan degradasi hutan, pemerintah baru mulai melakukan
kampanye peduli lingkungan dengan berbagai program. Didirikannya Dewan
Adat Papua sendiri salah satu pemicunya adalah ingin menjaga hak-hak
adat dan melestarikan hutan yang merupakan tempat bergantung hidup
masyarakat asli Papua. Masyarakat setempat sudah terbiasa dengan berburu
dan memanfaatkan hasil hutan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Fadhal bersama dengan anggota Dewan Adat
Papua lain menilai apabila pemerintah ingin serius memperbaiki dan
melestarikan hutan atau alam, akui dulu hak ulayat atas tanah masyarakat
adat. “Selama ini hak ulayat atas tanah adat milik rakyat Papua seperti
tidak pernah diakui oleh pemerintah, karena ketika perusahaan melakukan
pembukaan lahan warga tidak pernah mendapatkan kompensasi atas itu.
Ketika warga mulai melakukan aksi baru ada perhatian dari perusahaan,
dan nilai yang diberikan sangat tidak sebanding dengan kerugian yang
didapat,” ujar Fadhal.
Papua sendiri saat ini sebetulnya
memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang hak-hak ulayat dan tanah
adat, namun dia menilai pemerintah daerah tidak dapat
mengimplementasikannya dengan benar. Peraturan Gubernur, Peraturan Wali
Kota atau Bupati yang seharusnya menjadi petunjuk teknis atas peraturan
daerah tersebut juga tidak pernah dibuat. Senada dengan pernyataan Dewan
Adat Papua, Ketua Forum Peduli Port Numbay Green, Andre Liem merasa
kondisi warga Papua hanya bisa menerima dan melihat ketika lingkungan
adatnya dirusak dan dibabat habis oleh perusahaan tanpa mendapatkan
kompensasi apabila tidak membuat kisruh situasi terlebih dahulu.
Kerusakan lingkungan akibat terjadinya
eksploitasi sumber daya alam tersebut juga membawa dampak
gesekan-gesekan sosial antara suku satu dengan suku yang lain. Akibat
tidak ada lagi pengakuan atas tanah adat dan hak ulayat, akhirnya semua
orang memiliki kepentingan sendiri-sendiri dengan menggunakan berbagai
macam cara untuk dapat merasakan hasil dari investasi yang ada yang
sifatnya demi kepentingan kelompok bukan kepentingan bersama suku asli
daerah itu.
“Masyarakat asli yang seharusnya
mendapatkan keuntungan tiba-tiba termarjinalkan karena seiring dengan
waktu banyaknya pendatang dari luar yang juga ingin mendapatkan
keuntungan atas keberadaan perusahaan di daerah tersebut,” kata Andre.
Semakin bertambahnya kegiatan perusakan sumber daya alam tersebut juga
berdampak pada penindasan terhadap warga suku asli yang seharusnya
memiliki tanah adat atau hak ulayat itu.
Salah satunya ketika masyarakat
berbicara dan melakukan aksi terhadap perusahaan, dengan mudahnya para
pengusaha tersebut membayar preman atau aparat untuk mengintimidasi para
warga suku asli yang kemudiam diam tidak berkutik. Karena
permasalahan-permasalahan itu masyarakat sendiri akhirnya merasa bahwa
pemerintah tidak pernah memperhatikan bagaimana akibat dari pengrusakan
lingkungan tersebut membawa dampak-dampak negatif untuk warga suku asli
Papua.
Berkenaan dengan permasalahan perubahan
iklim, warga Papua tentu saja siap untuk menjaga dan melestarikan hutan
sepanjang negara atau pemerintah mengakui hak-hak ulayat atas tanas adat
dari masyarakat itu sendiri. Selama ini pemerintah tidak bisa
memberikan jaminan atau pengakuan atas hak ulayat suku asli Papua,
sehingga ia menilai kerusakan lingkungan itu terjadi karena ulah dari
pemerintah sendiri yang selama ini kurang perduli terhadap aktivitas
yang dilakukan oleh investor. “Masyarakat adat selama ini selalu
berjuang sendiri untuk memperjuangkan atas hak-hak ulayat mereka,
pemerintah seakan-akan hanya setengah hati membantu mengatasi masalah
tersebut,” ujarnya.
Masyarakat pedalaman yang tergabung
dalam Forum Peduli Port Numbay Green selama ini selalu mendorong
pemerintah untuk mengeluarkan sebuah peraturan yang tegas terkait dengan
pengakuan hak ulayat dan tanah adat. Program pemerintah seperti
penanaman satu miliar pohon tersebut tidak akan terlihat hasilnya
apabila perizinan untuk perkebunan dan pertambangan juga tetap
diterbitkan yang kemudian perusahaan tetap melaksanakan perusakan
lingkungan.
Solusi bagaimana cara melestarikan hutan
di Papua saat ini adalah pemerintah harus memberikan serta mengakui
hak-hak ulayat dan tanah adat untuk suku asli. Selain itu juga tidak
menerbitkan lagi perizinan pertambangan dan perkebunan, mencabut izin
yang sudah habis masa berlaku. “Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas
terhadap para investor, dan jangan mudah memberikan perizinan. Lakukan
penertiban dan denda semua perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi
pertambangan karena hal itu sudah diatur undang-undang,” kata Andre.
Apabila rakyat jelata yang melakukan
kesalahan, pemerintah selalu menindak tegas dengan efek jera yang luar
biasa, namun berbanding terbalik ketika perusahaan yang melakukan
pelanggaran seakan-akan paratur negara ini hanya tutup mata. Perhatikan
berbagai macam konflik yang terjadi di kawasan PT Freeport, tidak hanya
masyarakat adat yang kehilangan hak ulayatnya bahkan sampai merenggut
nyawa yang jumlahnya tidak sedikit. Sebetulnya itu baru sedikit yang
terpublikasi, masih banyak masalah di perusahaan perkebunan atau
pertambangan lain namun tidak mencuat ke tingkat nasional.
“Sekarang saatnya pemerintah
mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk menjaga dan mengelola
lingkungan demi kepentingan universal, tidak hanya suku tertentu dalam
mencegah terjadinya perubahan iklim di muka bumi,” demikian harapan
Andre Liem.
http://www.antarakalteng.com/print/234310/masyarakat-papua-cari-identitas-di-tengah-kemajuan
0 komentar:
Post a Comment