Belum menerim RUU Otsus plus
untuk dibahas masuk Prolegnas 2015, Presiden Yokowi malah menawarkan
DIALOG JAKARTA- PAPUA. Janji itu disampaikan Jokowi saat pidatonya pada
perayaan Natal Nasional, 27 Desember 2014 di Lapangan Mandala, Jayapura.
Tentang dialog, Gubernur Lukas sudah menyerahkan urusan itu kepada
Majelis Rakyat Papua. Tetapi jauh sebelum dialog ini ditawarkan Jokowi,
wacana dialog sudah lama digagas oleh Pastor DR. Neles Tebay,Pr dari
Jaringan Damai Papua. Kamis, 25 Maret 2015, Pemimpim Redaksi Majalah Papua Bangkit, Gusty Masan Raya menyambangi STFT Fajar Timur Abepura dan berbincang-bincang dengan Pastor Neles.
Berikut Petikannya!
Ya, jika ada niat baik dan komitmen Presiden Jokowi untuk mewujudkan apa yang di sampaikannya saat Natal 2014 lalu, saya kira bisa. Dan keinginan Presiden untuk menjadikan Papua Tanah Damai sebagaimana dalam kampanyenya itu sejalan dengan apa yang selalu kami kampanyekan dalam wadah Jaringan Damai Papua. Bahwa dialog menjadi sarana yang terbaik untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua menuju perdamaian itu.
Kami dari Jaringan Damai Papua sudah mulai bekerja mewacanakan Dialog Jakarta-Papua itu sejak 2008. Kami bersama tim Peneliti dari LIPI almarhum Muridan Satrio Widjojo selama 4 tahun melakukan penelitian lalu menuangkan hasilnya dalam sebuah buku. Saya juga membuat satu buku kecil yang berjudul “ Dialog Jakarta-Papua.” Isinya itu pikiran pribadi saya, bukan pendapat sekelompok orang Papua apalagi seluruh Papua. Buku itu juga bukan hasil diskusi tapi hasil refleksi pribadi yang merasakan pahit getirnya yang terjadi di atas tanah ini.
Dalam dua buku ini, ada dua masalah utana yang berbeda yaitu hasil penelitian tentang konflik, penyebab dan solusi konflik, yang terjadi di Papua dan satunya tentang dialog. Artinya, bertolak dari konflik, saya menawarkan isu tentang metodologi dialog sebagai cara penyelesaian konflik. Tapi kata “dialog” ini di tolak Jakarta pada tahun 2009 ke atas. Kata ini ketika itu dianggap tabu dan selalu dikonotasikan dengan teriakan Papua Merdeka. Kita kadang dicurigai, diteror. Presiden SBY malah meminta untuk mengganti istilah “dialog” dengan “komunikasi konstruktif,” yang pada inntinya Pemerintah Pusat menaruh curiga dengan istilah “dialog.”
Setiap presiden memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan Papua. Saya memandang ini sebagai buah dari usaha Jaringan Damai Papua yang mengkampanyekan dialog damai selama ini. Artinya, sosialisasi kami mendapatkan dukungan seluas-luasnya dari masyarakat Papua sehingga akhirnya diterima Jokowi. Karena kami yakinkan bahwa dialog ini memang sarana yang terbaik, yang manusiawi, yang demokratis untuk menyelesaikan semua masalah di Papua.
Jika itu terjadi dan demi perdamaian di atas Tanah Papua, kenapa tidak? Kami sudah lama bekerja, tanpa didukung oleh siapa pun, kami tetap konsisten bekerja. Saya tidak tahu, apa dan bagaimana konsep yang digagas Majelis Rakyat Papua guna menyukseskan dialog ini. Tetapi yang pasti, dialog ini butuh persiapan yang benar-benar matang, mulai dari metodologinya, apa isi/isu dialog, siapa-siapa saja yang terlibat dalam dialog, dan lain-lain.
Dalam dialog hanya dibahas topik-topik atau isu-isu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang mau berdialog. Jadi ada mekanismenya, ada tata cara dialognya, tidak bisa sembarang. Dua pandangan yang paling menonjol dan selalu bertentangan adalah NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati. Dalam dialog, itu bukan masalah, itu posisi, dan pandangan ini tidak bisa didialogkan. Yang bisa didialogkan adalah isu-isu yang terbentang diantara kedua posisi ini. Misalnya masalah kesehatan, kemiskinan, HAM dan lain-lain yang lebih berbobot dibanding membahas dua paham yang berseberangan.
Benar sekali. Ya selama ini kami mendorong satu dialog bukan dalam konteks Papua Merdeka, bukan juga dalam konteks NKRI harga mati. Jadi, jika dialog Jakarta-Papua mau dilaksanakan, bagi saya pokoknya adalah bagaimana cara kita memelihara Papua menjadi Tanah Damai, bagaiman kita menciptakan perdamaian dan memelihara perdamaian yang sudah kita ciptakan. Agendanya adalah agenda damai. Kita identifikasi semua hal yang menghambat perdamaian dan kita cari solusinya. Semua pihak kita tanya, kamu beri kontribusi apa terhadap Papua Tanah Damai? Mulai dari TNI/Polri, kelompok separatis, di hutan-hutan maupun yang berjuang di luar negeri, paguyuban-paguyuban di atas Tanah Papua, hingga semua perusahaan yang mengelola SDA di Bumi Cenderawasih ini.
Dalam pandangan kami, ada sembilan kelompok yang dilibatkan yaitu Orang Asli Papua, Paguyuban-paguyuban yang ada di Papua, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, Polri, TNI, Perusahaan-perusaan asing dan domestik itu harus dilibatkan dalam proses ini. Para gerilyawan yang ada di hutan dan terakhir orang Papua yang studi di luar negeri. Entah apapun tantangannya, bagaimana caranya untuk mendekati mereka, kami mengidentifikasi, mereka harus terlibat. Orang-orang Papua yang ada di kampung- kampung terpencil pun harus dipikirkan bagaimana caranya untuk menarik aspirasi mereka masuk dalam dialog ini.
Saya memang belum membaca draf RUU Otsus Plus, tetapi dari berbagai media yang saya baca dan dengar, inti dari RUU Otsus Plus itu yaitu adanya keinginan dari Gubernur Lukas untuk memintah Pemerintah Pusat memberi kewenangan ekonomi yang luas, khususnya dalam mengelola hasil Sumber Daya Alamnya. Saya kira itu sebuah itikad baik dari seorang gubernur yang tidak pernah terjadi pada pemimpin sebelumnya. Ada keberanian dalam diri gubernur, yang melihat masalah ketidakadilan dan ketimpangan pembangunan di daerahnya, lalu berupaya meyakinkan Pemerintah Pusat untuk mengubah regulasi demi efektifitas pembangunan itu. Bahwa Pemerintah Pusat belum mensahkan RUU Otsus Plus, itu urusan lain. Setidak-tidaknya, ia sudah berjuang dan harus diapresiasi. ( Laporang Utama, Majalah Papua Bangkit Edisi 1/Tahun III/April 2015. hal 16-17)
Berikut Petikannya!
Sebagai penggagas dialog damai, Anda percaya Dialog Jakarta-Papua yang ditawarkan Jokowi bisa berjalan?
Ya, jika ada niat baik dan komitmen Presiden Jokowi untuk mewujudkan apa yang di sampaikannya saat Natal 2014 lalu, saya kira bisa. Dan keinginan Presiden untuk menjadikan Papua Tanah Damai sebagaimana dalam kampanyenya itu sejalan dengan apa yang selalu kami kampanyekan dalam wadah Jaringan Damai Papua. Bahwa dialog menjadi sarana yang terbaik untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua menuju perdamaian itu.
Kilas balik sejenak, sebenarnya sejak kapan Anda menggagas dan mengkampanyekan dialog Jakarta- Papua dan apa tujuannya?
Kami dari Jaringan Damai Papua sudah mulai bekerja mewacanakan Dialog Jakarta-Papua itu sejak 2008. Kami bersama tim Peneliti dari LIPI almarhum Muridan Satrio Widjojo selama 4 tahun melakukan penelitian lalu menuangkan hasilnya dalam sebuah buku. Saya juga membuat satu buku kecil yang berjudul “ Dialog Jakarta-Papua.” Isinya itu pikiran pribadi saya, bukan pendapat sekelompok orang Papua apalagi seluruh Papua. Buku itu juga bukan hasil diskusi tapi hasil refleksi pribadi yang merasakan pahit getirnya yang terjadi di atas tanah ini.
Dalam dua buku ini, ada dua masalah utana yang berbeda yaitu hasil penelitian tentang konflik, penyebab dan solusi konflik, yang terjadi di Papua dan satunya tentang dialog. Artinya, bertolak dari konflik, saya menawarkan isu tentang metodologi dialog sebagai cara penyelesaian konflik. Tapi kata “dialog” ini di tolak Jakarta pada tahun 2009 ke atas. Kata ini ketika itu dianggap tabu dan selalu dikonotasikan dengan teriakan Papua Merdeka. Kita kadang dicurigai, diteror. Presiden SBY malah meminta untuk mengganti istilah “dialog” dengan “komunikasi konstruktif,” yang pada inntinya Pemerintah Pusat menaruh curiga dengan istilah “dialog.”
Lalu mengapa Jokowi malah menawarkan dialog? Apa pandangan Anda?
Setiap presiden memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan Papua. Saya memandang ini sebagai buah dari usaha Jaringan Damai Papua yang mengkampanyekan dialog damai selama ini. Artinya, sosialisasi kami mendapatkan dukungan seluas-luasnya dari masyarakat Papua sehingga akhirnya diterima Jokowi. Karena kami yakinkan bahwa dialog ini memang sarana yang terbaik, yang manusiawi, yang demokratis untuk menyelesaikan semua masalah di Papua.
Gubernur Lukas Enembe sudah
memberikan mandat kepada Majelis Rakyat Papua untuk menyiapkan dialog
ini. Apakah Anda dan Jaringan Damai Papua siap membantu jika diminta?
Jika itu terjadi dan demi perdamaian di atas Tanah Papua, kenapa tidak? Kami sudah lama bekerja, tanpa didukung oleh siapa pun, kami tetap konsisten bekerja. Saya tidak tahu, apa dan bagaimana konsep yang digagas Majelis Rakyat Papua guna menyukseskan dialog ini. Tetapi yang pasti, dialog ini butuh persiapan yang benar-benar matang, mulai dari metodologinya, apa isi/isu dialog, siapa-siapa saja yang terlibat dalam dialog, dan lain-lain.
Dalam dialog hanya dibahas topik-topik atau isu-isu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang mau berdialog. Jadi ada mekanismenya, ada tata cara dialognya, tidak bisa sembarang. Dua pandangan yang paling menonjol dan selalu bertentangan adalah NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati. Dalam dialog, itu bukan masalah, itu posisi, dan pandangan ini tidak bisa didialogkan. Yang bisa didialogkan adalah isu-isu yang terbentang diantara kedua posisi ini. Misalnya masalah kesehatan, kemiskinan, HAM dan lain-lain yang lebih berbobot dibanding membahas dua paham yang berseberangan.
Berarti selama ini yang dikampanyekan oleh Anda adalah model dialog yang damai?
Benar sekali. Ya selama ini kami mendorong satu dialog bukan dalam konteks Papua Merdeka, bukan juga dalam konteks NKRI harga mati. Jadi, jika dialog Jakarta-Papua mau dilaksanakan, bagi saya pokoknya adalah bagaimana cara kita memelihara Papua menjadi Tanah Damai, bagaiman kita menciptakan perdamaian dan memelihara perdamaian yang sudah kita ciptakan. Agendanya adalah agenda damai. Kita identifikasi semua hal yang menghambat perdamaian dan kita cari solusinya. Semua pihak kita tanya, kamu beri kontribusi apa terhadap Papua Tanah Damai? Mulai dari TNI/Polri, kelompok separatis, di hutan-hutan maupun yang berjuang di luar negeri, paguyuban-paguyuban di atas Tanah Papua, hingga semua perusahaan yang mengelola SDA di Bumi Cenderawasih ini.
Menurut Anda Kelompok Mana saja yang bisa dilibatkan dalam Dialog Jakarta- Papua ini?
Dalam pandangan kami, ada sembilan kelompok yang dilibatkan yaitu Orang Asli Papua, Paguyuban-paguyuban yang ada di Papua, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, Polri, TNI, Perusahaan-perusaan asing dan domestik itu harus dilibatkan dalam proses ini. Para gerilyawan yang ada di hutan dan terakhir orang Papua yang studi di luar negeri. Entah apapun tantangannya, bagaimana caranya untuk mendekati mereka, kami mengidentifikasi, mereka harus terlibat. Orang-orang Papua yang ada di kampung- kampung terpencil pun harus dipikirkan bagaimana caranya untuk menarik aspirasi mereka masuk dalam dialog ini.
Selain dialog, Gubernur Lukas juga setahun lebih mendorong RUU Otsus Plus demi Papua lebih baik. Apa penilaian Anda?
Saya memang belum membaca draf RUU Otsus Plus, tetapi dari berbagai media yang saya baca dan dengar, inti dari RUU Otsus Plus itu yaitu adanya keinginan dari Gubernur Lukas untuk memintah Pemerintah Pusat memberi kewenangan ekonomi yang luas, khususnya dalam mengelola hasil Sumber Daya Alamnya. Saya kira itu sebuah itikad baik dari seorang gubernur yang tidak pernah terjadi pada pemimpin sebelumnya. Ada keberanian dalam diri gubernur, yang melihat masalah ketidakadilan dan ketimpangan pembangunan di daerahnya, lalu berupaya meyakinkan Pemerintah Pusat untuk mengubah regulasi demi efektifitas pembangunan itu. Bahwa Pemerintah Pusat belum mensahkan RUU Otsus Plus, itu urusan lain. Setidak-tidaknya, ia sudah berjuang dan harus diapresiasi. ( Laporang Utama, Majalah Papua Bangkit Edisi 1/Tahun III/April 2015. hal 16-17)
0 komentar:
Post a Comment