Pastor John Djonga Pr (Foto: Tabloidjubi.com) |
Pastor John yang berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 12 Maret 2016 mengatakan, hingga kini, masalah di Papua sangat kompleks.
“Puluhan masyarakat mati. Masyarakat di pedalaman berpuluh-puluh tahun tidak mengenal apa yang namanya imuniasi. Kami sudah beri laporan kepada presiden, tapi tidak tahu apakah ia sudah baca,” katanya, menyinggung persoalan di sektor kesehatan.
Pastor John yang lahir di Flores, sudah 35 tahun hidup di Papua dan bergumul dengan masyarakat di kampung-kampung.
Dalam menjalankan tugasnya, ia beberapa kali berhadapan dengan aparat keamanan karena menyuarakan persoalan-persoalan masyarakat.
Pada pertengahan Februari lalu, ia dipanggil polisi dan diperiksa sebagai saksi kasus makar, karena memberkati kantor Dewan Adat Papua di Wamena, di mana pada saat bersamaan juga diresmikan kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebuah organisasi pro kemerdekaan.
Terkait pemanggilan itu, ia mengatakan, itu merupakan teror untuk menakut-nakuti pimpinan agama.
“Melalui peristiwa ini, terlihat jelas bahwa aparat dengan gampang saja menuduh makar, tidak jelas kriteria-kriterianya mana saja. Pelayanan pastoral tidak bisa lepas dari kondisi apapun. Pelayanan pastoral harus menyentuh siapa saja,” katanya.
Waktu disebut bahwa dirinya diperiksa sebagai saksi makar, katanya, ia berpikir jangan sampai dirinya akan dituduh makar, karena sampai sekarang belum ada yang dijadikan tersangka makar terkait peresmian kantor dewan adat itu.
“Sampai saat ini saya tidak merasa melanggar hukum. Saya tidak merasa takut, terancam. Kondisi seperti itu pasti akan kami hadapi terus, tapi saya tidak akan gentar,” katanya.
Kehadiran dalam acara itu, menurut dia, adalah bagian dari tugas pastoral.
“Saat saya hadir dalam acara itu yang membuat saya dipanggil, kepentingan saya hanyalah berada bersama umat, menggumuli persoalan umat yang saya layani,” katanya.
Dalam diskusi di Jakarta hari ini, dengan tema Tema Perjuangan Hak Asasi Manusia dan Kriminalisasi para Pembela HAM di Papua, hadir juga pembicara lain Pendeta Phil Erari dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pastor Paul Rahmat SVD dari Vivat International, dan Budi Hernawan dari Abdulrahman Wahid Center, Universitas Indonesia.
Diskusi ini juga untuk merespon laporan terbaru yang dikompilasi oleh International Coalition for West Papua (ICP) yang menunjukkan bukan saja pelanggaran yang sistematis dan berulang-ulang di Papua atas hak sipil-poliitik, dan ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan juga kekerasan dan ancaman terhadap para pembela HAM.
Selain pola umum, ada sejumlah kasus yang darurat dan membutuhkan penangan serius, seperti masalah kesehatan dan kematian anak-anak di wilayah Pegunungan Tengah.
Aria/Katoliknews.com
Kini, jutaan pasang
mata mengarahkan pandangannya ke Papua. Tanah Papua dirundung kemalangan
berkepanjangan. Kemalangan itu masuk sampai ruang-ruang sakral, adat,
bahasa, budaya dan agama. Adat dianggap bertentangan dengan nasionalisme
sehingga dihancurkan secara perlahan. Bahasa ibu kian memudar. Jumlah
penuturnya makin berkurang dan menunggu punah. Kelompok sanggar seni
budaya yang peduli pada kemanusiaan seringkali diteror secara
sistematis. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengembalikan Papua ke
kondisi awalnya sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Suatu tempat
di mana semua makhluk hidup berdampingan sebagai saudara tanpa
diskriminasi seperti yang terjadi saat ini.
Dr. Neles Tebay, salah satu inisiator dialog Jakarta Papua meyakini
bahwa dialog merupakan alternatif terbaik untuk membicarakan masa depan
Papua. Dalam bukunya, “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua”
dijelaskan bahwa kekerasan melalui berbagai operasi militer yang
dilaksanakan di Papua tidak berhasilkan menyelesaikan konflik. Justru
operasi militer menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi orang Papua.
Otonomi khusus dan berbagai kebijakan lainnya belum mampu menyelesaikan
permasalahan Papua. Bahkan orang Papua kian tidak percaya lagi kepada
pemerintah Indonesia. Untuk menjembatani berbagai kebuntuan itu,
dipandang perlu menggelar suatu dialog terbuka antara pemerintah
Indonesia di Jakarta dengan orang Papua.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
Kini, jutaan pasang
mata mengarahkan pandangannya ke Papua. Tanah Papua dirundung kemalangan
berkepanjangan. Kemalangan itu masuk sampai ruang-ruang sakral, adat,
bahasa, budaya dan agama. Adat dianggap bertentangan dengan nasionalisme
sehingga dihancurkan secara perlahan. Bahasa ibu kian memudar. Jumlah
penuturnya makin berkurang dan menunggu punah. Kelompok sanggar seni
budaya yang peduli pada kemanusiaan seringkali diteror secara
sistematis. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengembalikan Papua ke
kondisi awalnya sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Suatu tempat
di mana semua makhluk hidup berdampingan sebagai saudara tanpa
diskriminasi seperti yang terjadi saat ini.
Dr. Neles Tebay, salah satu inisiator dialog Jakarta Papua meyakini
bahwa dialog merupakan alternatif terbaik untuk membicarakan masa depan
Papua. Dalam bukunya, “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua”
dijelaskan bahwa kekerasan melalui berbagai operasi militer yang
dilaksanakan di Papua tidak berhasilkan menyelesaikan konflik. Justru
operasi militer menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi orang Papua.
Otonomi khusus dan berbagai kebijakan lainnya belum mampu menyelesaikan
permasalahan Papua. Bahkan orang Papua kian tidak percaya lagi kepada
pemerintah Indonesia. Untuk menjembatani berbagai kebuntuan itu,
dipandang perlu menggelar suatu dialog terbuka antara pemerintah
Indonesia di Jakarta dengan orang Papua.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
Kini, jutaan pasang
mata mengarahkan pandangannya ke Papua. Tanah Papua dirundung kemalangan
berkepanjangan. Kemalangan itu masuk sampai ruang-ruang sakral, adat,
bahasa, budaya dan agama. Adat dianggap bertentangan dengan nasionalisme
sehingga dihancurkan secara perlahan. Bahasa ibu kian memudar. Jumlah
penuturnya makin berkurang dan menunggu punah. Kelompok sanggar seni
budaya yang peduli pada kemanusiaan seringkali diteror secara
sistematis. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengembalikan Papua ke
kondisi awalnya sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Suatu tempat
di mana semua makhluk hidup berdampingan sebagai saudara tanpa
diskriminasi seperti yang terjadi saat ini.
Dr. Neles Tebay, salah satu inisiator dialog Jakarta Papua meyakini
bahwa dialog merupakan alternatif terbaik untuk membicarakan masa depan
Papua. Dalam bukunya, “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua”
dijelaskan bahwa kekerasan melalui berbagai operasi militer yang
dilaksanakan di Papua tidak berhasilkan menyelesaikan konflik. Justru
operasi militer menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi orang Papua.
Otonomi khusus dan berbagai kebijakan lainnya belum mampu menyelesaikan
permasalahan Papua. Bahkan orang Papua kian tidak percaya lagi kepada
pemerintah Indonesia. Untuk menjembatani berbagai kebuntuan itu,
dipandang perlu menggelar suatu dialog terbuka antara pemerintah
Indonesia di Jakarta dengan orang Papua.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/jokowi-kapan-dialog-jakarta-papua-bisa-dimulai_56e3bdf26e7a61a61295c684
0 komentar:
Post a Comment