Pulau Pakreki, Kepulauan Padaido, Biak, Papua. Maps.Google.com
TEMPO.CO, Jakarta
- Dari kejauhan, Pulau Pakreki sudah tampak menyeramkan: tinggi, besar,
berdinding tebing karang hitam, dan sesak pepohonan hutan tropis yang
kehijauan. Sabtu kedua bulan lalu, kami--saya dan fotografer Tony
Hartawan--melewatinya. Tujuan kami sebenarnya adalah Meosmangguandi,
sebuah pulau tepat di sisi selatan Pakreki di pojok tenggara Kepulauan
Padaido, Biak, Papua.Laut di sekeliling Pakreki siang itu benar-benar membuat nyali kami ciut. Perairan yang tadi tenang tiba-tiba bergejolak. Seketika perahu “johnson”--begitu nelayan setempat menyebut kapal mesin tempel--kami diterpa ayunan ombak yang datang tak tentu arah. Tony yang duduk di haluan beberapa kali menengok sambil tersenyum kecut. Saya yang duduk di belakangnya membalas dengan mimik tak kalah khawatir.
Setiba di Meosmangguandi, sekitar 5 mil laut sebelah selatan Pakreki, kami baru tahu laut yang baru saja diseberangi dianggap keramat. "Pakreki paling menyeramkan. Di sana juga dibilang ada faknik," kata Markus Rumkorem, 24 tahun, anak "ibu kos" kami selama di Meosmangguandi.
Faknik ialah sebutan masyarakat Biak untuk hantu penjaga lautan. Selama ratusan tahun, kepercayaan ini menjadi kearifan lokal untuk melindungi samudra. Ada keyakinan faknik akan menculik siapa pun yang berbuat onar di atas lautan. Tak ada yang dapat memastikan wujudnya. Sejumlah warga mengatakan faknik semacam gurita raksasa yang berdiam di dasar laut. Ada juga yang meyakininya semacam naga laut.
Omongan Markus mungkin benar. Setidaknya dalam lampiran draf Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang rencana pengelolaan dan zonasi taman wisata perairan Kepulauan Padaido memang disebutkan Lembaga Masyarakat Adat Padaido telah menetapkan Pulau Pakreki sebagai kawasan faknik.
Ai mama... Sejak mengetahui informasi itu, kami diam seribu bahasa ketika harus kembali melintasi Pakreki dalam perjalanan kembali ke Pulau Biak. Ada perasaan plong begitu perahu kami melewatinya.
Meski saya tak akan ragu untuk kembali melewatinya suatu saat kelak. Sebab, Kepulauan Padaido benar-benar menjadikan Biak, seperti dibilang banyak orang, adalah singkatan dari bila ingat akan kembali.
Di Meosmangguandi, misalnya. Terletak sekitar 32 mil laut dari pusat Kota Biak, pulau ini hanya seluas 14 kilometer persegi dan dihuni sekitar 84 kepala keluarga. Mereka tinggal di rumah panggung yang masing-masing berjarak, dipisahkan tanah cukup luas. Hunian warga sangat nyaman ditinggali, dengan fasilitas MCK yang cukup memadai. Air tanah juga tak sulit ditimba dari sumur yang hanya berjarak beberapa meter dari pinggir pantai.
Dari sana, cobalah pergi ke Rasi, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di wilayah selatan perairan Meosmangguandi. Di sini, butiran pasir putih sehalus tepung membentang di pantai yang lebar dan meninggi. Di depan sana, warna laut biru bergradasi.
Atau cobalah ke Kebori. Terletak di antara Meosmangguandi dan Rasi, laut di pulau yang juga tak berpenghuni ini dangkal dan tenang. Dari atas perahu, Anda pasti tergoda untuk segera melompat. Ikan kecil beraneka warna berkerumun, berlalu-lalang di atas koral beraneka warna yang membentang tak jauh di depan pantai pasir putih sebelah timur.
Kami sempat menginap di Kebori. Malam itu seolah tak ada lagi yang dibutuhkan dalam hidup ini. Api unggun telah berkobar di atas pasir yang menimbun singkong. Empat ikan gemuk, tiga di antaranya baronang, siap dibakar setelah terperangkap jala yang belum lama tadi dijulurkan Nikson, warga setempat, menjelang laut surut. Ditambah sepuluh bungkus mi instan siap dimasak.
Dari Meosmangguandi, kami mampir ke gugusan pulau seberang di utara. Dalam perjalanan, sekelompok lumba-lumba berlompatan, seolah ingin berkejaran dengan perahu kami yang melintas di tengah laut perbatasan Pulau Pasi, Mbromsi, dan Dauwi. Di pulau terakhir ini, kami sengaja menunggu petang lalu pergi ke Pulau Samakur.
Warga sekitar menjuluki Samakur sebagai pulau burung. Bukan karena bentuk pulaunya yang mirip burung, tapi lantaran ratusan ribu--jika tak ingin menyebut jutaan--burung laut berduyun-duyun terbang mendekati pulau tersebut ketika lembayung di langit barat Padaido semakin merah.
Selama beberapa saat mereka berputar-putar di atasnya. Tidak untuk berburu mangsa, tapi menunggu kelelawar pergi dari tebing-tebing padas di tengah pulau itu untuk kemudian menjadikannya tempat peristirahatan. Esok pagi, giliran bangau yang pergi digantikan kelelawar. Begitu seterusnya....
AGOENG WIJAYA
Rabu, 18 November 2015 | 15:25 WIB
https://m.tempo.co
0 komentar:
Post a Comment