Foto anak-anak SD yang berbaris dan hormat dua anggota TNI yang dimuar di Kompas cetak edisi 19 Agustus 2016. (Benny Mawel - SP) |
Oleh: Benny Mawel
Situasi
pagi itu lain dari hari biasa. Halaman utama Koran kompas cetak edisi
19 agustus 2016 menurunkan sebuah foto anak-anak Papua. Orang Papua yang
melihat saja, termasuk saya, sudah bangga dan juga penasaran. Banga
karena koran sebesar Kompas menampilkan wajah orang Papua di halaman
utama yang menjadi perhatian 20-an juta orang Indonesia dan tidak sabar
inggin membaca ulasannya.
Saya
mengambil Koran kompas. Perhatikan judul tulisan ke judul lain tidak ada
topik yang fokus mengulas soal Papua. Fokus ulasannya, pertama,
wawancara menteri keuangan tentang membangun dan memperkuat fondasi
Indonesia. Kedua, Nasib 22 Juta penduduk Indonesia yang terancam tidak
bisa akses layanan publik lantaran tidak mengurus e-KTP dan ketiga,
perlunya reaktualisasi nasionalisme Indonesia.
Kompas
tidak mengulas Papua mengikuti foto karya mantan wartawan Kompas di
Papua yang kini menjadi redaktur Kompas di Jakarta, Josie Susilo
Hardianto itu. Namun, menurut saya, foto itu menceritakan realitas Papua
yang sebenarnya. Kompas nampak tidak mau mengambil resiko, namun foto
yang berukuran kurang lebih 4×6 itu terlihat jelas ada sejumlah
anak-anak perempuan siswa sekolah dasar berbaris. Mereka mengenakan
seragam merah putih.
Mereka
memberikan hormat kepada anggota TNI yang melintas di depan barisan. Dua
anggota TNI dengan atribut militer lengkap: serangam loreng, senjata
M16 dipalang di dada si anggota TNI itu. Pisau sangkur tergantung di
piggang. Mereka pun memberikan hormat dan melemparkan senyuman kepada
anak-anak. Senyum, mungkin anak-anak itu yang lucu atau pura-pura
senyum.
Ketika perhatikan foto itu
secara serius, ada dua hal menarik. Pertama, ekspresi wajah dari
anak-anak itu. Kebanyakan anak-anak bermimik senyum seolah ada yang
lucu. Padangan mereka tidak fokus ke dua anggota TNI. Ada yang nampak
memperhatikan cameramen foto. Ada yang nampak melihat objek dibelakang
dua anggota TNI itu.
Kedua, atribut
sekolah yang mereka gunakan. Mayoritas anak-anak tidak mengenakan alas
kaki. Hanya dua siswi yang mengenakan alas kaki. Masing-masing ada yang
pakai sandal jepit dan ada yang sepatu hitam. Mayoritas siswi itu
berseragam merah putih, Ada 6 siswi yang mengenakan kaos oblong. Dua
dari mereka yang baju kaos oblong itu berwarna unggu dan putih berbaris
di depan.
Sangat jelas terlihat
gambar dan tulisan di baju kedua anak itu. Siswi yang baju unggu, di
bagian depan bajunya, persisnya di dada terlihat bergambar peta pulau
Papua. Peta itu diukir dengan tiga warna. Warna merah, putih dan biru.
Warna merah memerahkan semua bagian dari garis perbatasan peta Papua New
Guinea dan Papua (Indonesia) ke dalam peta hingg wilayah Sarmi sampai
turun ke Asmat. Di tegah-tegah cat merah itu ada sebuah lukisan bintang
dengan cat warna putih.
Sementara,
cat biru dan putih ditarik horizontal dari batas merah ke kepala wilayah
kepala burung dari batas warnah merah. Garis putih ada enam dan garis
biru ada tujuh. Orang yang melihat dan tahu dengan gerakan Papua merdeka
akan berkesimpulan ukiran itu gambar Pulau Papua bergambar bendera
Bintang Fajar.
Bintang Fajar adalah
Labang perlawanan rakyat Papua terhadap pendudukan Indonesia di Papua
sejak 1961. Gara-gara bendera Bintang Fajar ribuan orang mengalami
kekerasan fisik, mental dan bahkan riabuan orang telah mati. Puluhan
orang terpenjara dan terbunuh dengan penganiayaan maupun penembakan
mengunakan tima panas. Wanita-wanita menjadi pelampisan nafsu birahi
militer.
Misalnya, gara-gara
mengibarkan bendera Bintang Fajar, puluhan orang menjadi korban Biak
Berdarah 1998. Gara-gara mengibarkan bendera Bintang Fajar di lapangan
Trikora pada 2004 silam, Filep Karma dan Yusak Pakage divonis 15 tahun
penjara. Gara-gara mengibakan bendera Opinus Tabuni ditembak mati di
lapangan Sinapuk Wamena pada 9 Agustus 2008. Ada banyak orang lain yang
menjadi sama nasibnya dengan Karma dan Opinus Cs.
Kita
kembali ke siswi baju unggu. Nampak, wajah anak perempuan pemilik peta
Papua bergambar bendera Bintang Fajar itu tidak peduli dengan anggota
TNI yang membawa senjata. Moncong senjata dalam upaya Negara menghapus
Ideologi Papua Merdeka dan menanamkan nasionalisme Indonesia.
Ia
namak berani memperlihatkan simbol perlawanan. Satu perlawanan bisu
kepada anggota TNI yang membawa senjata. Ia hendak mengatakan isi
hatinya bintang kejora dalam bisu, bukan merah putih yang membungkus
tubuh dengan ancaman moncong sejata itu. Ia mau mengatakan dirinya ingin
bebas dalam bisu, bukan inggin bebas dalam kebencian dan kekerasan.
Perlawanan
bisu itu muncul dalam diri seorang anak sekolah dasar, bukan anak pasca
sekolah dasar. Anak-anak yang masih berada di tingkat sekolah yang
gencar dengan pendidikan nasionalisme Indonesia melalui seragam merah
putih yang identik dengan benderah merah putih. Upacara bendera setiap
hari senin dengan membacakan Pancasila dan Pembukaan UU 1945. Kurikulum
pendidikan Kewarga Negaraan dan memperkenalkan sejarah kerajaan-kerajaan
dan sejarah perlawanan kemerdekaan Indonesia di Jawa.
Di
sela-sela upaya itu, pembangkangan sudah tumbuh jauh sebelum bergerak
ke pedidikan lebih. Pendidikan lebih lanjut, kiranya bagi anak perempuan
ini, menjadi proses pemantapan berfikir dan puncak dari pebangkangan
nyata. Pembangkangan nyata dengan terlibat dalam kamampane penentuan
nasib sendiri secara terbuka.
Apakah
itulah yang sedang terjadi dengan perlawanan damai rakyat Papua yang
didominasi anak-anak mahasiswa yang sedang berlangsung di kota-kota di
Papua dan luar Papua sejak 2008? Kalau itu yang sedang terjadi, apakah
Indonesia akan terus mamaksakan nasionalisme dengan moncong sejata?
Berapa lamakah nasionalisme dengan moncong senjata itu bertahan?
Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan Jubi Online.
0 komentar:
Post a Comment