Hanya gara-gara kelebihan umur, puluhan
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Papua tidak diizinkan mengikuti
Ujian Nasional (UN). Mereka sebagian besar siswa yang tinggal di daerah
pedalaman Papua. Kepala Dinas Pendidikan Pengajaran setempat beralasan,
usia ideal untuk ikut UN adalah 13-15 tahun.
Sungguh kita patut bertanya, kebijakan
macam apa pula ini? Aturan ideal mana yang dijadikan pijakan? Apalagi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terang-terangan menyatakan tidak
ada aturan tentang batasan maksimal usia peserta Ujian Nasional.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Ibnu Hamad kepada KBR68H menyatakan dari sembilan
persyaratan yang mesti diikuti oleh peserta ujian nasional tidak ada
satu pun yang menyebut tentang batasan usia. Yang penting siswa
tersebut masih tercatat di sekolahnya, masih terdaftar dan sudah
menunaikan kewajiban-kewajibannya. Kebijakan yang dikeluarkan pemda
Papua tersebut, sudah merenggut hak siswa mendapatkan evaluasi mata
pelajaran secara nasional.
Dan kita tengah berbicara soal Papua.
Selama ini survei menyatakan Bumi Cenderawasih selalu berada di
peringkat bawah dibanding propinsi lain, baik itu diukur dari tingkat
ekonomi, sosial hingga pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia di Papua
dan Papua Barat berada di peringkat buncit. Kelaparan, gizi buruk atau
putus sekolah merupakan hal umum yang terjadi di wilayah ini.
Menurut data statistik, 75% penduduknya
buta huruf. Papua merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia dengan
tingkat buta huruf yang terus meningkat. Banyak guru yang jarang
masuk dan mengajar. Banyak ruang kelas yang kosong. Guru yang tak mau
mengajar ini beralasan sekolah tak menyediakan fasilitas perumahan bagi
mereka Pada umumnya guru-guru hanya datang saat Ujian Nasional dan
terpaksa meluluskan murid dengan cara-cara di luar standar kelulusan
siswa.
Sekarang dengan berbagai persoalan
pendidikan yang demikian kompleksnya, haruskah puluhan anak itu ditolak
mengikuti Ujian Nasional karena kelebihan umur?
Harusnya pemerintah daerah berkaca,
kenapa anak-anak itu kelebihan umur, sehingga dianggap usianya tak ideal
lagi. Harusnya Dinas Pendidikan setempat mencari solusi, bukan justru
menutup pintu bagi anak-anak untuk pendidikan yang layak.
Anak-anak itu harus diberi kesempatan
yang sama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak boleh tinggal diam.
Dinas Pendidikan setempat wajib mencabut aturan itu.
Konstitusi negara ini jelas-jelas
menjamin seluruh warga negara untuk memperoleh hak dan perlakuan yang
sama dalam mengakses pendidikan. Tak boleh ada aturan diskriminatif
untuk belajar di sekolah.
0 komentar:
Post a Comment