Agnes Retno Wijayanti sedang memeriksa pasien. |
Sejak masih menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agnes telah memiliki keinginan untuk melayani di daerah terpencil. Alasannya sederhana, daerah terpencil masih sangat membutuhkan tenaga dokter.
Bagi Agnes, menjadi dokter tidak sekadar bekerja tetapi juga pengabdian. Ia ingin melayani Tuhan dengan cara melayani orang-orang yang paling membutuhkan, yang sakit, miskin, lemah, dan tersingkir.
Ia yakin, pengalaman yang akan didapatkan selama menjadi dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) pasti akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi hidupnya. Ini menjadi bekal untuk pembelajaran di masa yang akan datang. "Pandangan saya waktu itu adalah apabila saya bisa melayani di tempat yang cukup 'sulit', pasti akan memberi saya hati untuk melayani dengan kasih dan rasa kemanusiaan, di mana pun saya ditugaskan kelak," ungkapnya.
Keinginan hati
Setelah menyelesaikan kuliah pada 2010, keinginan Agnes sangat besar untuk dapat 'menginjakkan' kaki dan bekerja sebagai dokter di tanah Papua. Walaupun tak punya alasan pasti mengapa memilih Papua, ia mengaku kerinduan itu sudah ada sejak lama. "Saya ingin melayani di Papua, tetapi saya tidak tahu harus ke Papua sebelah mana. Keputusan saya untuk memilih Nabire tentu dipengaruhi berbagai macam pemikiran dan pertimbangan," ujar perempuan yang gemar travelling dan fotografi ini.
Kebetulan ia mengenal seorang frater yang pernah berkarya di Nabire. Ia menghubunginya untuk meminta gambaran mengenai suasana dan medan di sana. Setelah melalui proses pendaftaran, ia diberangkatkan ke Nabire oleh Kementerian Kesehatan.
Kemudian, Agnes menjalani PTT di puskesmas yang terletak di Desa Wanggar Sari, Nabire, Papua, sejak April 2011. Puskesmas tempatnya bekerja masih bisa ditempuh dengan jalan darat. Saat pertama kali ia datang, kondisi jalan sangat rusak. Ia tinggal di rumah dinas dokter yang letaknya masih di area puskesmas. Di tempat itu, penerangan listrik hanya enam jam sehari mulai pukul 18.00-24.00 WIT.
Aktivitas sehari-hari ia jalankan baik sebagai dokter maupun sebagai anggota masyarakat. Tugas utama putri sulung dari dua bersaudara ini memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas tempatnya bertugas.
Ia bersama staf puskesmas yang lain juga mengadakan penyuluhan kesehatan, terutama di sekolah-sekolah di distrik wilayah kerja puskesmas. Rutinitas sepanjang jam dinas bisa dibilang tidak terlalu bervariasi. Sepulang kerja terasa sepi dan membosankan karena tak ada listrik. Apabila tidak terlalu lelah, ia berjalan-jalan, terkadang sampai ke desa sebelah. "Sekadar untuk melihat-lihat suasana desa, singgah di rumah warga, atau bermain dengan anak-anak kecil," kisahnya.
Ia juga melibatkan diri dalam kegiatan bakti sosial bersama dokter-dokter lain. "Selain itu, tiap satu atau dua minggu sekali, saya menghabiskan weekend di kota. Saya bergabung dengan kor paroki yang kebetulan mempunyai jadwal latihan tiap Minggu dan Senin."
Mencoba bertahan
Menjejakkan kaki di tanah yang baru bukanlah hal yang mudah. Di benak Agnes muncul kekhawatiran, apakah ia mampu bertahan dan diterima oleh masyarakat, serta mampu mengatasi kendala yang mungkin timbul. Berbagai pertanyaan terus mengitari pikirannya. Tapi, Agnes yakin bahwa jika ia datang dengan niat yang baik, pasti akan membuahkan hasil yang baik pula. Dan kekhawatiran itu perlahan sirna.
Ia mengaku tidak terlalu sulit untuk beradaptasi di Papua. Tidak sesulit yang ia bayangkan sebelumnya. Ia disambut baik masyarakat setempat, baik oleh penduduk asli maupun pendatang. Tidak banyak usaha yang ia lakukan untuk menyesuaikan diri. "Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya saya lakukan," kisahnya.
Dengan segala kemampuan yang ia miliki, ia berusaha beradaptasi dengan masyarakat. "Saya mencoba membaur dengan masyarakat dan berusaha menjadi bagian dari mereka," ujar warga Paroki Santa Anna, Jakarta Timur ini.
Sebagai dokter yang berhadapan langsung dengan orang sakit, ia melihat bahwa derajat kesehatan di Desa Wanggar Sari masih sangat rendah. Tingkat kebersihan yang kurang mengakibatkan angka penderita berbagai penyakit cenderung tinggi. Keadaan ini dipersulit lagi dengan tingkat ekonomi yang rendah dan sulitnya transportasi. Mereka yang sakit baru mencari petugas kesehatan saat kondisi sudah parah.
Kenyataan lain yang membuatnya miris adalah tingginya angka penderita HIV/AIDS. Jumlah pengidap HIV/AIDS di Nabire menduduki peringkat kedua se-Papua.
Mengabdi
Agnes memaknai keberadaannya di tanah Papua bukan sekadar bekerja, tetapi sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian. Apabila di sini ia sekadar bekerja, pasti akan banyak keluhan dan ketidakpuasan. Ia datang untuk melayani. Ia sedang diutus Tuhan untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya. "Sebagai seorang ‘utusan', sudah sepantasnya saya memberikan yang terbaik bagi Dia yang mengutus saya."
Di Papua, Agnes merasakan 'latihan' yang cukup keras untuk batinnya. Di sini ia bisa berkarya menjadi 'woman for and with others'. "Ketika saya mengalami kesesakan, tetapi mampu bersyukur, di situlah hadir rasa damai secara nyata," ungkapnya. Ia mengaku menemukan kebahagiaan sejati, saat ia mengerti bahwa manusia diciptakan untuk berbagi hidup dengan sesama yang membutuhkan.
Perjumpaannya dengan orang-orang lemah, miskin, dan tersingkir dianggapnya menjadi cara 'perjumpaan' dengan Tuhan. Melalui orang-orang sakit, anak-anak yang polos, perempuan Papua yang bekerja keras, ia banyak belajar mengenai kehidupan. "Saya sungguh bersyukur, karena saya memperoleh kesempatan untuk dapat menjadi bagian dari mereka," tuturnya.
Agnes juga bersyukur karena pengalaman di Papua membuatnya belajar melayani dengan gembira, mencintai dengan tulus, dan memberi tanpa mengharapkan imbalan. Pengalaman suka duka dalam pengabdiannya di Papua, ia rasakan sebagai tempaan yang menguatkannya.
Tuhan mendidiknya dengan tempaan agar lebih sabar, lebih bersahabat, dan juga lebih bertahan dalam kesepian dan keterbatasan. "Segala yang saya alami dan rasakan di Papua, niscaya tidak akan berlalu begitu saja, tetapi makin menguatkan saya," tandasnya.
Bagi Agnes, melayani di tanah Papua dirasakannya sebagai bentuk pengabdiannya dan sebuah proses memurnikan hati. Ia belajar untuk selalu bersyukur setiap waktu, sabar, mandiri, dan bekerja keras, serta berbesar hati.
Ivonne Suryanto
HIDUPKATOLIK.com
0 komentar:
Post a Comment