JAKARTA - Memasuki
14 tahun pasca-tumbangnya Orde Baru di bawah Soeharto, Komisi Untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sejumlah
kemajuan dan kemunduran dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Dari
kesimpulan KontraS, Hak Asasi Manusia hanya tren zaman pasca-otoritarian
semata tanpa mendapatkan tempat dalam pemenuhan dan perlindungannya.
"Terutama dalam tujuh tahun terakhir," kata Koordinator KontraS Haris Azhar, Minggu (20/5). Dia membeberkan ada tiga kemajuan soal hak asasi. Pertama, kemajuan dalam soal legislasi atau aturan perundang-undangan di bidang HAM.
Kedua, kemajuan legislasi soal HAM yang hanya sampai pada tahun 2005-2007. Ketiga, kemajuan penggunaan HAM dalam diplomasi dan politik internasional. Sayangnya, wacana HAM hanya digunakan untuk memuluskan pengakuan internasional kepada Indonesia.
"Di antara tiga kemajuan tersebut menjadi tidak signifikan mengingat masih terdapat tiga kemunduran dalam konteks HAM," katanya.
Kemunduran pertama adalah masih banyak legislasi yang anti-HAM, dan masih adanya aturan-aturan lama yang belum dicabut maupun aturan-aturan baru yang mengancam identitas, kepemilikan adat dan kebebasan sipil. Parahnya, pemerintah gagal melakukan penyesuaian atas aturan-aturan yang ada sesuai jaminan hak asasi sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai aturan HAM lainnya.
Kedua, praktek kekerasan makin gencar. Bahkan negara memberikan dukungan atau perlindungan kepada pelaku kekerasan lain seperti organisasi massa dan perusahaan-perusahaan.
Ketiga, sistem dan mekanisme akuntabilitas negara dalam soal kekerasan yang buruk dan diskriminatif. Institusi negara lebih memilih penyelesaian dalam institusinya, namun berbeda dengan masyarakat sipil yang dengan mudah menjadi korban rekayasa kasus.
Upaya koreksi terhadap peristiwa dan kebijakan pelanggaran HAM sangat rendah diakomodir. "Lihatlah Aceh, dibuat perdamaian tapi tanpa keadilan. Papua terus didiskriminasi dan dibiarkan berhadapan dengan kekerasan," kata dia.
Menurutnya, Presiden SBY dan pemerintahan hasil koalisi hanya berorientasi memelihara kursi kekuasaannya. "Semuanya demi pengamanan kedudukan SBY sampai 2014," katanya.
Hal ini, kata dia, membuat kemandulan dan kecerdasan politik Pemerintahan SBY untuk bisa dan berani menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dari Aceh sampai Papua, dari waktu lampau hingga kini. Akibatnya para pelaku pelanggaran HAM bebas berkeliaran berbisnis dan berpolitik menguasai sektor-sektor publik.
"14 tahun paska Soeharto, tidak memberikan batas jelas dan tegas apa yang dimaksud keadilan, perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat, terlebih bagi para korban," kata Haris.
Ditambahkan pula bahwa14 tahun pasca-mundurnya Soeharto, tidak ada satu pun kasus-kasus kejahatan di masa otoritarian Orde Baru seperti pelanggaran HAM berat, korupsi dan perampasan tanah rakyat yang diselesaikan. "Para pelakunya bebas leluasa, bahkan ada yang menjadi menteri, wakil menteri, penasehat Presiden, calon presiden dan berbagai posisi lainnya. Gawat, situasi ini justru mengamankan kroni kekerasan rezim orde baru," pungkasnya. (boy/jpnn)
Sumber: JPPN.COM
0 komentar:
Post a Comment