SEHARUSNYA tidak ada dikotomi kota-desa. Bukan
berarti semua desa berubah jadi kota. Desa tetap desa. Cuma fasilitas
yang diperlukan rakyat di desa serba tersedia. Sementara kita sekarang
selalu membandingkan kota-desa dengan perbedaan fasilitas. Tidak seperti
itu. Sebenarnya tidak harus ada dikotomi kota-desa. Karena fasilitasnya
sudah sama. Karena Rumah Sakit (RS) yang lengkap ada di desa. Sekolah
yang bermutu ada di desa. Jadi tak usah membawa orang sakit ke RS yang
ada di Kota Provinsi atau Kabupaten/Kota. Karena ditengah jalan saja
pasien yang sedang sakit parah itu bisa meninggal.
Ke depan memang wawasan pembangunan kita harus
begitu, mengkotakan desa. Artinya fasilitas yang ada di kota tersedia di
desa. Sehingga orang desa (Indonesia) tak perlu datang ke kota-kota
besar. Mereka tidak perlu lagi seperti itu. Karena di desa-desa mereka
sendiri sudah banyak pekerjaan.
Meski sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum punya modal besar untuk membangun seperti itu, tapi kita harus punya perencanaan semacamnya. Mungkin sementara dibangun dulu sentra-sentra tempat bisnis dan pasar perdagangan. Beberapa tempat misalnya kita ambil Provinsi yang paling terbelakang, yakni Provinsi Papua. Sebuah daerah yang rawan. Papua terkenal kerawanannya karena kurangnya soal keadilan di sana. Kita fasilitasi pembangunan di Papua sebanyak-banyaknya di sana, sehingga desa-desa di Papua jadi menarik.
Sehingga OPM (Organisasi Papua Merdeka) tak ada. Contoh wilayah Quebec yang berbahasa Perancis di Kanada. Ia merupakan satu bagian negara Kanada. Pemerintah pusat Federal Kanada luar biasa berani mengadakan referendum. Hasilnya 52% rakyat Quebec pro pemerintah dan yang memihak negara Quebec merdeka Cuma dapat 48%. Di sini yang anti Kanada, kalah.
Kenapa demikian, karena rakyat Quebec telah menikmati kemakmuran, Clean Governmen dan lainnya. Rakyat Quebec berpikir, kita lagi enak-enak begini, Negara Kanada menjamin kemakmuran mereka, kenapa harus memisahkan diri dengan target yang belum tentu? Belum tentu bahagia di negara yang baru terbentuk itu (negara Quebec).
Oke kita tidak bikin referendum, karena kita NKRI. Tapi coba kita sejahterakan rakyat Papua dan Aceh. Maka pikiran saparatisme akan hilang dari rakyat Papua dan Aceh. Karena mereka sudah merasa beruntung punya negara yang mempedulikan diri mereka. Dia tidak mau berpisah dari Indonesia. Justru mereka akan berterimakasih kepada negeri ini.
Bila rakyat dianggap malas, tapi pemerintah bisa membina dan mendidik mereka supaya mereka berkualitas, berketerampilan dan SDM (Sumber Daya Manusia) nya bagus dan bermutu tinggi. Mereka juga rakyat kita. Jangan pemerintah selalu mengeluh. Tapi sebaliknya kita harus berbuat, yang malas kita bikin jadi punya jiwa dan etos rajin. Kita buat peluang-peluang usaha-kerja. Kalau sudah begitu, mustahil mereka tak mau kerja juga?
Mereka perlu hidup, makan, maka itu beri mereka usaha/kerja. Agar mereka bisa hidup layak, berfasilitas. Fasilitas hidup mereka disediakan negara. Maka lambat laun dengan sendirinya OPM dan GAM tak lalu lagi bagi orang Papua dan Aceh. Mereka tak mau lagi jadi anggota OPM dan GAM.
Orang-orang Papua yang belajar di SMA Cederawasih Pondokarya Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel) yang kami didik di sini, rata-rata cerdas. Mereka bisa dan lancar sekali berbahasa Inggris. Kemajuan mereka tergantung pendidikan dan pembinaan pemerintah dalam memberdayakan rakyat di sana (Papua). Sehingga akhirnya mereka punya kesan maslahat NKRI itu sudah bisa dirasakan.
Latar belakang referandum Timor Timur (Timur Leste sekarang) lepas dari tangan Indonesia karena hal yang sama. Karena kurangnya Indonesia memakmurkan mereka. Tapi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga menghargai juga sesama manusia (HAM). Jangan kita merendahkan yang lain atau individu masing-masing. Kita kan sama, bangsa yang satu, satu negara (NKRI). Peran pemerintah kalau begitu apa?
Perannya kan melayani dan mengayomi rakyat, bukan dilayani.. Sehingga pelayanan itu dapat dirasakan dan menyentuh rakyat. Apalagi rakyat yang membutuhkan. Kita bangun sikap-sikap hidup saling menghargai antar etnis. Tidak boleh kita bilang ini terbelakang. Tak usah kata-kata seperti itu keluar dari mulut kita. Kewajiban kita semua mengentaskan problema keterbelakangan. Mereka bangsa kita juga. Bangsa kita bagus dan bangsa kita jelek, kita juga yang menerima akibatnya. Kenapa kita tidak membantu mereka agar bagus, maju dan modern?
Bila kita telah tahu faktanya seperti itu, keterbelakangan. Lalu ada tidak bantuan kita untuk mengubah mereka kepada kemajuan? Bila kita biarkan mereka, bila kita adakan pembiaran, kapan bisa berubah nasib mereka? Mereka mau maju dan berubah, tapi mereka tidak tahu jalan keluarnya. Di sini peran negara memberikan solusi (jalan keluar) bagi rakyat Papua. Atau mengirim ribuan anak usia sekolah ke sekolah-sekolah di Provinsi Indonesia yang maju seperti Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Jakarta dan lain sebagainya. Sebetulnya lebih baik justru mereka dididik di tanah air mereka sendiri (Papua). Yakni pemerintah membangun sekolah-sekolah berkualitas di daerah-daerah semacam Papua atau daerah-daerah perbatasan. Jangan membangun sekolah-sekolah berkualitas hanya di Pulau Jawa saja. Bikin gedung sekolah yang kuat, besar, bagus, sarananya lengkap dan gaji guru yang lumayan tinggi dan para gurunya bermutu tinggi.
Tapi pada kenyataannya, guru dan Kepala Sekolah tak ada. Yang jadi guru justru penjaga sekolah asli sana (Papua). Karena guru dan Kepala Sekolah tak ada. Hal seperti itu kenapa kita biarkan? Teknologi informasinya juga ada. Infrastrukturnya pun harus ada, kenapa tidak ada? Semua ini hanya pemerintah yang bisa menjawab. Bangun dan dirikan sekolah-sekolah di gunung-gunung, di desa-desa yang jauh lengkap dengan sarana dan guru.
DPR/DPD/DPRD di Papua tidak pernah bicara masalah ini? Kayaknya mereka tidak bersuara? Saya juga tidak tahu, kenapa hal ini dibiarkan berkali-kali saya lihat di TV. Bagaimana sekolah di Papua sana? Kenapa mereka tidak diprioritaskan dan diperhatikan terus menerus? Berapa tahun Papua sudah ikut Indonesia?
Mungkin saja ada Provinsi seperti Papua, kita tidak tahu terutama di pulau-pulau atau perbatasan terluar, misalnya saya pernah lihat di TV. Ada SD di Kalimantan Barat yang jadi guru sekolah tentara perbatasan, karena guru tak ada. Bagus mereka berpartisipasi, tapi jumlah dan pengajar mereka terbatas. Mereka bukan guru sebenarnya. Kita hormati mereka karena mereka peduli. Prioritas utama sekolah adalah guru. Kemudian prioritas utama dan kebutuhan hidup tenaga guru lengkapi.
Kalau bisa semua sarana dilengkapi. Sehingga kualitas rakyat antara kota dan desa kita sama. Sekarang harusnya kita berpikir pulau-pulau dan perbatasan-perbatasan terluar dibangun fasilitas sekolah yang bagus-bagus supaya mereka merasa diperhatikan. Sehingga kehidupan mereka suatu hari bisa meningkat.
Kemudian guru-guru yang mau ditugaskan di sana bila perlu diberi gaji dua kali lipat lebih besar dari guru-guru di kota. Dan bila mereka mengurus gaji jangan dipersulit. Bila mereka mengurus naik golongan dari Dinas Pendidikan bukan mereka yang mendatangi, tapi justru Staf Dinas Pendidikan itu yang menemuinya.
Dia mengurus kenaikan golongan saat ini melalui darat dan laut. Lamanya sampai 2 minggu ditempuh untuk pergi dan pulang. Naik perahu harus pelayanan negara, bukan seperti itu. Mereka jangan keluar dari kelas atau sekolah, tapi diperhatikan kenaikan pangkat dan golongannya. Kita datang ke sana (Papua atau Perbatasan terluar). Kita ambil datanya. Ini tugas pelayanan Dinas Pendidikan Dasar, Menengah, Tinggi dan birokrasi kepada para guru.
Sehingga guru itu tidak betah karena merasa sulit sekali tak mendapatkan pelayanan prima. Mereka tersiksa, maka banyak yang meninggalkan tugas mengajar begitu saja. Akhirnya berhenti dan pindah mengajar di kota, kenapa? Karena mereka tidak dipedulikan. Mereka pada lari ke kota-kota besar. Kita bersyukur dan kagum kepada pegawai/penjaga sekolah yang jadi dan menggantikan guru, meski ilmunya terbatas dia lakukan itu demi kelanjutan proses pendidikan anak-anak Papua.
Tapi kan itu tidak boleh berlarut-larut demikian. Jadi mereka tertinggal karena pengelolaan pendidikan di sana salah. Kita punya orientasi Jakarta Centris. Jakarta hendaknya jadi pusat saja dan bukan tempat tujuan mengajar. Bahwa semua perlengkapan dan kelengkapan pendidikan di Papua dan perbatasan terluar jadi tanggung jawab Provinsi DKI Jakarta. Pusat jangan memikirkan DKI Jakarta saja. Tapi pikirkan dan prioritaskan daerah-daerah terpencil.
Jangan mengurus kota-kota seperti Jakarta saja. Orang-orang kota kan banyak yang kaya. Biarkan saja kota, kita jangan berpikir bekerja di kota banyak uang. Dan di desa-desa kering. Kita melayani, bukan cari duit di Jakarta, kita sudah punya gaji dan tunjangan-tunjangan, kenapa masih mau cari uang lagi kepada rakyat? Padahal seharusnya dia yang memberi uang kepada rakyat.
Harusnya ada prinsip ‘melayani’ dan jangan ‘dilayani’, ini harus dipakai dalam perbuatan nyata. Bila ada orang mengurus sesuatu, dia ngasih duit, kalau perlu, tolak birokrat pemerintah yang seperti itu. Contoh pengurusan suatu surat di Belanda, ada yang ngasih amplop berisi mata uang gulden. Pegawai pemerintah itu mengejar orang yang memberi amplop. “Jangan melakukan ini, tidak boleh di sini,” katanya sambil mengembalikan amplop kepada orang itu.
“Di negara saya Belanda tidak boleh melakukan ini. Pemerintah memberikan gaji pada saya sudah cukup besar,” kata pegawai Belanda. Lalu kenapa kita tidak melakukan dan mencontoh seperti itu? Berarti prinsip birokrasi Belanda ‘melayani’ bukan ‘dilayani’. Saya mengharapkan pemeritnah kita ke depan siapa pun yang jadi presiden RI ke-7 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti agar menerima sebagai amanat. Contoh pemimpin-pemimpin kita yang jujur. ***
Meski sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum punya modal besar untuk membangun seperti itu, tapi kita harus punya perencanaan semacamnya. Mungkin sementara dibangun dulu sentra-sentra tempat bisnis dan pasar perdagangan. Beberapa tempat misalnya kita ambil Provinsi yang paling terbelakang, yakni Provinsi Papua. Sebuah daerah yang rawan. Papua terkenal kerawanannya karena kurangnya soal keadilan di sana. Kita fasilitasi pembangunan di Papua sebanyak-banyaknya di sana, sehingga desa-desa di Papua jadi menarik.
Sehingga OPM (Organisasi Papua Merdeka) tak ada. Contoh wilayah Quebec yang berbahasa Perancis di Kanada. Ia merupakan satu bagian negara Kanada. Pemerintah pusat Federal Kanada luar biasa berani mengadakan referendum. Hasilnya 52% rakyat Quebec pro pemerintah dan yang memihak negara Quebec merdeka Cuma dapat 48%. Di sini yang anti Kanada, kalah.
Kenapa demikian, karena rakyat Quebec telah menikmati kemakmuran, Clean Governmen dan lainnya. Rakyat Quebec berpikir, kita lagi enak-enak begini, Negara Kanada menjamin kemakmuran mereka, kenapa harus memisahkan diri dengan target yang belum tentu? Belum tentu bahagia di negara yang baru terbentuk itu (negara Quebec).
Oke kita tidak bikin referendum, karena kita NKRI. Tapi coba kita sejahterakan rakyat Papua dan Aceh. Maka pikiran saparatisme akan hilang dari rakyat Papua dan Aceh. Karena mereka sudah merasa beruntung punya negara yang mempedulikan diri mereka. Dia tidak mau berpisah dari Indonesia. Justru mereka akan berterimakasih kepada negeri ini.
Bila rakyat dianggap malas, tapi pemerintah bisa membina dan mendidik mereka supaya mereka berkualitas, berketerampilan dan SDM (Sumber Daya Manusia) nya bagus dan bermutu tinggi. Mereka juga rakyat kita. Jangan pemerintah selalu mengeluh. Tapi sebaliknya kita harus berbuat, yang malas kita bikin jadi punya jiwa dan etos rajin. Kita buat peluang-peluang usaha-kerja. Kalau sudah begitu, mustahil mereka tak mau kerja juga?
Mereka perlu hidup, makan, maka itu beri mereka usaha/kerja. Agar mereka bisa hidup layak, berfasilitas. Fasilitas hidup mereka disediakan negara. Maka lambat laun dengan sendirinya OPM dan GAM tak lalu lagi bagi orang Papua dan Aceh. Mereka tak mau lagi jadi anggota OPM dan GAM.
Orang-orang Papua yang belajar di SMA Cederawasih Pondokarya Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel) yang kami didik di sini, rata-rata cerdas. Mereka bisa dan lancar sekali berbahasa Inggris. Kemajuan mereka tergantung pendidikan dan pembinaan pemerintah dalam memberdayakan rakyat di sana (Papua). Sehingga akhirnya mereka punya kesan maslahat NKRI itu sudah bisa dirasakan.
Latar belakang referandum Timor Timur (Timur Leste sekarang) lepas dari tangan Indonesia karena hal yang sama. Karena kurangnya Indonesia memakmurkan mereka. Tapi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga menghargai juga sesama manusia (HAM). Jangan kita merendahkan yang lain atau individu masing-masing. Kita kan sama, bangsa yang satu, satu negara (NKRI). Peran pemerintah kalau begitu apa?
Perannya kan melayani dan mengayomi rakyat, bukan dilayani.. Sehingga pelayanan itu dapat dirasakan dan menyentuh rakyat. Apalagi rakyat yang membutuhkan. Kita bangun sikap-sikap hidup saling menghargai antar etnis. Tidak boleh kita bilang ini terbelakang. Tak usah kata-kata seperti itu keluar dari mulut kita. Kewajiban kita semua mengentaskan problema keterbelakangan. Mereka bangsa kita juga. Bangsa kita bagus dan bangsa kita jelek, kita juga yang menerima akibatnya. Kenapa kita tidak membantu mereka agar bagus, maju dan modern?
Bila kita telah tahu faktanya seperti itu, keterbelakangan. Lalu ada tidak bantuan kita untuk mengubah mereka kepada kemajuan? Bila kita biarkan mereka, bila kita adakan pembiaran, kapan bisa berubah nasib mereka? Mereka mau maju dan berubah, tapi mereka tidak tahu jalan keluarnya. Di sini peran negara memberikan solusi (jalan keluar) bagi rakyat Papua. Atau mengirim ribuan anak usia sekolah ke sekolah-sekolah di Provinsi Indonesia yang maju seperti Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Jakarta dan lain sebagainya. Sebetulnya lebih baik justru mereka dididik di tanah air mereka sendiri (Papua). Yakni pemerintah membangun sekolah-sekolah berkualitas di daerah-daerah semacam Papua atau daerah-daerah perbatasan. Jangan membangun sekolah-sekolah berkualitas hanya di Pulau Jawa saja. Bikin gedung sekolah yang kuat, besar, bagus, sarananya lengkap dan gaji guru yang lumayan tinggi dan para gurunya bermutu tinggi.
Tapi pada kenyataannya, guru dan Kepala Sekolah tak ada. Yang jadi guru justru penjaga sekolah asli sana (Papua). Karena guru dan Kepala Sekolah tak ada. Hal seperti itu kenapa kita biarkan? Teknologi informasinya juga ada. Infrastrukturnya pun harus ada, kenapa tidak ada? Semua ini hanya pemerintah yang bisa menjawab. Bangun dan dirikan sekolah-sekolah di gunung-gunung, di desa-desa yang jauh lengkap dengan sarana dan guru.
DPR/DPD/DPRD di Papua tidak pernah bicara masalah ini? Kayaknya mereka tidak bersuara? Saya juga tidak tahu, kenapa hal ini dibiarkan berkali-kali saya lihat di TV. Bagaimana sekolah di Papua sana? Kenapa mereka tidak diprioritaskan dan diperhatikan terus menerus? Berapa tahun Papua sudah ikut Indonesia?
Mungkin saja ada Provinsi seperti Papua, kita tidak tahu terutama di pulau-pulau atau perbatasan terluar, misalnya saya pernah lihat di TV. Ada SD di Kalimantan Barat yang jadi guru sekolah tentara perbatasan, karena guru tak ada. Bagus mereka berpartisipasi, tapi jumlah dan pengajar mereka terbatas. Mereka bukan guru sebenarnya. Kita hormati mereka karena mereka peduli. Prioritas utama sekolah adalah guru. Kemudian prioritas utama dan kebutuhan hidup tenaga guru lengkapi.
Kalau bisa semua sarana dilengkapi. Sehingga kualitas rakyat antara kota dan desa kita sama. Sekarang harusnya kita berpikir pulau-pulau dan perbatasan-perbatasan terluar dibangun fasilitas sekolah yang bagus-bagus supaya mereka merasa diperhatikan. Sehingga kehidupan mereka suatu hari bisa meningkat.
Kemudian guru-guru yang mau ditugaskan di sana bila perlu diberi gaji dua kali lipat lebih besar dari guru-guru di kota. Dan bila mereka mengurus gaji jangan dipersulit. Bila mereka mengurus naik golongan dari Dinas Pendidikan bukan mereka yang mendatangi, tapi justru Staf Dinas Pendidikan itu yang menemuinya.
Dia mengurus kenaikan golongan saat ini melalui darat dan laut. Lamanya sampai 2 minggu ditempuh untuk pergi dan pulang. Naik perahu harus pelayanan negara, bukan seperti itu. Mereka jangan keluar dari kelas atau sekolah, tapi diperhatikan kenaikan pangkat dan golongannya. Kita datang ke sana (Papua atau Perbatasan terluar). Kita ambil datanya. Ini tugas pelayanan Dinas Pendidikan Dasar, Menengah, Tinggi dan birokrasi kepada para guru.
Sehingga guru itu tidak betah karena merasa sulit sekali tak mendapatkan pelayanan prima. Mereka tersiksa, maka banyak yang meninggalkan tugas mengajar begitu saja. Akhirnya berhenti dan pindah mengajar di kota, kenapa? Karena mereka tidak dipedulikan. Mereka pada lari ke kota-kota besar. Kita bersyukur dan kagum kepada pegawai/penjaga sekolah yang jadi dan menggantikan guru, meski ilmunya terbatas dia lakukan itu demi kelanjutan proses pendidikan anak-anak Papua.
Tapi kan itu tidak boleh berlarut-larut demikian. Jadi mereka tertinggal karena pengelolaan pendidikan di sana salah. Kita punya orientasi Jakarta Centris. Jakarta hendaknya jadi pusat saja dan bukan tempat tujuan mengajar. Bahwa semua perlengkapan dan kelengkapan pendidikan di Papua dan perbatasan terluar jadi tanggung jawab Provinsi DKI Jakarta. Pusat jangan memikirkan DKI Jakarta saja. Tapi pikirkan dan prioritaskan daerah-daerah terpencil.
Jangan mengurus kota-kota seperti Jakarta saja. Orang-orang kota kan banyak yang kaya. Biarkan saja kota, kita jangan berpikir bekerja di kota banyak uang. Dan di desa-desa kering. Kita melayani, bukan cari duit di Jakarta, kita sudah punya gaji dan tunjangan-tunjangan, kenapa masih mau cari uang lagi kepada rakyat? Padahal seharusnya dia yang memberi uang kepada rakyat.
Harusnya ada prinsip ‘melayani’ dan jangan ‘dilayani’, ini harus dipakai dalam perbuatan nyata. Bila ada orang mengurus sesuatu, dia ngasih duit, kalau perlu, tolak birokrat pemerintah yang seperti itu. Contoh pengurusan suatu surat di Belanda, ada yang ngasih amplop berisi mata uang gulden. Pegawai pemerintah itu mengejar orang yang memberi amplop. “Jangan melakukan ini, tidak boleh di sini,” katanya sambil mengembalikan amplop kepada orang itu.
“Di negara saya Belanda tidak boleh melakukan ini. Pemerintah memberikan gaji pada saya sudah cukup besar,” kata pegawai Belanda. Lalu kenapa kita tidak melakukan dan mencontoh seperti itu? Berarti prinsip birokrasi Belanda ‘melayani’ bukan ‘dilayani’. Saya mengharapkan pemeritnah kita ke depan siapa pun yang jadi presiden RI ke-7 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti agar menerima sebagai amanat. Contoh pemimpin-pemimpin kita yang jujur. ***
Sumber;
http://madina.co.id/index.php/opini/6079-pemerintah-harus-berpihak-kepada-rakyat
0 komentar:
Post a Comment