Socratez
: Misi Utama Pelayanan Gereja Dilumpuhkan Sistim NKRI
Pemerintah
Republik Indonesia didesak membebaskan tanpa syarat semua tahanan politik di
Tanah Papua seperti: Filep Karma, Forkorus Yabisembut dan kawan-kawan. Desakan
itu diungkapkan Pdt. Socratez Sofyan Yoman,MA, terkait dengan peringatan
hari HAM se-Dunia 10 Desember, kemarin. Socrates mengatakan, pembela HAM
di Papua telah melakukan pemantauan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor
seperti, Polisi, TNI dan Aparat Penegak Hukum dan kelompok sipil bersenjata
sepanjang tahun 2012. Sekitar 90- an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran
Hak Asasi Manusia telah terjadi dan dilakukan di seluruh tanah Papua.
Dengan
semangat mencari keadilan, perdamaian dan membangun kerjasama dan
kemitraan disertai pemahaman bahwa Pemerintah wajib bertanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia sebagaimana
diamanatkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Forkorus cs, Dalam Persidangan |
“
Maka pada peringatan hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2012, kami
Pembela HAM, mendesak agar Pemerintah Republik Indonesia mengambil
langkah-langkah untuk mengimplementasikan hal-hal sebagai berikut,”katanya.
Pertama, sebagai bentuk kewajiban
konstitusionalnya untuk melindungi hak-hak warga negara, maka Pemerintah
Republik Indonesia harus memastikan bahwa perlakuan dan hukuman yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk yang ditujukan kepada para tahanan politik
dan warga sipil Papua, harus dilarang secara eksplisit di dalam aturan dan
kebijakan serta praktik-praktik penegakan hukum. Penyiksaan harus didefinisikan
dan dikriminalisasi sebagai tanda konkrit komitmen Indonesia untuk menerapkan
pasal 1 dan 4 Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi dengan
Undang-Undang No 5 tahun 1998.
Kedua, melakukan perubahan kebijakan yang
memandang warga Papua sebagai korban. Apabila harus melalui proses hukum maka
rehabilitasi hendaknya menjadi pilihan dan bukannya pemenjaraan. Untuk
itu, di saat yang sama diperlukan pula upaya-upaya untuk penyadaran masyarakat
secara lebih luas mengenai korban sipil di Papua dan melakukan pengawalan terhadap
kebijakan Pemerintah di Indonesia.
Ketiga, memastikan bahwa sistem peradilan
pidana makar terhadap para tersangka bersifat non-diskriminatif di setiap
tahapan dan mengambil tindakan-tindakan efektif memberantas gerakan
kriminalisasi oleh aparat Negara dan bertanggung jawab atas administrasi
peradilan, termasuk Hakim, Jaksa, Polisi dan staf Lembaga Pemasyarakatan,
secara efektif dan efisian demi keadilan dan perdamaian kita.
Keempat, semua tahanan politik Papua
harus dijamin hak-haknya sebagai subyek hukum dan menolak penahanan yang tidak
sah di hadapan pengadilan, atau menggunakan mekanisme pra-peradilan. Dalam hal
ini, Pengakuan yang dibuat oleh tahanan pada kasus makar tanpa kehadiran
pengacara dan tidak dikonfirmasi di hadapan hakim, tidak dapat diterima sebagai
bukti terhadap orang yang membuat pengakuan.
Kelima, pemerintah perlu membangun
mekanisme pengaduan yang dapat diakses dan efektif. Mekanisme ini harus
dapat diakses dimana pun dan dari semua tempat penahanan dan pengaduan oleh
tahanan harus diikuti dengan penyelidikan independent dan menyeluruh oleh Institusi
Penegak Hukum maupun Institusi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Keenam, mendesak kepada Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), serta Ombudsman Republik Indonesia, untuk
menginisiasi Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang sepenuhnya independent untuk
menjalankan kunjungan-kunjungan ke semua tempat penahanan, khususnya bagi para tahanan
dalam kasus-kasus Makar atau tahanan politik, sebagai salah satu kewajiban dari
Pelaksanaan Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan.
Ketujuh, mendesak kepada Pemerintah
Republik Indonesia untuk segera menggelar Dialog Damai tentang masalah Papua
tanpa syarat yang dimediasi oleh pihak ke tiga dan harus menghentikan
Penyiksaan dan kekerasan di seluruh tanah Papua. Kedelapan, mendesak Pemerintah Republik Indonesia mengundang
Pelapor Khusus PBB anti penyiksaan dan penangkapan sewenang berkunjung ke
Papua.
Kesembilan,
mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membuka akses wartawan asing
kerkunjung ke Papua.
Kesepuluh, pemerintah Republik Indonesia
harus bertanggungjawab atas kasus pelanggaran HAM berat Abepura 7 Desember
2000, Wasior 2001 dan Wamena 2003 dan kasus lainnya yang sudah di selidiki oleh
Komnas HAM supaya segera dibawah dan diputuskan secara adil di pengadilan HAM.
Sementara
itu terkait dengan peran gereja di Papua, ia mengatakan misi utama gereja
selama ini sudah dilumpuhkan dengan sistem negara/pemerintahan di Indonesia.
Dimana
suara kenabian untuk membela umat Tuhan itu sudah tidak terdengar lagi. Apalagi
setelah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI dengan kekuatan militer, dan juga
melalui sejarah integrasi yang diawali dengan sejarah Pepera ‘Berdarah’, itu
terus berlangsung hingga hari ini. “Gereja alpa dan lupa bahwa Gereja pertama
kali datang ke Papua sebelum Indonesia datang. Gereja duluan datang pada 3 abad
yang lalu, yakni pada 5 Februari 1855,” ungkapya kepada wartawan usai membuka
Kongres Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP) di Gereja Baptis Wamena, Senin,
(10/12).
Dikatakan,
Gereja datang membangun rakyat Papua melalui pendidikan, agama, kesehatan, ekonomi,
juga masuk ke wilayah terpencil dengan membuka lapangan terbang dengan penerbangan
skala pesawat kecil yang penuh dengan resiko.
Para
misionaris datang hidup, makan dan berkumpul bersama rakyat Papua, dan
mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua. Situasi tersebut terbalik setelah
Indonesia menduduki Papua dan terus menjajah orang Papua, sementara Gereja
tidak berani mengkritis hal itu. Ditegaskan, selaku pimpinan gereja,
tidak hanya belajar soal Alkitab, namun juga belajar mengenai sejarah peradaban
Papua. Dari sejarah itu ia melihat ada ketidakbenaran, karena itu Gereja dalam
terang kuasa Kerajaan Allah, harus memberikan koreksi-koreksi yang sifatnya konstruktif
dan dinamik.
Ditandaskan,
selama ini Gereja (Hamba Tuhan,red) menyampaikan kalimat ‘Damai Sejahtera’, tapi umat Tuhan masih saja dibantai dengan stigmatisasi makar
dan OPM .
Dirinya
selaku pemimpin gereja tidak setuju akan pernyataan seperti itu, karena Firman
Tuhan dalam Kejadian, 1:26, menegaskan, Allah Berfirman mari kita jadikan
manusia seperti gambar dan rupa Allah. Karena manusia diberikan kuasa dan
diberkati supaya hidup diatas tanah yang Tuhan sudah berikan kepada dia. “Karena
itu saya akan terus berbicara, karena kami Gereja melayani, melihara dan turut merasakan
penderitaan (kegelisaan dan kesusahan) umat Allah. Dalam Indonesia ini tidak
ada masa depan bagi orang Papua. Hidup orang Papua tidak normal. Gereja harus
bicara ini, integritas manusia direndahkan dan martabat manusia dihancurkan,
ini tidak boleh,” tandasnya.
Dirinya
sampai kapanpun akan berbicara mengenai hal ini, mengenai nilai-nilai keadilan,
nilai-nilai kesamaan derajat, dan kebebasan setiap umat manusia tanpa
membedakan ras, etnis, budaya dan agama. (nls/don/L03)
Baca versi PDF klik di sini : www.dropbox.com
Sumber : Dpbx Via phaul-heger.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment