Seluruh cermin persoalan sosial dan politik di Papua akibat perlakuan
yang tidak adil dari pemerintah Indonesia melalui kebijakan
marginalisasi dan diskriminasi terhadap Papua mengemuka dalam sebuah
konferensi pekan ini di Papua.
Konferensi Nasional VI Jaringan Antariman Indonesia itu diadakan pada
19-24 Mei di Hotel Sentani Indah, Papua, bertajuk “Upaya Masyarakat
Papua memajukan Papua Tanah Damai, Telaah Kritis terhadap Kemajuan,
Tantangan, Harapan: Suara dari Tanah Papua.”
Dalam merespon fakta sosial politik Papua yang sangat mendambakan
terselenggaranya dialog antara Papua dan Jakarta agar terwujud Papua
Tanah Damai, Kasdam Cendrawasih Brigjen TNI Hinsa Siburian mewakili
Jenderal Moeldoko (Panglima TNI RI) justru sangat bertolakbelakang
dengan upaya-upaya dialog.
Menurutnya, dialog akan sangat tergantung dari sudut pandang siapa.
Bagi kami, sebagai alat negara, dialog politik sudah terlambat. Selesai.
Sebab, Papua menjadi wilayah NKRI yang diakui PBB. Jadi secara politik
sudah sah dari segi hukum, undang-undang, termasuk hukum internasional
(PBB) Papua bagian dari Indonesia.
Maka, katanya, yang diperlukan sekarang adalah membangun
kesejahteraan. Jika ingin melakukan dialog, hal itu memungkinkan melalui
otonomi khusus dimana masyarakat bisa menggunakan berbagai jalur atau
sarana untuk membicarakan setiap permasalahan kesejahteraan yang ada di
masyarakat.
Ia mengatakan, “Papua sama seperti wilayah-wilayah Indonesia yang
status hukum dan politiknya adalah tertib sipil. Sehingga, fungsi kami
sebagai TNI melakukan pembinaan teritorial dan membantu serta melindungi
masyarakat agar tidak terganggu. Kami mengambil peran agar Papua damai.
Karena itu operasi yang dilakukan kami, TNI, adalah trust building
dengan pendekatan terhadap masyarakat.”
Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra
menentang penolakan Kasdam tersebut untuk membuka dialog politik antara
Papua dan Jakarta.
Bagi Azra, membangun Papua Tanah Damai, maka dialog adalah
satu-satunya jalan. Bagaimanapun harus ada pihak pemerintah yang mau
berdialog dengan tokoh-tokoh atau pihak-pihak yang berkonflik. Demi
terciptanya perdamaian, pemerintah tidak perlu merasa rendah diri dengan
melakukan dialog dengan pihak-pihak tersebut.
Namun, Azyumardi memberikan catatan: perlu terobosan-terobosan bentuk
dialog, sebagaimana pernah dilakukan Jusuf Kalla di Aceh. Karena itu,
pemerintahan yang akan datang, yang terpilih dalam pemilu nanti menjadi
tumpuan harapan terhadap langkah-langkah progresif mengambil bentuk
dialog untuk Papua Tanah Damai.
Markus Haluk, Ketua Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah, Papua,
menjabarkan bahwa kompleksitas dan berlapisnya masalah di Papua menjadi
tantangan yang tidak mudah untuk menciptakan Papua Tanah Damai.
Menurutnya, distorsi sejarah, pelanggaran HAM, dan tingginya
ketimpangan pembangunan wilayah Papua yang menyebabkan perekonomian dan
pendidikan masyarakat di bawah garis kemiskinan adalah beberapa pokok
persoalan, dari banyak persoalan yang ada.
Sayangnya, katanya, pemerintah Indonesia menutup kemungkinan dialog
yang terbuka. Jalan kekerasan menjadi pilihan pemerintah menyelesaikan
masalah di Papua. Padahal, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan.
Fien Jarangga, aktivis perempuan Papua, mendeskripsikan situasi
ketidakadilan yang sama yang dihadapi warga Papua. Jika pemerintah
Indonesia punya niat baik untuk berdialog, maka suara perempuan Papua
yang menderita bertahun-tahun harus dilibatkan.
Ia mengatakan dialog itu harus memberikan ruang agar korban kekerasan
dan pelanggaran HAM perempuan diberi ruang untuk bersuara. Tujuannya
adalah mendengar dari mereka kepentingan dan pilihan dalam
merealisasikan kehidupan yang baik untuk ibu dan anak.
Sementara itu Pendeta Herman Saud menjelaskan bahwa misi agama-agama
dalam menciptakan persekutuan adalah untuk mewujudkan perdamaian. Karena
itu, agama-agama di Tanah Papua secara tegas menolak pihak-pihak yang
terus membuat Papua bergejolak, termasuk terhadap orang-orang Indonesia
yang jiwanya bukan Indonesia, karena menolak prinsip dasar negara ini,
Bhinneka Tunggal Ika.
Pendeta Saud menegaskan agar para pemimpin agama, masayarakat, dan
politik di Papua menghargai perbedaan sesuai dengan semangat UUD’45.
Untuk dapat menghidupkan damai, ujar Herman Saud, harus bisa
menghargai terlebih dahulu orang lain, yakni lain dan berbeda dalam
pekerjaan, agama, ideologi politik, dan sebagainya.
Sementara itu Pastor Pius, mengatakan bahwa situasi darurat itu
sampai pada praktik-praktik yang mengarah genosida terhadap orang Papua
sehingga populasi mereka di tanahnya sendiri tidak sampai 50 persen
dari seluruh penduduk Papua.
Past0r Pius kembali mengingatkan bahwa hal tersebut sebagai ancaman
kebhinnekaan. Pemerintah Indonesia sendiri mengkianati Bhinneka Tunggal
Ika.
Warga Papua, tambahnya, sudah tidak lagi percaya kepada
anggota-anggota DPR RI yang berasal dari Papua. “Mereka sudah tidak bisa
lagi bicara jujur tentang apa yang terjadi di Papua.”
Artikel ini dikirim oleh Elga Sarapung, koordinator Jaringan Antariman Indonesia di Papua.
0 komentar:
Post a Comment