Markas besar PBB di Jenewa, Swiss. (Credit: ABC) |
Isu intoleransi beragama di Indonesia dipertanyakan oleh delegasi dari Austria, Norwegia, Belanda, Jerman, dan Italia dan India.
Delegasi Austria misalnya menyatakan keprihatinannya terhadap penyerangan kepada kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyyah, Hindu dan Kristen serta kasus pelarangan pendirian rumah ibadah.
Sementara isu pelanggaran hak asasi di Papua antara lain disoroti oleh Jepang, swedia dan Swiss.
Meski menuai banyak kritikan, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa yang memimpin langsung delegasi Indonesia dalam sidang tersebut menegaskan Indonesia tetap memiliki komitmen yang kuat terhadap penegakkan hak asasi manusia.
Sementara, untuk beberapa insiden pelanggaran HAM yang berkaitan dengan agama, Marty menyebut hal itu sebagai akibat dinamika politik dan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, beberapa insiden sudah ditangani dengan penegakan hukum bagi para pelakunya.
Untuk masalah pelanggaran HAM di Papua, pemerintah Indonesia tetap mempercayakan solusi otonomi khusus dan pembentukan unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai solusi terbaik mengatasi konflik politik di kawasan tersebut.
Respon delegasi Indonesia dalam sidang ini menuai kritik juga dari kalangan para aktivis di Indonesia, terutama para pejuang hak asasi manusia.
Pemerintah Indonesia dinilai menutup-nutupi pelanggaran HAM di tanah air, karena penjelasan delegasi Indonesia dalam sidang itu dinilai jauh dari realitas.
"Pelaku intoleransi beragama dan kekerasan di Papua disebutkan sudah dihukum sesuai ketentuan, padahal kita tahu aparat yg terlibat kasus kekerasan dihukum sangat ringan tiga sampai sembilan bulan untuk perbuatan yg masuk kategori pelanggaran HAM berat," kata Rafendi Djamin, Direktur Human Right Working Group yang menghadiri sidang UPR di Jenewa.
Peran pelapor khusus
Selain masalah intoleransi beragama dan Papua, yang juga mendapat sorotan adalah kondisi perlindungan perempuan dan anak, pendidikan, kesehatan, reformasi hukum dan ratifikasi sejumlah aturan internasional seperti Statuta Roma soal Pengadilan kriminal Indonesia.
Namun PBB tidak saja hanya melontarkan kritikan, melainkan juga memberikan sejumlah rekomendasi dalam sidang tersebut. Dalam mekanisme sidang ini, Indonesia diberi waktu selama tidak lebih dari 48 jam atau 2 hari, untuk mempertimbangkan rekomendasi yang dapat diterima dan ditolak.
Sikap Indonesia terhadap rekomendasi itu akan menjadi tolok ukur keseriusan komitmen dalam memperbaiki upaya penegakkan hak asasi manusia ditanah air.
Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Korban Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) mengatakan, salah satu rekomendasi yang sebaiknya dipertimbangkan pemerintah adalah kesediaan menerima kehadiran pelapor khusus untuk membantu indonesia menyelesaikan masalah terkait pelanggaran HAM di tanah air.
Sumber: radioaustralia.net.au
Delegasi Austria misalnya menyatakan keprihatinannya terhadap penyerangan kepada kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyyah, Hindu dan Kristen serta kasus pelarangan pendirian rumah ibadah.
Sementara isu pelanggaran hak asasi di Papua antara lain disoroti oleh Jepang, swedia dan Swiss.
Meski menuai banyak kritikan, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa yang memimpin langsung delegasi Indonesia dalam sidang tersebut menegaskan Indonesia tetap memiliki komitmen yang kuat terhadap penegakkan hak asasi manusia.
Sementara, untuk beberapa insiden pelanggaran HAM yang berkaitan dengan agama, Marty menyebut hal itu sebagai akibat dinamika politik dan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, beberapa insiden sudah ditangani dengan penegakan hukum bagi para pelakunya.
Untuk masalah pelanggaran HAM di Papua, pemerintah Indonesia tetap mempercayakan solusi otonomi khusus dan pembentukan unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai solusi terbaik mengatasi konflik politik di kawasan tersebut.
Respon delegasi Indonesia dalam sidang ini menuai kritik juga dari kalangan para aktivis di Indonesia, terutama para pejuang hak asasi manusia.
Pemerintah Indonesia dinilai menutup-nutupi pelanggaran HAM di tanah air, karena penjelasan delegasi Indonesia dalam sidang itu dinilai jauh dari realitas.
"Pelaku intoleransi beragama dan kekerasan di Papua disebutkan sudah dihukum sesuai ketentuan, padahal kita tahu aparat yg terlibat kasus kekerasan dihukum sangat ringan tiga sampai sembilan bulan untuk perbuatan yg masuk kategori pelanggaran HAM berat," kata Rafendi Djamin, Direktur Human Right Working Group yang menghadiri sidang UPR di Jenewa.
Peran pelapor khusus
Selain masalah intoleransi beragama dan Papua, yang juga mendapat sorotan adalah kondisi perlindungan perempuan dan anak, pendidikan, kesehatan, reformasi hukum dan ratifikasi sejumlah aturan internasional seperti Statuta Roma soal Pengadilan kriminal Indonesia.
Namun PBB tidak saja hanya melontarkan kritikan, melainkan juga memberikan sejumlah rekomendasi dalam sidang tersebut. Dalam mekanisme sidang ini, Indonesia diberi waktu selama tidak lebih dari 48 jam atau 2 hari, untuk mempertimbangkan rekomendasi yang dapat diterima dan ditolak.
Sikap Indonesia terhadap rekomendasi itu akan menjadi tolok ukur keseriusan komitmen dalam memperbaiki upaya penegakkan hak asasi manusia ditanah air.
Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Korban Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) mengatakan, salah satu rekomendasi yang sebaiknya dipertimbangkan pemerintah adalah kesediaan menerima kehadiran pelapor khusus untuk membantu indonesia menyelesaikan masalah terkait pelanggaran HAM di tanah air.
Sumber: radioaustralia.net.au
0 komentar:
Post a Comment