Modus operandi pemisahan Papua oleh Amerika sudah mulai tercium. HAM dan demokrasi menjadi alat utamanya.
Disintegrasi Sudan tidak bisa dilepas-kan dari berbagai makar yang dilaku-kan oleh negara-negara imperialis sejak lama. Inggris sejak tahun 1924 menja-lankan politik isolasi antara Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan animisme dengan Sudan Utara yang mayoritas Muslim. Penduduk wilayah utara dipersulit untuk pindah ke sela-tan, demikian juga sebaliknya. Meskipun alasannya untuk men-cegah penyakit malaria, motif sebenarnya adalah untuk memi-sahkan dua kawasan itu.
Politik identitas berdasar-kan ras dan komunitas agama pun dibangun oleh kolonial Inggris. Selatan adalah kawasan Kristen dan asli Afrika, sementara utara kawasan Muslim dan Arab. Negara kolonial itu memberikan jalan bagi berkembangnya ge-rakan misionaris Kristen di se-latan dan menghalangi penye-baran Islam di kawasan itu. Akibatnya, integrasi antara Su-dan Selatan dan Utara menjadi terhalang. Kebijakan kolonial Inggris ini kemudian terbukti menjadi salah sumber konflik di masa sekarang.
Sementara Amerika Serikat memang sudah sejak lama men-jadikan pemisahan Sudan Utara dan Selatan sebagai target poli-tiknya di kawasan itu. The Sunday Times (17/11/1996) mengung-kap, pemerintah Clinton melun-curkan kampanye untuk mem-buat ketidakstabilan pemerintah Sudan. Lebih dari 20 milyar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, terma-suk ke tentara pemberontak Sudan Selatan (SPLA).
Sebelumnya, pada tahun 1995, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dengan alasan membuka bantuan kemanusiaan, menjadi penengah gencatan senjata an-tara SPLA dengan pemerintah Sudan. Pada pertengahan 2001, mantan senator John Danforth ditunjuk oleh George Bush Jr sebagai utusan presiden AS. Semua itu menjadi alat penekan untuk untuk mewujudkan tujuan politik Amerika.
Referendum 2011 ini meru-pakan implementasi dari Com-prehensive Peace Agreement ta-hun 2005 di Nairobi. Kehadiran Menlu AS saat itu Collin Powel ke-tika penandatanganan menun-jukkan peran penting Amerika. Setelah lewat perjuangan yang lama tujuan Amerika akhirnya terwujud di era Presiden Obama.
Solusi Berbahaya
Politik referendum atas nama hak menentukan nasib sendiri (self determination) yang ditawarkan oleh Barat sangat berbahaya bagi kesatuan politik negara-negara lain karena men-dorong disintegrasi. Setelah Sudan Selatan, wilayah Sudan lain Darfur dan Abyey diperkira-kan akan menyusul. Indonesia merupakan salah satu korban dari politik referendum ini dalam kasus lepasnya Timor Timur. Irak diperkirakan akan mengalami nasib yang sama.
Pengertian menentukan nasib sendiri atau kemerdekaan pun perlu dipertanyakan. Hal itu tepat kalau sebuah negara di-jajah atau diduduki oleh negara lain. Apa yang terjadi di Sudan, solusinya bukanlah kemerdeka-an atau disintegrasi tapi bagai-mana membangun pemerintah-an dan sistem yang adil sehingga mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Termasuk menja-min pengaturan sumber-sumber kekayaan alam negara untuk ke-pentingan seluruh rakyat secara adil.
Terbentuknya negara Su-dan Selatan yang merdeka tanpa pemerintah dan sistem yang baik, justru akan menciptakan rezim diktator baru yang represif. Apalagi kalau konsesi dari kemer-dekaan yang didukung Barat itu adalah memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan Barat untuk mengeksploitasi kekayaan alam Sudan. Sementara hasilnya bukan untuk kepentingan rakyat banyak.
Karena itu solusi tepat bagi Sudan bukan disintegrasi tapi sistem yang mampu menjamin kesejahteraan. Itu tidak lain dengan menerapkan syariah Is-lam secara kaffah, bukan sekadar simbolis.
Seharusnya pemeliharaan urusan-urusan masyarakat itu sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sebab keadilan tidak mungkin terealisasi kecuali dengan hukum-hukum Islam.
Mewaspadai Disintegrasi Papua
Agar tidak mengalami nasib yang sama dengan Sudan, Papua haruslah benar-benar diperhatikan Indonesia. Kega-galan pemerintah pusat menye-jahtrakan rakyat Papua dan tin-dakan represif akan menjadi dasar kuat bagi tuntutan referen-dum. Apalagi secara politik pra kondisi yang sama sedang terjadi di Papua. Saat ini sedang di-bangun klaim bahwa Papua ada-lah negeri Kristen yang berbeda rasnya dengan dengan Indonesia yang Muslim.
Berkaitan dengan itu Harist Abu Ulya mengecam sikap pe-merintah Indonesia yang justru mendukung disintegrasi Sudan Selatan. Pemerintah Indonesia malah menjadi salah satu obser-ver dengan menunjuk KBRI Khar-toum. Di bawah arahan Dubes RI untuk Sudan dan Eritrea, Sujat-miko, para pengamat dari KBRI Khartoum bertugas sejak 7 Ja-nuari 2011 hingga diumumkan-nya hasil referendum pada awal Februari 2011.
Menurut Ketua Lajnah Sisiyah HTI ini, pemerintah Indonesia seharusnya menolak skenario Barat terhadap Sudan. Karena hal yang sama bisa dilakukan Amerika terhadap Indonesia terutama dalam masa-lah Papua. Indonesia seharusnya punya sikap polugri yang genui-ne dan brilian. Misalnya menolak seluruh upaya intervensi negara luar atas urusan dalam negeri orang lain. Sembari mengajukan gagasan, pentingnya perubahan pendekatan paradigmatik bagi pemangku kebijakan untuk mengelola wilayah selatan Su-dan lebih baik.
Menurutnya, selama ini referendum bagi bumi Papua masih sayup-sayup, tapi bagai-mana jika para pemain politiknya lebih lihai bermain opini di ta-taran internasional dan menarik perhatian dunia internasional? Apalagi Papua tidak beda jauh dengan Sudan Selatan, sebuah wilayah yang strategis bagi Kapitalis Barat khususnya Ame-rika. Papua adalah negeri yang dijuluki mutiara hitam dari timur, sebuah negeri yang kaya tam-bang (tembaga, emas dan uranium), minyak dan lainya.
Seperti halnya Sudan Se-latan, senjata yang sama yakni isu-isu HAM dan demokrasi sedang digunakan oleh Amerika Serikat. Abu Ulya mencontohkan, saat ini begitu getolnya AS memantau dengan seksama per-sidangan tiga anggota TNI yang dituduh menyiksa dua warga Papua. Melalui jubir Deplu Philip Crowley AS menuntut reformasi TNI. “Kalaulah pemerintah tidak serius, partai politik diam, rakyat tidak sadar akan permainan ini, Papua akan menyusul Sudan Selatan,” tegasnya.
Campur tangan asing di kawasan Papua seharusnya dicegah oleh pemerintah. Peme-rintah jangan begitu saja percaya dengan klaim AS yang tetap mendukung kesatuan Indonesia. Sebagaimana yang terjadi Su-dan, tidak ada yang menghalangi AS untuk membuat kebijakan yang sama terhadap Indonesia. Bagi negara imperialis ini yang penting adalah jaminan kepen-tingan politik dan ekonominya.[] abu al fatih
Disintegrasi Sudan tidak bisa dilepas-kan dari berbagai makar yang dilaku-kan oleh negara-negara imperialis sejak lama. Inggris sejak tahun 1924 menja-lankan politik isolasi antara Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan animisme dengan Sudan Utara yang mayoritas Muslim. Penduduk wilayah utara dipersulit untuk pindah ke sela-tan, demikian juga sebaliknya. Meskipun alasannya untuk men-cegah penyakit malaria, motif sebenarnya adalah untuk memi-sahkan dua kawasan itu.
Politik identitas berdasar-kan ras dan komunitas agama pun dibangun oleh kolonial Inggris. Selatan adalah kawasan Kristen dan asli Afrika, sementara utara kawasan Muslim dan Arab. Negara kolonial itu memberikan jalan bagi berkembangnya ge-rakan misionaris Kristen di se-latan dan menghalangi penye-baran Islam di kawasan itu. Akibatnya, integrasi antara Su-dan Selatan dan Utara menjadi terhalang. Kebijakan kolonial Inggris ini kemudian terbukti menjadi salah sumber konflik di masa sekarang.
Sementara Amerika Serikat memang sudah sejak lama men-jadikan pemisahan Sudan Utara dan Selatan sebagai target poli-tiknya di kawasan itu. The Sunday Times (17/11/1996) mengung-kap, pemerintah Clinton melun-curkan kampanye untuk mem-buat ketidakstabilan pemerintah Sudan. Lebih dari 20 milyar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, terma-suk ke tentara pemberontak Sudan Selatan (SPLA).
Sebelumnya, pada tahun 1995, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dengan alasan membuka bantuan kemanusiaan, menjadi penengah gencatan senjata an-tara SPLA dengan pemerintah Sudan. Pada pertengahan 2001, mantan senator John Danforth ditunjuk oleh George Bush Jr sebagai utusan presiden AS. Semua itu menjadi alat penekan untuk untuk mewujudkan tujuan politik Amerika.
Referendum 2011 ini meru-pakan implementasi dari Com-prehensive Peace Agreement ta-hun 2005 di Nairobi. Kehadiran Menlu AS saat itu Collin Powel ke-tika penandatanganan menun-jukkan peran penting Amerika. Setelah lewat perjuangan yang lama tujuan Amerika akhirnya terwujud di era Presiden Obama.
Solusi Berbahaya
Politik referendum atas nama hak menentukan nasib sendiri (self determination) yang ditawarkan oleh Barat sangat berbahaya bagi kesatuan politik negara-negara lain karena men-dorong disintegrasi. Setelah Sudan Selatan, wilayah Sudan lain Darfur dan Abyey diperkira-kan akan menyusul. Indonesia merupakan salah satu korban dari politik referendum ini dalam kasus lepasnya Timor Timur. Irak diperkirakan akan mengalami nasib yang sama.
Pengertian menentukan nasib sendiri atau kemerdekaan pun perlu dipertanyakan. Hal itu tepat kalau sebuah negara di-jajah atau diduduki oleh negara lain. Apa yang terjadi di Sudan, solusinya bukanlah kemerdeka-an atau disintegrasi tapi bagai-mana membangun pemerintah-an dan sistem yang adil sehingga mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Termasuk menja-min pengaturan sumber-sumber kekayaan alam negara untuk ke-pentingan seluruh rakyat secara adil.
Terbentuknya negara Su-dan Selatan yang merdeka tanpa pemerintah dan sistem yang baik, justru akan menciptakan rezim diktator baru yang represif. Apalagi kalau konsesi dari kemer-dekaan yang didukung Barat itu adalah memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan Barat untuk mengeksploitasi kekayaan alam Sudan. Sementara hasilnya bukan untuk kepentingan rakyat banyak.
Karena itu solusi tepat bagi Sudan bukan disintegrasi tapi sistem yang mampu menjamin kesejahteraan. Itu tidak lain dengan menerapkan syariah Is-lam secara kaffah, bukan sekadar simbolis.
Seharusnya pemeliharaan urusan-urusan masyarakat itu sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sebab keadilan tidak mungkin terealisasi kecuali dengan hukum-hukum Islam.
Mewaspadai Disintegrasi Papua
Agar tidak mengalami nasib yang sama dengan Sudan, Papua haruslah benar-benar diperhatikan Indonesia. Kega-galan pemerintah pusat menye-jahtrakan rakyat Papua dan tin-dakan represif akan menjadi dasar kuat bagi tuntutan referen-dum. Apalagi secara politik pra kondisi yang sama sedang terjadi di Papua. Saat ini sedang di-bangun klaim bahwa Papua ada-lah negeri Kristen yang berbeda rasnya dengan dengan Indonesia yang Muslim.
Berkaitan dengan itu Harist Abu Ulya mengecam sikap pe-merintah Indonesia yang justru mendukung disintegrasi Sudan Selatan. Pemerintah Indonesia malah menjadi salah satu obser-ver dengan menunjuk KBRI Khar-toum. Di bawah arahan Dubes RI untuk Sudan dan Eritrea, Sujat-miko, para pengamat dari KBRI Khartoum bertugas sejak 7 Ja-nuari 2011 hingga diumumkan-nya hasil referendum pada awal Februari 2011.
Menurut Ketua Lajnah Sisiyah HTI ini, pemerintah Indonesia seharusnya menolak skenario Barat terhadap Sudan. Karena hal yang sama bisa dilakukan Amerika terhadap Indonesia terutama dalam masa-lah Papua. Indonesia seharusnya punya sikap polugri yang genui-ne dan brilian. Misalnya menolak seluruh upaya intervensi negara luar atas urusan dalam negeri orang lain. Sembari mengajukan gagasan, pentingnya perubahan pendekatan paradigmatik bagi pemangku kebijakan untuk mengelola wilayah selatan Su-dan lebih baik.
Menurutnya, selama ini referendum bagi bumi Papua masih sayup-sayup, tapi bagai-mana jika para pemain politiknya lebih lihai bermain opini di ta-taran internasional dan menarik perhatian dunia internasional? Apalagi Papua tidak beda jauh dengan Sudan Selatan, sebuah wilayah yang strategis bagi Kapitalis Barat khususnya Ame-rika. Papua adalah negeri yang dijuluki mutiara hitam dari timur, sebuah negeri yang kaya tam-bang (tembaga, emas dan uranium), minyak dan lainya.
Seperti halnya Sudan Se-latan, senjata yang sama yakni isu-isu HAM dan demokrasi sedang digunakan oleh Amerika Serikat. Abu Ulya mencontohkan, saat ini begitu getolnya AS memantau dengan seksama per-sidangan tiga anggota TNI yang dituduh menyiksa dua warga Papua. Melalui jubir Deplu Philip Crowley AS menuntut reformasi TNI. “Kalaulah pemerintah tidak serius, partai politik diam, rakyat tidak sadar akan permainan ini, Papua akan menyusul Sudan Selatan,” tegasnya.
Campur tangan asing di kawasan Papua seharusnya dicegah oleh pemerintah. Peme-rintah jangan begitu saja percaya dengan klaim AS yang tetap mendukung kesatuan Indonesia. Sebagaimana yang terjadi Su-dan, tidak ada yang menghalangi AS untuk membuat kebijakan yang sama terhadap Indonesia. Bagi negara imperialis ini yang penting adalah jaminan kepen-tingan politik dan ekonominya.[] abu al fatih
Dubes Sudan:
Referendum, Konspirasi Barat
Referendum merupakan konspirasi negara-negara Barat. Hal ini disampaikan Duta Besar Sudan untuk Indonesia Ibrahim Busyra. Menurutnya, referendum yang terjadi di Sudan Selatan memang merupakan hasil konspirasi negara-negara Barat sejak lama.
Banyaknya tekanan, terutama yang datang dari AS (termasuk Presiden Obama) membuat pemerintah Sudan tidak berdaya. Tapi ia juga menyesalkan tidak adanya dukungan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia, untuk mencegah terjadinya referendum. Pemerintah Indonesia, katanya, bahkan tidak sedikitpun memberikan tanggapan atas referendum itu.
Hal ini disampaikan Ibrahim Busyra ketika menerima delegasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Rabu (12/1). Delegasi HTI yang terdiri dari Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto, Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib dan Sekretaris Jubir HTI Muhammad Roni Ruslan, menemui Duta Besar Sudan untuk menyampaikan surat HTI kepada Presiden Sudan Omar Bashir.
Dalam surat yang dibacakan di hadapan Duta Besar, HTI menyatakan bahwa referendum yang dilaksanakan di Sudan Selatan tidak lain hanyalah konspirasi negara Barat (AS dan sekutunya) untuk memecah wilayah Sudan menjadi dua bagian, yakni Sudan Utara dan Sudan Selatan. Akibatnya, umat Islam yang sudah lemah menjadi semakin lemah tak berdaya. Cara ini akan lebih memudahkan bagi Barat menguasai dan merampok kekayaannya. Oleh karena itu, HTI mendorong Presiden Omar Bashir untuk menolak hasil referendum itu dan mencegah pemisahan wilayah Selatan dengan kekuatan apapun, termasuk kekuatan militer.
Delegasi HTI mengingatkan bahwa secara syar'i perpecahan wilayah negeri Islam hukumnya haram. Disampaikan sebuah hadits shahih riwayat Muslim yang intinya adalah perintah Rasulullah untuk memerangi siapa saja yang berusaha memecah belah persatuan dan jamaah kaum Muslimin. Oleh karena itu, ditegaskan bahwa bila Presiden Omar Bashir dan pemerintah Sudan membiarkan terjadinya pemisahan wilayah Sudan Selatan itu jelas merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasulnya, dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Delegasi HTI menegaskan, di sinilah pentingya umat Islam memiliki Khilafah. Inilah satu-satunya institusi politik Islam yang mampu menyatukan wilayah dunia Islam dan melindunginya dari terkaman para penjajah. Menanggapi hal ini, Duta Besar Ibrahim Busyra menyatakan,”Anaa uwafiqu miah bil miah! (saya setuju 100 persen).”[] abu al fatih
Referendum, Konspirasi Barat
Referendum merupakan konspirasi negara-negara Barat. Hal ini disampaikan Duta Besar Sudan untuk Indonesia Ibrahim Busyra. Menurutnya, referendum yang terjadi di Sudan Selatan memang merupakan hasil konspirasi negara-negara Barat sejak lama.
Banyaknya tekanan, terutama yang datang dari AS (termasuk Presiden Obama) membuat pemerintah Sudan tidak berdaya. Tapi ia juga menyesalkan tidak adanya dukungan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia, untuk mencegah terjadinya referendum. Pemerintah Indonesia, katanya, bahkan tidak sedikitpun memberikan tanggapan atas referendum itu.
Hal ini disampaikan Ibrahim Busyra ketika menerima delegasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Rabu (12/1). Delegasi HTI yang terdiri dari Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto, Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib dan Sekretaris Jubir HTI Muhammad Roni Ruslan, menemui Duta Besar Sudan untuk menyampaikan surat HTI kepada Presiden Sudan Omar Bashir.
Dalam surat yang dibacakan di hadapan Duta Besar, HTI menyatakan bahwa referendum yang dilaksanakan di Sudan Selatan tidak lain hanyalah konspirasi negara Barat (AS dan sekutunya) untuk memecah wilayah Sudan menjadi dua bagian, yakni Sudan Utara dan Sudan Selatan. Akibatnya, umat Islam yang sudah lemah menjadi semakin lemah tak berdaya. Cara ini akan lebih memudahkan bagi Barat menguasai dan merampok kekayaannya. Oleh karena itu, HTI mendorong Presiden Omar Bashir untuk menolak hasil referendum itu dan mencegah pemisahan wilayah Selatan dengan kekuatan apapun, termasuk kekuatan militer.
Delegasi HTI mengingatkan bahwa secara syar'i perpecahan wilayah negeri Islam hukumnya haram. Disampaikan sebuah hadits shahih riwayat Muslim yang intinya adalah perintah Rasulullah untuk memerangi siapa saja yang berusaha memecah belah persatuan dan jamaah kaum Muslimin. Oleh karena itu, ditegaskan bahwa bila Presiden Omar Bashir dan pemerintah Sudan membiarkan terjadinya pemisahan wilayah Sudan Selatan itu jelas merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasulnya, dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Delegasi HTI menegaskan, di sinilah pentingya umat Islam memiliki Khilafah. Inilah satu-satunya institusi politik Islam yang mampu menyatukan wilayah dunia Islam dan melindunginya dari terkaman para penjajah. Menanggapi hal ini, Duta Besar Ibrahim Busyra menyatakan,”Anaa uwafiqu miah bil miah! (saya setuju 100 persen).”[] abu al fatih
Sumber: mediaumat.com/fokus
0 komentar:
Post a Comment